11
Aku
akan menegaskan lagi cintaku pada Rosku, supaya dimengerti bagaimana duka yang
membelitku saat dia menjauh begitu menyakitkan. Aku mencintainya—dibalik
kepungan kabut setebal apapun aku tak
membencinya dalam suatu hal (termasuk ketika hati kami mulai berjarak)— dari
yang terlihat maupun tak terlihat, aku mencintainya, saat cuaca sedang buruk
maupun matahari bersinar terang, aku mencintainya. Iya aku melankolis, mari
jadi satir lagi. Seperti pasangan lain aku selalu mempertanyakanya: apakah dia
bersungguh sungguh padaku? Apakah aku akan masuk lebih dalam, menyerahkan
diriku sepenuhnya? Menjalin keintiman yang lebih lanjut? Bagaimana dia akan
bereaksi? Bagamana sosok yang diinginkanya, apa aku harus menyesuiakan atau
tetap seperti ini? Kenyataanya, Ros bukan wanita seperti itu, dia menerimaku
seperti dia memeluk kucing-kucing kampung kudisan. Aku hanya perlu menunjukan
diriku dengan kulit terkelupas, menyerahkan hatiku dan menjulurkan tanganku
untuk menuntunya dijalan-jalan yang akan kami tempuh kelak, menjajarinya bahu
ke bahu setiap saat dan tak banyak bicara hal yang tak perlu. Lelaki mana yang
akan menelantarkanya? Bukan aku tentu saja.
Dimanapun Ros berada, kuharap suatu saat dia membaca curahan hatiku melalui
memoirku, yang sejujurnya dan tak berujung.
Saat
ini Ros sedang mengingatku, kepalanya tergeletak dimeja, tanganya memegang pena
terlentang menggapai lamunanya, dan matanya, mata seseorang yang sedang mengagumi
teluk dari atas perahu dayung. Didalam ingatannya, sebelum kami menjadi
pasangan aku meminjaminya payung karena dia kerap terhadang oleh hujan sepulang
sekolah, dengan teledornya dia tidak pernah membawanya sendiri (dia tak
bermaksud memberikanku kode). Kemudian ingatanya akan beralih ketika dimana aku
memakinya karena dia sangat sulit kutemui. Dia melempar penanya dan pergi keluar
kamar untuk membuat teh atau mengambil cemilan, dia melupakanku lagi. Begitulah
diriku kiranya, hanya muncul sesekali, tak begitu berarti,
bahkan mungkin dibenci.
Sementara itu, aku sendiri seperti
pecinta sejati lainya, kurator menyedihkan yang tak henti-hentinya mengagumi
masa lalu dan berharap sejarah hidup dimasa kini. Sejarah
Ros tak bisa dibengkokan oleh kejadian serupa dimasa sesudahnya. Wanita-wanita lain yang berpotensi kutaksir untuk
melarikan diri dari Ros tak mendekati Ros sedikitpun, Ros aman tak tersentuh,
Ros adalah Ros dan wanita-wanita lain adalah wanita-wanita lain. Dalam
kesempatan-kesempatan tertentu aku menggerutu pada diriku sendiri, kenapa
wanita ini tidak secantik Ros, kenapa ayunan rambutnya tidak seperti Ros, kenapa
dia bicaranya keras sekali, kenapa tahi lalatnya ada di bawah bibir, bukan
dileher seperti Ros, kenapa Ros sempurna sekali. Tunggu, pasti ada yang cacat
dari Ros, pasti akan kutemukan, tapi apa kira-kira, tak ada, oh Ros yang
anggun. Ya, ada kegilaan kambuhan seperti itu kala aku sangat merindukannya. Sudah
lima minggu Ros mengabaikanku, kegilaan-kegilaan itu mulai menjadi kebiasaan,
aku menghibur diriku dengan cerpen, tenlit
dan lagu-lagu untuk meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri. Aku dihibur
Carver, meski Ed hampir psikopat, setidaknya Terri masih menganggap perbuatan bengisnya
adalah bentuk cinta (apa kau setuju dengan Terri Ros? semoga iya). Kemudian ada
Lili yang masih mau menerima kembali Tomi setelah berselingkuh dengan sepupunya, Amanda (dalam karya Giska, pujian disampul bukunya
“kisah anak muda yang menghibur, memecah imajinasi sekaligus menyayat hati”
oleh majalah terkenal Luv). Oh Lili
yang bodoh, Lili yang malang sekali. Lebih parah lagi, dengan sebegitu
melankolisnya, Go Go Dolls membuatku merasa seperti seorang pahlawan dan saat
sedang percaya diri, aku merambah Nirvana “...no
I don’t have a gun, no I don’t have a gun..”.
Didalam sebuah kesempatan, aku pergi
ke rumah Ros. Kunjungan itu bukan tanpa kupikir panjang terlebih dahulu, aku
dibuat kalut karena dituntut untuk membuat pidato sebaik dan semeyakinkan
mungkin, bukan hanya kepada Ros, tapi juga kedua orang tuanya yang mungkin tak
tahu menahu bahwa anaknya sedang menelantarkanku. Putusan telah dibuat, aku
pergi menemuinya dan mencoba mengambil simpati Ros dengan bermuram durja.
Aku tiba disana tengah hari,
matahari membakar wajah halaman rumah Ros, rerumputannya menguning dan dedaunan
berguguran, hanya anggrek ibunya yang terllihat masih selamat dari kemarau. Aku
disambut oleh kucing kampung Ros, terdengar namun tak terlihat, aku celingukan
namun tak menemukannya, hanya suaranya nyaring. Semua pintu tertutup, aku
mengetuknya namun tak ada yang keluar. Aku melihat melalui jendela dan
didalamnya terlihat senyap. Ayah dan ibunya mungkin sedang ada acara, adiknya
mungkin sedang bermain layang-layang karena anginnya sedang
bagus, tapi Ros, apa yang dilakukannya diluar pada hari libur? Dia bukan
seorang yang datang bermain kesana-sini dengan mudah, dia tak terlalu tahan
dengan hal semacam itu. Apa dia menemui seseorang? Aku mulai gila lagi, aku
resah bukan main. Aku berdiri didepan pintu rumahnya seraya memikirkan
tindakanku selanjutnya. Angin kemarau menggerak-gerakan dedaunan dihalaman
rumah Ros, kadang membuat miniatur tornado disana dan disini, hal ini sedikit
membuatku lebih tenang.
Tidak
lama kemudian, aku beranjak dari beranda
sambil mengernyitkan mata karena debu. Suara kucing Ros masih
terdengar, aku mencarinya dan akhirnya kutemukan dia berada diatas atap, sedang
resah sepertiku. Aku menyeret kursi dari beranda dan mencoba untuk
menurunkannya, tapi tanganku tidak sampai dan suaranya semakin menggila. Aku
menambahkan meja dibawah kursi untuk bisa meraihnya. Namun dengan sombongnya
kucing kampung ini menolak pertolonganku, sesaat sebelum aku dapat meraihnya,
dia mengacuhkanku dan nekat melompat. Sebelum aku berhasil turun, dia sudah
enyah dari hadapanku, baik Ros maupun kucingnya enggan meraih tanganku pikirku,
aku semakin gila saja. Saat aku turun, tetangga Ros melihatku dengan curiga, aku melempar
senyum padanya dan berkata dengan sedikit berteriak, “saya temannya Rosa”.
“Mereka sedang tidak ada dirumah sepertinya, kucing tadi milikku, sudah sejak
pagi ada disana, terimakasih”, dia menjawab. Karena dia bilang seperti
itu, aku tak akan bilang padanya kalau
kucing tadi turun dengan sendirinya, gagal merebut hati
Ros kembali, setidaknya aku mendapat hati tetangganya, dia: paruh baya, wanita,
gemuk, dan mungkin beranak lima karena menikah umur sembilan belas tahun. Dia
menawarkan padaku jika mungkin aku ingin menitipkan beberapa kata tapi aku
tidak memerlukannya, lalu dia masuk kedalam rumahnya. Beberapa saat kemudian,
kucing Ros yang sesungguhnya muncul, warnanya coklat dan tambun seperti babi,
melenggak-lenggok bak ratu kemudian berbaring dihalaman. Setelah sedikit perkenalanku
dengan kucing Ros (kalau aku tidak salah ingat, namanya menyerupai nama kapal, Peni,
Pelni atau semancamnya), aku pergi dari rumah Ros.
Sesampaiku
dirumah dan lebih tenang, aku bersyukur Ros tak ada dirumah, setelah
kupikir-pikir usahaku dengan bermuram durja untuk mengambil simpati Ros bodoh
sekali. Dibalik mantel beludrunya, Ros adalah wanita yang tegas, pendiriannya
terbungkus dibalik batu, tak akan goyah dengan derai
air mata seperti yang baru saja kuusahakan.
Aku
tahu, pembaca yang baik mulai membenci Ros karena dia terlalu sempurna. Tapi
biar kukatakan, bukankah seperti itulah sewajarnya? Semua itu terjadi karena
aku mencintai Ros, cinta
yang gila-gilaan dan tak berujung, jadi mengertilah.