No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Rabu, 11 Mei 2016

Chapter 14



14
            Setelah kemajuan pesat itu, Ros seperti petir di siang bolong datang kerumahku dan menginginkan semua kembali seperti semula, Ros dan segala pesona yang menyertainya datang untuk memperbaiki cinta kami berdua. Ros yang kukira telah mencampakkanku datang untuk mencintaiku lagi (Pembaca mungkin pernah melihat adegan ini dalam The Notebook, Allie mengendarai mobil mewah datang untuk Noah yang wajahnya ditelan berewok). Seperti roller coaster, aku terkejut dan bahagia sekali, seorang dukun terhebat sedunia sedang mengguna-gunai Ros, Lis lewat mimpi menghatui Ros agar kembali ke pelukan adik kecilnya. “Aku hanya butuh waktu untuk sendiri, kenyataanya aku selalu merindukan masa-masa itu, kau pasti sangat membenciku, kuharap kau belum punya yang baru, Fitri (teman Ros) malam minggu kemarin kencan dengan seseorang, belum ada satu bulan dia pisah dari Danang, aku masih belum terima jika itu kau, maafkan aku, aku akan berubah, saat kau marah besar dan menuduhku menghindar darimu, itu tidak benar, tapi aku mungkin sudah keterlaluan karena kita jarang sekali bertemu waktu itu, kuharap kita masih bisa kembali seperti semula” kata Ros. Tak lama kemudain kami mulai akrab lagi, aku menatap matanya dalam-dalam, mengelus pundak Ros dan seterusnya.
            Aku hanya bercanda, tentu saja itu tidak terjadi. Yang sebenarnya terjadi adalah dewa orientasi sexual sedang memulai eksperimenya padaku. Pertama-tama, hormon tetosteronku dibuat berkurang drastis, rangsangan-rangsangan dalam bentuk apapun tak cukup kokoh untuk membuat jantungku berdebar. Kreatifitasku untuk sumber daya peragaan Le Reve luntur: bentuk, warna, posisi dan adegan terasa hambar dan kurang menggoda. Kelebihan tertentu dari wanita-wanita yang pernah kukenal menjadi sangat tak berarti, idealitasku mengenai wanita raib bersama Ros. Misalnya, aku dulu menggemari Dina karena dia memiliki lesung pipi yang imut-imut, setelah kucoba mengingat dan menggabung-gabungkan— Ros memiliki lesung pipi imut-imut— alih-alih bermain imajinasi akannya, aku masih lebih senang melanjutkan pekerjaanku, apapun itu selama aku asik sendiri.
            Intinyaaku sedang mencoba mengatakan sesuatuada perasaan trenyuh dan pasrah. Sesuatu yang mengganjal dalam dadaku telah hilang, dan belakangan kusadari bahwa itu adalah hasrat tertentu dalam diriku, lebih dari sekedar dorongan dan motivasi, lenyap bagai hantu. Kurasa, aku merasa yakin, petah hati yang begitu menyakitkan telah melahirkan sebuah dinding besar yang menghambat kerinduan-kerinduan, kobaran-kobaran, tindakan-tindakan manapun yang normalnya timbul dalam tubuhku.


Senin, 25 April 2016

Chapter 13



13
            “Buatlah Perabotanmu Sendiri” sebuah judul buku menjadi awal kebangkitanku. Di hari yang biasa – biasa saja aku menggerayangi tumpukan kertas – kertas undangan pernikahan di meja ruang keluarga, Dewi&Agus, W&V, P&S, Margono&Sulastri, hampir semuanya masih dalam keadaan terbungkus karena orang tuaku hanya perlu melihat nama, tempat dan tanggal yang sudah ada di muka undangan. Aku membuka salah satunya, tulisanya menguap dan kuganti dengan: Kami nikahkan putra putri kami, Rosa Nurfadila binti Ramli dan Evan Hanafi bin Himawan, bertempat di kediaman Pak Ramli dan Ibu Endang, resepsi Ahad Pahing 23 November 2006. Namun nyatanya takdir berkata lain, Rosa telah mencampakan Evan. Dibawah undangan – undangan sebuah buku panduan membuat perkakas rumah tangga dari kayu memamerkan diri “manfaatkan bahan yang ada, artistik, beragam, sederhana, dan mudah, seorang wanita pun akan dapat melakukanya”. Aku melihat gambar – gambar bermacam lemari, rak dinding dan rak – rak lain, meja ruang tamu berbentuk kotak, meja ruang tamu berbentuk lingkaran dan bentuk – bentuk unik lain, pot bunga indoor aneh, macam – macam hiasan, tempat lampu, dan puluham macam gambar dan panduan manual lain.
            Jari-jariku yang dengan bosan melipat halaman demi halaman terhenti pada gambar rak dinding berbentuk grafik kardiograf, diatasnya empat atau lima buku tertata. Inilah saatnya Evan menjadi brilian sebagai tukang kayu, aku teringat meja tidur bekas Lis yang teronggok digudang, aku akan membongkarnya. Aku akan memiliki rak buku kardiograf dalam kamarku, layaknya grafik cintaku pada Ros yang tak pernah berhenti berdetak, pikirku (mulai alay ya?).
            Aku membutuhkan waktu tiga hari sebelum bisa membongkar meja tidur Lis, aku sedang dalam perjalanan menjadi seorang tukang kayu mutakhir, otot-otot lenganku membesar, telapak tanganku mengeras, kulitku menghitam, menjadi terbiasa dengan debu, dan kabel-kabel venaku yang sebelumnya hanya nampak hijau, mulai timbul kepermukaan, dan hebatnya kesibukan keras ini mengenyahkan Ros dari dalam kepalaku. Suara kayu yang patah karena aku membongkarnya secara paksa membuat suara-suara tertentu Ros tak terdengar, butir debu serbuk kayu menyerap wewangian Ros. Dentangan palu meyakinkanku bahwa aku berhenti meratapi Ros.
            Ayahku cekikikan melihat caraku menggorok kayu-kayu. “membuat rak?” katanya, “kau ingat yang kau lakukan pada sikring yang rusak minggu lalu?” (aku membuatnya meledak). Meski begitu dia mendukungku secara penuh, dia gembira melihatku bermanfaat, membelikanku paku-paku mengkilap, memberitahuku dimana dia menyimpan alat-alat tukang, dan sebagainya. Aku merentangkan halaman buku, gambar rak itu memandangku seolah mengolok-olok, aku memotong balok-balok kayu menjadi berukuran tertentu, mereplika dan merangkainya menjadi grafik kardiograf dan bersiap merekatkan mereka dengan paku. Aku menyingkirkan beberapa paku cacat, ujungnya seperti tertempel upil metalik atau semacamnya, tak bisa digunakan memaku. Karena amatir aku mengutuk perbuatanku sendiri, “tangan sialan! kenapa jariku kau pukul” dan aku melakukanya lagi, “paku sialan!”. Lagi-lagi karena amatir, hentakan paku-pakuku membuat beberapa balok kayu retak, seperti retakan pada bibir Ros yang pernah kucumbu, oh, suara desiran itu, ombak tepian menyapu pasir pantai yang kering kerontang, bergerak lunglai dan menghanyutkan pasir kedalam lautan yang bergairah.
            Aku sukses membuat rak buku kardiograf, aku menaruhnya di tempat tertentu dan memandangnya dari kejahuan, seperti saat Picasso baru saja menyelesaikan Le Reve-nya yang cabul itu. Burung-burung yang tadinya terusik karena dentangan palu bertengger dipepohonan, ikut menikmati karya kayu pertamaku, debu mulai mengendap karena hari sudah sore, angin beristirahat diawan dan matahari mulai ditenggelamkan oleh rotasi. Aku berbaring disamping rumah mendengarkan radio, mereka memutar Iwan Fals, sembari mendengarkan kritiknya, awan dan langit yang terbakar menyilaukan mataku, aku terpejam dan bisa melihat merah darah didalam kelopak mataku, aku tidak mengingat Ros, Lis atau siapapun, hanya berbaring disana dan membuat pinggangku senyaman mungkin. Diujung Radio lain: seorang pria paruh baya ikut bernyanyi sambil menggebuk bantalnya diluar jendela; seorang kakek-kakek sedang mencoba membunuh seorang ratu dengan kudanya, lawan mainya menggaruk-garuk kepala; seorang ibu resah menunggu anaknya pulang bermain. Aku lupa judul lagunya, membuat seakan-akan kami menderita sekali dan penguasa bejat sekali. Itu adalah jam dimana para pekerja pabrik selesai bekerja, jalanan semping rumahku dipenuhi para karyawan lelaki menggoda gadis-gadis centil sepulang bekerja, “kujemput sehabis isya ya, dipertigaan” kata seorang lelaki. “jangan disitu banyak bapak-bapak, dijembatan saja disana sepi” jawab seorang gadis pendek dengan pantat semangkanya. “kalian enak sekali tidak ada sif”, yang lain tidak terima. Tak lama kemudian malam tiba, aku bisa melihat lampu diperempatan jalan dikerumuni asap rokok bercampur asap tungku yang keluar dari warung hik dibawahnya, aku tidur lebih awal dari biasanya malam itu.
            Pagi harinya ibuku protes, “buatkan ibu lemari, untuk P3K, yang menempel didinding seperti milik bu Har, aku pernah melihatnya, bagus sekali” katanya. Aku membuatnya, aku mereplika lemari tempel berbentuk rumah. Lebih sulit dari yang kukira, bentuknya tidak karuan, tapi seorang balita masih bisa mengenali bahwa itu berbentuk rumah. “Meja kecil juga ya” pinta ibuku. Karena aku paranoid, aku menempatkan paku tiga kali lebih banyak dari yang dianjurkan dalam buku: Meja cap Evan, bentuknya tidak karuan, tapi tidak separah itu, untuk menaruh gelas tidak tumpah, juga kokoh, tahan gempa dan tak hancur jika dijatuhi meteor.
            Sudah sebulan aku menukang, aku menghasilkan dua rak, satu lemari, dan dua meja, kecil dan agak besar, nyaris tanpa Ros, tolong garis bawahi, nyaris tanpa Ros, bukankah itu hebat? Beberapa hari setelah aku cuci tangan dari dunia pertukangan aku mencoba untuk meratapi Ros namun gagal. Tak kusangka aku bisa merindu tanpa harus bersedih, apakah aku berhenti mencintai Ros? Tentu tidak, aku rela menukar semua hasil menukangku agar Ros kembali ke pelukanku, aku bahkan nyaris sepakat untuk memilih Ros daripada Lis, yang tak kalah gila aku bertanya-tanya apakah ada dukun paling ampuh sedunia yang dapat membuat Ros jatuh hati padaku lagi. Tapi Evan kecil, delapan belas tahun, telah mengerti bahwa seorang pecinta—dalam kasusku Ros—dapat berhenti mencintai dan pasangan yang baik harus merelakanya.

Senin, 11 April 2016

Is my poems more true than your heart?

Is my poems more true than your heart?


Is my poems more true than your heart?
Don’t trust, the poems are lame
They’ll says beautiful, elegant, fair, eternal, and more
Read no more, the poems are lame
If mine heart shall utter to you, none modest sound my tongue shall be
You see, like a solid thing in daylight, you see
your heart better than my mind, the poems are lame
be no haste O heart! My poems may still its sight but not its substance

Is my poems more true than your heart?
Trust! The heart which posses mine, for my poems are rightfully mine
Believe O heart! and let love forever undying from the core

Is my poems more true than your heart?
It’s resemble, same, and free


Chapter 12

12
            Setelah dua bulan Ros membiarkanku meratap, secara tak sengaja kami bertemu. Aku yang sama terkejutnya dengan Ros bertemu disebuah ruang tunggu rumahsakit dimana ayah Ros bekerja. Suatu pagi, Ibuku dilanda panik setelah dia menemukan benjolan sebesar kacang polong dibelakang telinganya yang sudah beberapa hari tidak hilang, “Apa aku kena tumor? ayo kita cek kerumah sakit” katanya dan menggemparkan seisi rumah. Kami memeriksanya di rumah sakit, namun setelah diperiksa oleh dokter, baru beberapa pertanyaan ibuku diberi beberapa obat dan diminta pulang dan diminta sering – sering membersihkan telinga, ibuku protes dan sang dokter bilang, “itu akan hilang sendiri, bersihkan saja telinganya secara rutin dan minum obatnya”, ibuku malu bukan main. Ketika aku akan duduk diruang tunggu, disana ada kepala Ros, rambut yang sama milik Ros, ketika dia menoleh, itu adalah hidung mungil Ros, mata yang terlihat lebih besar itu adalah mata ramah Ros. Aku menghampirinya dan dia menyapaku dengan senyum yang ditahan. Itu adalah kecanggungan sejati, aku terpana melihatnya, senang dan kesal malandaku, keluh kesahku yang sebelumnya kupersiapkan sebelum pergi ke rumah Ros muncul dalam kepalaku, namun narasinya berantakan. Ternyata, rasa canggung mencegahku untuk mengatakanya, Ros juga sedang terlalu cantik untuk dihujani keluh kesah.
Aku bisa salah dan bisa benar, mungkin ini adegan dimana Lili menerima kembali Tomi sebagai kekasihnya. Pengharum ruangan mencoba mengusir bau medis, seorang suster menatap kami berdua layaknya dia pikir kami sedang membicarakannya sembari lewat dari kejauhan, dan Ros melempar senyum pasi padanya. Jika kalian seorang pasangan, mata dunia akan tertuju padamu, jika kelak aku mati dikubur disamping Ros, hantu seisi makam akan menatap kami berdua. Ya ampun! Tolong beri ruang untuk privasi sepasang kekasih.
Aku salah, Ros menanyakan hal – hal sepele sebagai perintang waktu, seperti dia bertanya kenapa aku dirumah sakit dan rencanaku setelah lulus  SMA. Aku belum tahu, kemana aku akan pergi kuliah setelah lulus SMA, jurusan apa yang aku ambil, masih gelap. Sementara itu, Ros dengan percaya diri ingin kuliah di bidang politik. Ya, Ros kadang unik, dia yang hanya gemar membaca ramalan zodiak kini ingin mempelajari politik. Mungkin aku salah sangka, dibalik topeng zodiaknya, dibawah tumpukan majalah remaja Ros, ada buku – buku tebal yang hanya orang botak yang membacanya (jangan Ros, nanti kau botak). Mungkin Ros mengabaikanku berbulan – bulan karena dia sedang menyelesaikan enam volume buku Perang dunia II Churchill atau Marx (percaya atau tidak, pada abad 21 Marx adalah bacaan wajib para hipster sejati). Sebenarnya bukan kali ini saja Ros mengejutkanku, sebelumnya Ros kudapati memiliki poster Muhammad Ali besar sekali dikamarnya (berdasarkan hasil celingukanku dirumahnya), Ros juga pernah mengaku terobsesi pada pisau dan benda yang menyerupainya (Ros, kau ... mungkinkah ...). Saat aku bertanya alasanya ingin kuliah politik dengan santainya dia menjawab, “Entahlah, hanya saja itu sepertinya menarik” dan ketika aku menjawab belum tau tentang apa yang akan kulakukan setelah lulus, dia tidak perduli.
Setelah percakapan itu dan percakapan kecil lainya, ibuku muncul. Dia bertanya apakah Ros temanku dan sebagainya, ibuku memandangnya layaknya Ros adalah adik kecil yang mungil dan memujinya didepanku “cantik sekali mbak, mirip Nana Wardoyo” (Entahlah, mungkin dia aktris atau penyanyi dangdut, oh seandainya Ibu tahu, dia kekasihku yang kucinta) dan Ros hanya senyam senyum seperti bocah. Setelah itu kami berpamitan, itu adalah perpisahan yang membuatku sedih, hatiku menangis, dan Ros, diujung genggaman tanganku menghela nafas, aku seperti diculik alien atau semacamnya, aku tak tau kapan lagi akan bertemu Ros karena ketika itu sekolah telah berakhir.
Aku dan para pembaca yang baik kecewa karena tidak terjadi apa – apa dalam pertemuan itu, dan aku yakin Ros menyoraki dirinya sendiri lantaran selamat dari ratapan depresi seorang kekasih. Dalam lamunanku yang sunyi aku merenungi pertemuan singkat kami, aku mencoba menyocokan wujud Ros saat itu dan saat terakhir kami bertemu sebelumnya, Ros masih sama, namun auranya berbeda. Ros seperti tiga tahun lebih tua dari Ros yang kukenal (masih berdasarkan aura), itu adalah aura dimana Lo yang bersuami bertemu dengan H H terakhir kalinya, aura dimana Nick Carraway merasa jijik akan New York. Jika kutarik benang merah, baik Lo, Nick, maupun Rosku, auranya berubah lantaran badai perasaan telah terjadi dalam hati yang dianutnya selama ini dan mengubah keputusan mereka untuk selamanya.
Aku terpuruk lagi, langit biru di musim penghujan tak mampu membuat hariku bersinar, aku terus saja dihantui oleh Ros, kenangan menyiksaku saat aku mencoba berangan – angan. Aku bermimpi memiliki kekasih seorang selebriti dan kemudian, oh tidak, dia lebih menggoda daripada Ros tapi dia pasti lebih bejat. Ada lagi seorang gadis super jenius, dan oh tidak, aku akan hidup dengan rasa malu dan merasa tak berdaya selamanya, tak seperti saat dengan Ros. Kenangan Ros menghancurkan segalanya, keriangan semu yang selalu coba kubangun hancur olehnya. Dilain waktu, dan lebih biru, aku membayangkan diriku terkena kanker (seperti dalam cerita chiclit, bagi seorang depresi rendahan, kanker dengan sentuhan bumbu melankolia akan menjadi penyakit yang keren), lalu Ros mengetahuinya tanpa sengaja dan drama dimulai, bahkan aku membayangkan ayah atau ibuku meninggal, dan Ros yang turut berduka memeluku sambil berurai air mata berbisik, “tidak apa – apa aku ada untukmu” (oh bukankah itu membahagiakan sekali?). Ros, jangan kau tanggapi orang gila ini, dan untuk pembaca, kuharap memoar ini dibaca setelah Evan yang abnormal mati (kuharap karena kanker).
Beberapa waktu telah berlalu setelah pertemuanku dengan Ros, aku sudah mulai menerimanya, Ros lenyap dari rengkuhanku, seperti Lis yang lenyap dari dunia, tak ada gunanya, cintaku terlalu menggebu dan Ros sekarat. Selamat tinggal Ros— bukan— selamat tinggal Pan, aku akan melanjutkan hidupku, kuharap begitu juga denganmu, jangan bermuram durja, segeralah bangkit dan raih cita – citamu kalau kau memang punya, atau setidaknya hiduplah dengan baik, makan tiga kali sehari, jangan begadang, jangan merokok, itu tidak sehat, dan belajarlah dengan rajin di bangku kuliah, kencanilah seorang gadis, tidak perlu muluk – muluk asal dia seorang penyayang, dan sayangilah dia dan keluargamu, bye.
Tidak, jangan, tunggu Ros! Lihatlah ini betapa Evan mancintaimu, aku pernah sekali mencoba melukismu, itu adalah salah satu foto 4x6 yang kau berikan padakau pada bulan ke empat kita pacaran, aku pelukis yang payah tapi aku melukisnya dengan teliti, aku membuat skala, jika bibirmu selebar 5 mm, lukisan bibirmu selebar 1,5 cm, dan seterusnya, aku menghabiskan satu minggu untuk membuat kedua matamu nampak serupa, aku dibuat gila menggambar bagian rahang, luas wajahmu, dan bentuk kepala, aku belum menujukannya padamu karena aku malu, lukisan itu adalah bencana. Aku menyimpan semua karcis nonton kita. Aku membuat lima puluh lebih puisi tentangmu, tapi tentu saja itu hanya kusimpan untuku karena kau lebih baik dalam menulis puisi, ya, maafkan aku karena terlalu berkompetisi. Ini lihat, aku juga menulis ulang semua puisimu dalam buku khusus yang cantik. Aku menulis surat untukmu dalam resahku, tak akan kubacakan karena menyedihkan. Ini juga, aku menabung untuk membeli sepatu kulit mahal untukmu, tiga minggu lagi tabunganku akan cukup. Aku menulis semua daftar lagu yang pernah kau dengankan Ros. Oh Ros, aku punya keju banyak sekali, aku membelinya karena dulu katanya kau ingin membuat pasta yang lezat.
          Sudahlah lupakan, aku mengerti, aku akan mencoba melepaskanmu. oh Ros, ya ampun.