No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Tampilkan postingan dengan label A Novel: EVAN (A Memoir of Bisex). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label A Novel: EVAN (A Memoir of Bisex). Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 Mei 2016

Chapter 14



14
            Setelah kemajuan pesat itu, Ros seperti petir di siang bolong datang kerumahku dan menginginkan semua kembali seperti semula, Ros dan segala pesona yang menyertainya datang untuk memperbaiki cinta kami berdua. Ros yang kukira telah mencampakkanku datang untuk mencintaiku lagi (Pembaca mungkin pernah melihat adegan ini dalam The Notebook, Allie mengendarai mobil mewah datang untuk Noah yang wajahnya ditelan berewok). Seperti roller coaster, aku terkejut dan bahagia sekali, seorang dukun terhebat sedunia sedang mengguna-gunai Ros, Lis lewat mimpi menghatui Ros agar kembali ke pelukan adik kecilnya. “Aku hanya butuh waktu untuk sendiri, kenyataanya aku selalu merindukan masa-masa itu, kau pasti sangat membenciku, kuharap kau belum punya yang baru, Fitri (teman Ros) malam minggu kemarin kencan dengan seseorang, belum ada satu bulan dia pisah dari Danang, aku masih belum terima jika itu kau, maafkan aku, aku akan berubah, saat kau marah besar dan menuduhku menghindar darimu, itu tidak benar, tapi aku mungkin sudah keterlaluan karena kita jarang sekali bertemu waktu itu, kuharap kita masih bisa kembali seperti semula” kata Ros. Tak lama kemudain kami mulai akrab lagi, aku menatap matanya dalam-dalam, mengelus pundak Ros dan seterusnya.
            Aku hanya bercanda, tentu saja itu tidak terjadi. Yang sebenarnya terjadi adalah dewa orientasi sexual sedang memulai eksperimenya padaku. Pertama-tama, hormon tetosteronku dibuat berkurang drastis, rangsangan-rangsangan dalam bentuk apapun tak cukup kokoh untuk membuat jantungku berdebar. Kreatifitasku untuk sumber daya peragaan Le Reve luntur: bentuk, warna, posisi dan adegan terasa hambar dan kurang menggoda. Kelebihan tertentu dari wanita-wanita yang pernah kukenal menjadi sangat tak berarti, idealitasku mengenai wanita raib bersama Ros. Misalnya, aku dulu menggemari Dina karena dia memiliki lesung pipi yang imut-imut, setelah kucoba mengingat dan menggabung-gabungkan— Ros memiliki lesung pipi imut-imut— alih-alih bermain imajinasi akannya, aku masih lebih senang melanjutkan pekerjaanku, apapun itu selama aku asik sendiri.
            Intinyaaku sedang mencoba mengatakan sesuatuada perasaan trenyuh dan pasrah. Sesuatu yang mengganjal dalam dadaku telah hilang, dan belakangan kusadari bahwa itu adalah hasrat tertentu dalam diriku, lebih dari sekedar dorongan dan motivasi, lenyap bagai hantu. Kurasa, aku merasa yakin, petah hati yang begitu menyakitkan telah melahirkan sebuah dinding besar yang menghambat kerinduan-kerinduan, kobaran-kobaran, tindakan-tindakan manapun yang normalnya timbul dalam tubuhku.


Senin, 25 April 2016

Chapter 13



13
            “Buatlah Perabotanmu Sendiri” sebuah judul buku menjadi awal kebangkitanku. Di hari yang biasa – biasa saja aku menggerayangi tumpukan kertas – kertas undangan pernikahan di meja ruang keluarga, Dewi&Agus, W&V, P&S, Margono&Sulastri, hampir semuanya masih dalam keadaan terbungkus karena orang tuaku hanya perlu melihat nama, tempat dan tanggal yang sudah ada di muka undangan. Aku membuka salah satunya, tulisanya menguap dan kuganti dengan: Kami nikahkan putra putri kami, Rosa Nurfadila binti Ramli dan Evan Hanafi bin Himawan, bertempat di kediaman Pak Ramli dan Ibu Endang, resepsi Ahad Pahing 23 November 2006. Namun nyatanya takdir berkata lain, Rosa telah mencampakan Evan. Dibawah undangan – undangan sebuah buku panduan membuat perkakas rumah tangga dari kayu memamerkan diri “manfaatkan bahan yang ada, artistik, beragam, sederhana, dan mudah, seorang wanita pun akan dapat melakukanya”. Aku melihat gambar – gambar bermacam lemari, rak dinding dan rak – rak lain, meja ruang tamu berbentuk kotak, meja ruang tamu berbentuk lingkaran dan bentuk – bentuk unik lain, pot bunga indoor aneh, macam – macam hiasan, tempat lampu, dan puluham macam gambar dan panduan manual lain.
            Jari-jariku yang dengan bosan melipat halaman demi halaman terhenti pada gambar rak dinding berbentuk grafik kardiograf, diatasnya empat atau lima buku tertata. Inilah saatnya Evan menjadi brilian sebagai tukang kayu, aku teringat meja tidur bekas Lis yang teronggok digudang, aku akan membongkarnya. Aku akan memiliki rak buku kardiograf dalam kamarku, layaknya grafik cintaku pada Ros yang tak pernah berhenti berdetak, pikirku (mulai alay ya?).
            Aku membutuhkan waktu tiga hari sebelum bisa membongkar meja tidur Lis, aku sedang dalam perjalanan menjadi seorang tukang kayu mutakhir, otot-otot lenganku membesar, telapak tanganku mengeras, kulitku menghitam, menjadi terbiasa dengan debu, dan kabel-kabel venaku yang sebelumnya hanya nampak hijau, mulai timbul kepermukaan, dan hebatnya kesibukan keras ini mengenyahkan Ros dari dalam kepalaku. Suara kayu yang patah karena aku membongkarnya secara paksa membuat suara-suara tertentu Ros tak terdengar, butir debu serbuk kayu menyerap wewangian Ros. Dentangan palu meyakinkanku bahwa aku berhenti meratapi Ros.
            Ayahku cekikikan melihat caraku menggorok kayu-kayu. “membuat rak?” katanya, “kau ingat yang kau lakukan pada sikring yang rusak minggu lalu?” (aku membuatnya meledak). Meski begitu dia mendukungku secara penuh, dia gembira melihatku bermanfaat, membelikanku paku-paku mengkilap, memberitahuku dimana dia menyimpan alat-alat tukang, dan sebagainya. Aku merentangkan halaman buku, gambar rak itu memandangku seolah mengolok-olok, aku memotong balok-balok kayu menjadi berukuran tertentu, mereplika dan merangkainya menjadi grafik kardiograf dan bersiap merekatkan mereka dengan paku. Aku menyingkirkan beberapa paku cacat, ujungnya seperti tertempel upil metalik atau semacamnya, tak bisa digunakan memaku. Karena amatir aku mengutuk perbuatanku sendiri, “tangan sialan! kenapa jariku kau pukul” dan aku melakukanya lagi, “paku sialan!”. Lagi-lagi karena amatir, hentakan paku-pakuku membuat beberapa balok kayu retak, seperti retakan pada bibir Ros yang pernah kucumbu, oh, suara desiran itu, ombak tepian menyapu pasir pantai yang kering kerontang, bergerak lunglai dan menghanyutkan pasir kedalam lautan yang bergairah.
            Aku sukses membuat rak buku kardiograf, aku menaruhnya di tempat tertentu dan memandangnya dari kejahuan, seperti saat Picasso baru saja menyelesaikan Le Reve-nya yang cabul itu. Burung-burung yang tadinya terusik karena dentangan palu bertengger dipepohonan, ikut menikmati karya kayu pertamaku, debu mulai mengendap karena hari sudah sore, angin beristirahat diawan dan matahari mulai ditenggelamkan oleh rotasi. Aku berbaring disamping rumah mendengarkan radio, mereka memutar Iwan Fals, sembari mendengarkan kritiknya, awan dan langit yang terbakar menyilaukan mataku, aku terpejam dan bisa melihat merah darah didalam kelopak mataku, aku tidak mengingat Ros, Lis atau siapapun, hanya berbaring disana dan membuat pinggangku senyaman mungkin. Diujung Radio lain: seorang pria paruh baya ikut bernyanyi sambil menggebuk bantalnya diluar jendela; seorang kakek-kakek sedang mencoba membunuh seorang ratu dengan kudanya, lawan mainya menggaruk-garuk kepala; seorang ibu resah menunggu anaknya pulang bermain. Aku lupa judul lagunya, membuat seakan-akan kami menderita sekali dan penguasa bejat sekali. Itu adalah jam dimana para pekerja pabrik selesai bekerja, jalanan semping rumahku dipenuhi para karyawan lelaki menggoda gadis-gadis centil sepulang bekerja, “kujemput sehabis isya ya, dipertigaan” kata seorang lelaki. “jangan disitu banyak bapak-bapak, dijembatan saja disana sepi” jawab seorang gadis pendek dengan pantat semangkanya. “kalian enak sekali tidak ada sif”, yang lain tidak terima. Tak lama kemudian malam tiba, aku bisa melihat lampu diperempatan jalan dikerumuni asap rokok bercampur asap tungku yang keluar dari warung hik dibawahnya, aku tidur lebih awal dari biasanya malam itu.
            Pagi harinya ibuku protes, “buatkan ibu lemari, untuk P3K, yang menempel didinding seperti milik bu Har, aku pernah melihatnya, bagus sekali” katanya. Aku membuatnya, aku mereplika lemari tempel berbentuk rumah. Lebih sulit dari yang kukira, bentuknya tidak karuan, tapi seorang balita masih bisa mengenali bahwa itu berbentuk rumah. “Meja kecil juga ya” pinta ibuku. Karena aku paranoid, aku menempatkan paku tiga kali lebih banyak dari yang dianjurkan dalam buku: Meja cap Evan, bentuknya tidak karuan, tapi tidak separah itu, untuk menaruh gelas tidak tumpah, juga kokoh, tahan gempa dan tak hancur jika dijatuhi meteor.
            Sudah sebulan aku menukang, aku menghasilkan dua rak, satu lemari, dan dua meja, kecil dan agak besar, nyaris tanpa Ros, tolong garis bawahi, nyaris tanpa Ros, bukankah itu hebat? Beberapa hari setelah aku cuci tangan dari dunia pertukangan aku mencoba untuk meratapi Ros namun gagal. Tak kusangka aku bisa merindu tanpa harus bersedih, apakah aku berhenti mencintai Ros? Tentu tidak, aku rela menukar semua hasil menukangku agar Ros kembali ke pelukanku, aku bahkan nyaris sepakat untuk memilih Ros daripada Lis, yang tak kalah gila aku bertanya-tanya apakah ada dukun paling ampuh sedunia yang dapat membuat Ros jatuh hati padaku lagi. Tapi Evan kecil, delapan belas tahun, telah mengerti bahwa seorang pecinta—dalam kasusku Ros—dapat berhenti mencintai dan pasangan yang baik harus merelakanya.

Senin, 11 April 2016

Chapter 12

12
            Setelah dua bulan Ros membiarkanku meratap, secara tak sengaja kami bertemu. Aku yang sama terkejutnya dengan Ros bertemu disebuah ruang tunggu rumahsakit dimana ayah Ros bekerja. Suatu pagi, Ibuku dilanda panik setelah dia menemukan benjolan sebesar kacang polong dibelakang telinganya yang sudah beberapa hari tidak hilang, “Apa aku kena tumor? ayo kita cek kerumah sakit” katanya dan menggemparkan seisi rumah. Kami memeriksanya di rumah sakit, namun setelah diperiksa oleh dokter, baru beberapa pertanyaan ibuku diberi beberapa obat dan diminta pulang dan diminta sering – sering membersihkan telinga, ibuku protes dan sang dokter bilang, “itu akan hilang sendiri, bersihkan saja telinganya secara rutin dan minum obatnya”, ibuku malu bukan main. Ketika aku akan duduk diruang tunggu, disana ada kepala Ros, rambut yang sama milik Ros, ketika dia menoleh, itu adalah hidung mungil Ros, mata yang terlihat lebih besar itu adalah mata ramah Ros. Aku menghampirinya dan dia menyapaku dengan senyum yang ditahan. Itu adalah kecanggungan sejati, aku terpana melihatnya, senang dan kesal malandaku, keluh kesahku yang sebelumnya kupersiapkan sebelum pergi ke rumah Ros muncul dalam kepalaku, namun narasinya berantakan. Ternyata, rasa canggung mencegahku untuk mengatakanya, Ros juga sedang terlalu cantik untuk dihujani keluh kesah.
Aku bisa salah dan bisa benar, mungkin ini adegan dimana Lili menerima kembali Tomi sebagai kekasihnya. Pengharum ruangan mencoba mengusir bau medis, seorang suster menatap kami berdua layaknya dia pikir kami sedang membicarakannya sembari lewat dari kejauhan, dan Ros melempar senyum pasi padanya. Jika kalian seorang pasangan, mata dunia akan tertuju padamu, jika kelak aku mati dikubur disamping Ros, hantu seisi makam akan menatap kami berdua. Ya ampun! Tolong beri ruang untuk privasi sepasang kekasih.
Aku salah, Ros menanyakan hal – hal sepele sebagai perintang waktu, seperti dia bertanya kenapa aku dirumah sakit dan rencanaku setelah lulus  SMA. Aku belum tahu, kemana aku akan pergi kuliah setelah lulus SMA, jurusan apa yang aku ambil, masih gelap. Sementara itu, Ros dengan percaya diri ingin kuliah di bidang politik. Ya, Ros kadang unik, dia yang hanya gemar membaca ramalan zodiak kini ingin mempelajari politik. Mungkin aku salah sangka, dibalik topeng zodiaknya, dibawah tumpukan majalah remaja Ros, ada buku – buku tebal yang hanya orang botak yang membacanya (jangan Ros, nanti kau botak). Mungkin Ros mengabaikanku berbulan – bulan karena dia sedang menyelesaikan enam volume buku Perang dunia II Churchill atau Marx (percaya atau tidak, pada abad 21 Marx adalah bacaan wajib para hipster sejati). Sebenarnya bukan kali ini saja Ros mengejutkanku, sebelumnya Ros kudapati memiliki poster Muhammad Ali besar sekali dikamarnya (berdasarkan hasil celingukanku dirumahnya), Ros juga pernah mengaku terobsesi pada pisau dan benda yang menyerupainya (Ros, kau ... mungkinkah ...). Saat aku bertanya alasanya ingin kuliah politik dengan santainya dia menjawab, “Entahlah, hanya saja itu sepertinya menarik” dan ketika aku menjawab belum tau tentang apa yang akan kulakukan setelah lulus, dia tidak perduli.
Setelah percakapan itu dan percakapan kecil lainya, ibuku muncul. Dia bertanya apakah Ros temanku dan sebagainya, ibuku memandangnya layaknya Ros adalah adik kecil yang mungil dan memujinya didepanku “cantik sekali mbak, mirip Nana Wardoyo” (Entahlah, mungkin dia aktris atau penyanyi dangdut, oh seandainya Ibu tahu, dia kekasihku yang kucinta) dan Ros hanya senyam senyum seperti bocah. Setelah itu kami berpamitan, itu adalah perpisahan yang membuatku sedih, hatiku menangis, dan Ros, diujung genggaman tanganku menghela nafas, aku seperti diculik alien atau semacamnya, aku tak tau kapan lagi akan bertemu Ros karena ketika itu sekolah telah berakhir.
Aku dan para pembaca yang baik kecewa karena tidak terjadi apa – apa dalam pertemuan itu, dan aku yakin Ros menyoraki dirinya sendiri lantaran selamat dari ratapan depresi seorang kekasih. Dalam lamunanku yang sunyi aku merenungi pertemuan singkat kami, aku mencoba menyocokan wujud Ros saat itu dan saat terakhir kami bertemu sebelumnya, Ros masih sama, namun auranya berbeda. Ros seperti tiga tahun lebih tua dari Ros yang kukenal (masih berdasarkan aura), itu adalah aura dimana Lo yang bersuami bertemu dengan H H terakhir kalinya, aura dimana Nick Carraway merasa jijik akan New York. Jika kutarik benang merah, baik Lo, Nick, maupun Rosku, auranya berubah lantaran badai perasaan telah terjadi dalam hati yang dianutnya selama ini dan mengubah keputusan mereka untuk selamanya.
Aku terpuruk lagi, langit biru di musim penghujan tak mampu membuat hariku bersinar, aku terus saja dihantui oleh Ros, kenangan menyiksaku saat aku mencoba berangan – angan. Aku bermimpi memiliki kekasih seorang selebriti dan kemudian, oh tidak, dia lebih menggoda daripada Ros tapi dia pasti lebih bejat. Ada lagi seorang gadis super jenius, dan oh tidak, aku akan hidup dengan rasa malu dan merasa tak berdaya selamanya, tak seperti saat dengan Ros. Kenangan Ros menghancurkan segalanya, keriangan semu yang selalu coba kubangun hancur olehnya. Dilain waktu, dan lebih biru, aku membayangkan diriku terkena kanker (seperti dalam cerita chiclit, bagi seorang depresi rendahan, kanker dengan sentuhan bumbu melankolia akan menjadi penyakit yang keren), lalu Ros mengetahuinya tanpa sengaja dan drama dimulai, bahkan aku membayangkan ayah atau ibuku meninggal, dan Ros yang turut berduka memeluku sambil berurai air mata berbisik, “tidak apa – apa aku ada untukmu” (oh bukankah itu membahagiakan sekali?). Ros, jangan kau tanggapi orang gila ini, dan untuk pembaca, kuharap memoar ini dibaca setelah Evan yang abnormal mati (kuharap karena kanker).
Beberapa waktu telah berlalu setelah pertemuanku dengan Ros, aku sudah mulai menerimanya, Ros lenyap dari rengkuhanku, seperti Lis yang lenyap dari dunia, tak ada gunanya, cintaku terlalu menggebu dan Ros sekarat. Selamat tinggal Ros— bukan— selamat tinggal Pan, aku akan melanjutkan hidupku, kuharap begitu juga denganmu, jangan bermuram durja, segeralah bangkit dan raih cita – citamu kalau kau memang punya, atau setidaknya hiduplah dengan baik, makan tiga kali sehari, jangan begadang, jangan merokok, itu tidak sehat, dan belajarlah dengan rajin di bangku kuliah, kencanilah seorang gadis, tidak perlu muluk – muluk asal dia seorang penyayang, dan sayangilah dia dan keluargamu, bye.
Tidak, jangan, tunggu Ros! Lihatlah ini betapa Evan mancintaimu, aku pernah sekali mencoba melukismu, itu adalah salah satu foto 4x6 yang kau berikan padakau pada bulan ke empat kita pacaran, aku pelukis yang payah tapi aku melukisnya dengan teliti, aku membuat skala, jika bibirmu selebar 5 mm, lukisan bibirmu selebar 1,5 cm, dan seterusnya, aku menghabiskan satu minggu untuk membuat kedua matamu nampak serupa, aku dibuat gila menggambar bagian rahang, luas wajahmu, dan bentuk kepala, aku belum menujukannya padamu karena aku malu, lukisan itu adalah bencana. Aku menyimpan semua karcis nonton kita. Aku membuat lima puluh lebih puisi tentangmu, tapi tentu saja itu hanya kusimpan untuku karena kau lebih baik dalam menulis puisi, ya, maafkan aku karena terlalu berkompetisi. Ini lihat, aku juga menulis ulang semua puisimu dalam buku khusus yang cantik. Aku menulis surat untukmu dalam resahku, tak akan kubacakan karena menyedihkan. Ini juga, aku menabung untuk membeli sepatu kulit mahal untukmu, tiga minggu lagi tabunganku akan cukup. Aku menulis semua daftar lagu yang pernah kau dengankan Ros. Oh Ros, aku punya keju banyak sekali, aku membelinya karena dulu katanya kau ingin membuat pasta yang lezat.
          Sudahlah lupakan, aku mengerti, aku akan mencoba melepaskanmu. oh Ros, ya ampun.

Rabu, 09 Maret 2016

Chapter 11

11
            Aku akan menegaskan lagi cintaku pada Rosku, supaya dimengerti bagaimana duka yang membelitku saat dia menjauh begitu menyakitkan. Aku mencintainya—dibalik kepungan  kabut setebal apapun aku tak membencinya dalam suatu hal (termasuk ketika hati kami mulai berjarak)— dari yang terlihat maupun tak terlihat, aku mencintainya, saat cuaca sedang buruk maupun matahari bersinar terang, aku mencintainya. Iya aku melankolis, mari jadi satir lagi. Seperti pasangan lain aku selalu mempertanyakanya: apakah dia bersungguh sungguh padaku? Apakah aku akan masuk lebih dalam, menyerahkan diriku sepenuhnya? Menjalin keintiman yang lebih lanjut? Bagaimana dia akan bereaksi? Bagamana sosok yang diinginkanya, apa aku harus menyesuiakan atau tetap seperti ini? Kenyataanya, Ros bukan wanita seperti itu, dia menerimaku seperti dia memeluk kucing-kucing kampung kudisan. Aku hanya perlu menunjukan diriku dengan kulit terkelupas, menyerahkan hatiku dan menjulurkan tanganku untuk menuntunya dijalan-jalan yang akan kami tempuh kelak, menjajarinya bahu ke bahu setiap saat dan tak banyak bicara hal yang tak perlu. Lelaki mana yang akan menelantarkanya? Bukan aku tentu saja. Dimanapun Ros berada, kuharap suatu saat dia membaca curahan hatiku melalui memoirku, yang sejujurnya dan tak berujung.
Saat ini Ros sedang mengingatku, kepalanya tergeletak dimeja, tanganya memegang pena terlentang menggapai lamunanya, dan matanya, mata seseorang yang sedang mengagumi teluk dari atas perahu dayung. Didalam ingatannya, sebelum kami menjadi pasangan aku meminjaminya payung karena dia kerap terhadang oleh hujan sepulang sekolah, dengan teledornya dia tidak pernah membawanya sendiri (dia tak bermaksud memberikanku kode). Kemudian ingatanya akan beralih ketika dimana aku memakinya karena dia sangat sulit kutemui. Dia melempar penanya dan pergi keluar kamar untuk membuat teh atau mengambil cemilan, dia melupakanku lagi. Begitulah diriku kiranya, hanya muncul sesekali, tak begitu berarti, bahkan mungkin dibenci.
            Sementara itu, aku sendiri seperti pecinta sejati lainya, kurator menyedihkan yang tak henti-hentinya mengagumi masa lalu dan berharap sejarah hidup dimasa kini. Sejarah Ros tak bisa dibengkokan oleh kejadian serupa dimasa sesudahnya. Wanita-wanita lain yang berpotensi kutaksir untuk melarikan diri dari Ros tak mendekati Ros sedikitpun, Ros aman tak tersentuh, Ros adalah Ros dan wanita-wanita lain adalah wanita-wanita lain. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu aku menggerutu pada diriku sendiri, kenapa wanita ini tidak secantik Ros, kenapa ayunan rambutnya tidak seperti Ros, kenapa dia bicaranya keras sekali, kenapa tahi lalatnya ada di bawah bibir, bukan dileher seperti Ros, kenapa Ros sempurna sekali. Tunggu, pasti ada yang cacat dari Ros, pasti akan kutemukan, tapi apa kira-kira, tak ada, oh Ros yang anggun. Ya, ada kegilaan kambuhan seperti itu kala aku sangat merindukannya. Sudah lima minggu Ros mengabaikanku, kegilaan-kegilaan itu mulai menjadi kebiasaan, aku menghibur diriku dengan cerpen, tenlit dan lagu-lagu untuk meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri. Aku dihibur Carver, meski Ed hampir psikopat, setidaknya Terri masih menganggap perbuatan bengisnya adalah bentuk cinta (apa kau setuju dengan Terri Ros? semoga iya). Kemudian ada Lili yang masih mau menerima kembali Tomi setelah berselingkuh dengan sepupunya, Amanda (dalam karya Giska, pujian disampul bukunya “kisah anak muda yang menghibur, memecah imajinasi sekaligus menyayat hati” oleh majalah terkenal Luv). Oh Lili yang bodoh, Lili yang malang sekali. Lebih parah lagi, dengan sebegitu melankolisnya, Go Go Dolls membuatku merasa seperti seorang pahlawan dan saat sedang percaya diri, aku merambah Nirvana “...no I don’t have a gun, no I don’t have a gun..”.
            Didalam sebuah kesempatan, aku pergi ke rumah Ros. Kunjungan itu bukan tanpa kupikir panjang terlebih dahulu, aku dibuat kalut karena dituntut untuk membuat pidato sebaik dan semeyakinkan mungkin, bukan hanya kepada Ros, tapi juga kedua orang tuanya yang mungkin tak tahu menahu bahwa anaknya sedang menelantarkanku. Putusan telah dibuat, aku pergi menemuinya dan mencoba mengambil simpati Ros dengan bermuram durja.
            Aku tiba disana tengah hari, matahari membakar wajah halaman rumah Ros, rerumputannya menguning dan dedaunan berguguran, hanya anggrek ibunya yang terllihat masih selamat dari kemarau. Aku disambut oleh kucing kampung Ros, terdengar namun tak terlihat, aku celingukan namun tak menemukannya, hanya suaranya nyaring. Semua pintu tertutup, aku mengetuknya namun tak ada yang keluar. Aku melihat melalui jendela dan didalamnya terlihat senyap. Ayah dan ibunya mungkin sedang ada acara, adiknya mungkin sedang bermain layang-layang karena anginnya sedang bagus, tapi Ros, apa yang dilakukannya diluar pada hari libur? Dia bukan seorang yang datang bermain kesana-sini dengan mudah, dia tak terlalu tahan dengan hal semacam itu. Apa dia menemui seseorang? Aku mulai gila lagi, aku resah bukan main. Aku berdiri didepan pintu rumahnya seraya memikirkan tindakanku selanjutnya. Angin kemarau menggerak-gerakan dedaunan dihalaman rumah Ros, kadang membuat miniatur tornado disana dan disini, hal ini sedikit membuatku lebih tenang.
Tidak lama kemudian, aku beranjak dari beranda sambil mengernyitkan mata karena debu. Suara kucing Ros masih terdengar, aku mencarinya dan akhirnya kutemukan dia berada diatas atap, sedang resah sepertiku. Aku menyeret kursi dari beranda dan mencoba untuk menurunkannya, tapi tanganku tidak sampai dan suaranya semakin menggila. Aku menambahkan meja dibawah kursi untuk bisa meraihnya. Namun dengan sombongnya kucing kampung ini menolak pertolonganku, sesaat sebelum aku dapat meraihnya, dia mengacuhkanku dan nekat melompat. Sebelum aku berhasil turun, dia sudah enyah dari hadapanku, baik Ros maupun kucingnya enggan meraih tanganku pikirku, aku semakin gila saja. Saat aku turun, tetangga Ros melihatku dengan curiga, aku melempar senyum padanya dan berkata dengan sedikit berteriak, “saya temannya Rosa”. “Mereka sedang tidak ada dirumah sepertinya, kucing tadi milikku, sudah sejak pagi ada disana, terimakasih”, dia menjawab. Karena dia bilang seperti itu,  aku tak akan bilang padanya kalau kucing tadi turun dengan sendirinya, gagal merebut hati Ros kembali, setidaknya aku mendapat hati tetangganya, dia: paruh baya, wanita, gemuk, dan mungkin beranak lima karena menikah umur sembilan belas tahun. Dia menawarkan padaku jika mungkin aku ingin menitipkan beberapa kata tapi aku tidak memerlukannya, lalu dia masuk kedalam rumahnya. Beberapa saat kemudian, kucing Ros yang sesungguhnya muncul, warnanya coklat dan tambun seperti babi, melenggak-lenggok bak ratu kemudian berbaring dihalaman. Setelah sedikit perkenalanku dengan kucing Ros (kalau aku tidak salah ingat, namanya menyerupai nama kapal, Peni, Pelni atau semancamnya), aku pergi dari rumah Ros.
Sesampaiku dirumah dan lebih tenang, aku bersyukur Ros tak ada dirumah, setelah kupikir-pikir usahaku dengan bermuram durja untuk mengambil simpati Ros bodoh sekali. Dibalik mantel beludrunya, Ros adalah wanita yang tegas, pendiriannya terbungkus dibalik batu, tak akan goyah dengan derai air mata seperti yang baru saja kuusahakan.

Aku tahu, pembaca yang baik mulai membenci Ros karena dia terlalu sempurna. Tapi biar kukatakan, bukankah seperti itulah sewajarnya? Semua itu terjadi karena aku mencintai Ros, cinta yang gila-gilaan dan tak berujung, jadi mengertilah

Kamis, 09 April 2015

Chapter 10



10
Mari beralih ke gulungan pita film selanjutnya, kubalikan halaman lain dari kehidupan masa laluku (Kuharap pembaca masih tahan dengan tulisanku yang penuh metafora berlebihan). Aku mencoba menyelipkan tangan-tangan rampingku untuk mengakses gambar-gambar secara keseluruhan, menelusur kabel-kabel memoriku yang sudah ruwet untuk memunculkan kembali saga familiku yang mulai ditelan usia. Dari neneku yang berdagang di pasar, kakeku yang mantan lurah berserta sawah berpetak-petaknya, dan berlanjut ke keturunanya, hingga aku dan Lis, sepupu-sepupu dan seterusnya. Juga Keluarga ayahku yang tak terlacak jejak darah yang mengalir dalam dirinya. Diantara rayapan-rayapan tanganku, penemuan-penemuan tertentu yang masih lumayan utuh akan kujabarkan melalui prosaku.
Aku menggali-nggali lagi lebih dalam variable-variabel independen yang memungkinkan untuk mempengaruhi transformasiku. Yang selanjutnya akan kuceritakan adalah suatu guncangan keluarga yang puluhan tahun mendatang tetap akan kuhujat dalam setiap pemikiran mengenai pasangan suami istri maupun pacar-pacaran, sebuah perselingkuhan.
Pertama. Penghujung 1996, bibi termudaku yang chubby dan manis terlibat suatu perselingkuhan ganas (aku tahu, agak berlebihan) ketika suaminya baru menjadi pamanku selama lima tahun. Namanya Joko, melihat kecanggunganya, aku bisa mengatakan bahwa dia masih Joko saat mempersunting bibiku, Suci. Meski wajahnya tambun, namun pinggang bibiku normal, pantatnya tidak bahenol dan dadanya hanya seukuran buah pir. Pamanku yang penurut (dilihat dari permukaan) berkulit gelap, rambutnya seperti serabut kulit kelapa, matanaya besar, tampangnya agak menyeramkan namun baik hati dan kadang kekanak-kanakan (menghindari percakapan dengan tetua keluarga besar dan memilih bergaul dengan keponakan-keponakanya).
Setelah kelahiran putra mereka yang hiperaktif, mereka sering cekcok. Sebagian besar pertikaian mereka bersumber dari perbedaan perspektif merawat anak laki-laki berusia empat tahun. Dibalik tampang seram dan kelemah lembutanya didepan keluarga lain (termasuk didepanku) Joko orang tua yang keras, teguran-teguran pada anaknya menyerupai pelatih basketku saat SMP (pasing yang benar bodoh! Lihat temanmu! Dimana matamu? Tidak masuk, Push up!). Bibiku yang juga keras, tapi tidak sekaras itu, memincingkan matanya pada suami gelapnya saat Joko mempraktikan kediktatoranya pada anaknya, Rio, zodiaknya Leo, menurut catalog Ros edisi minggu ketiga bulan Oktober, dia keras kepala dan sinting (iya, ingatanku setajam itu, hardisknya kelas satu).
Bibiku memiliki kios pakaian di pasar grosir Gladak Solo, Rukonya memiliki dua pintu, tempatnya strategis disudut perempatan gang, namun arah barat adalah arah ke Toilet, jadi jarang ada yang lewat sisi kiri mulut rukonya. Suaminya adalah petugas PAM, dia hanya bekerja pada waktu waktu tertentu untuk memeriksa kran air atau semacamnya, aku tak begitu mengerti. Namun perkerjaan utama mereka adalah merawat Rio, pertumbuhan sel-sel dan hormon-hormon pembentuk karakternya menghukum orang tuanya dengan tingkah gilanya. Dia lari kesana kemari seperti lempengan karambol, melompat-lompat bagai anak kanguru, dan berteriak tidak jelas. Dia tak mendengar perintah orang, satu-satunya yang diturutinya adalah saraf-sarafnya yang super hiper. Suatu ketika, dia menyusur kamarku dan bermain dengan miniatur biola pemberian Ros yang dibelinya di Malioboro setelah menawar selama 6 jam. Dia mengoyaknya seperti kertas, senarnya putus, lengan biolanya patah dan aku membencinya seumur hidupku. Rio adalah kata lain dari onar, Joko dan Suci adalah sepasang pawang gagal.
Jika ingatanku tak menyesatkanku, kala itu adalah malam Sabtu yang sunyi ketia Joko mendatangi Ibuku yang dianggap bijak untuk meminta pertolongan. Dia melaporkan perselingkuhan bibiku secara gamblang. Menurut kesaksian pesaing dagangnya, Parti, bibiku berselingkuh dengan seorang penarik setoran sewa kios bulanan. Dia tinggi, gelap juga, namun wajahnya dipahat dengan baik, hidungnya mancung dan raut matanya menawan.
(sebelum kulanjutkan, aku akan melenceng pada sebuah gambaran yang kudaur ulang dari karangan Flaubert. Diantara pohon-pohon yang menjulang, Emma Bovary menyerahkan dirinya pada sebuah kereta kencana yang ditarik kuda emas. Didalam kuil, yang menantinya adalah seorang pria kaya yang kedinginan karena kesendirian merajut dalam benaknya selama bertahun-tahun. Sang Madame melepaskan sepatunya, berlari kearah sang pria dengan liar dan melahapnya tanpa rasa malu. Roknya diangkat, korsetnya dilepas—kupercepat—tubuhnya tergoleh diatas ranjang berumbai, bergerak-gerak seperti kupu-kupu yang meronta-ronta  merobek kepompongnya dan merintih-rintih lantaran senang. Kemudian kembali ke pelukan Monsiour Bovary yang dingin tanpa rasa bersalah yang berarti.)
Tidak seromantis itu—ya, walau adegan perselingkuhan, itu lumayan romantis—kejadianya lebih menyedihkan. Kelakuan yang membuat Parti yakin untuk melaporkan penyelidikanya pada Joko adalah sebuah perbuatan bejat bibiku didalam ruang Toilet. Parti dengan mata kepala udangnya meyakinkan dirinya bahwa kegilaan sedang terjadi, Toilet itu hanya bisa dihuni satu orang saja, beberapa saat setelah penadah itu masuk, bibiku menyusulnya sambil celingukan. Setelah beberapa menit, mereka keluar, secara bergantian dan berjeda juga tentunya. Parti mual, dia tak sanggup melihatnya, memikirkanya membuat darah tingginya kambuh, dia meminum satu gelas penuh es teh dalam satu kali upaya.
Menurut pertimbangan Joko, istrinya tak akan melakukan perbuatan seronok itu. Ketidakpercayaanya akan fakta kebejatan istrinya menyeretnya kedalam “Logika Mistika”. Aku tak menangkap dengan jelas rapat yang digelar paman Joko dengan Ayah Ibuku diruang tamu bercahayakan bolam itu. Putusan mereka sudah bulat, mereka akan mendatangi orang pintar, mendakwa kegaiban dibalik penyelewengan bibiku.
Singkat cerita, secara mengejutkan pernikahanya selamat, aku tak tau apakah orang pintar memang benar-benar bisa diandalkan atau karena sebab lain. Perselingkuhanya berhenti, setelah gossip memalukan itu dibisik-bisikan didalam keluarga besarku dan pengasingan bibi dan pamanku lantaran malu, situasi kembali normal. Kami berkumpul saat lebaran tanpa bekas yang kasat mata. Rio masih tetap keranjingan dan percekcokan rutin mereka berlanjut.
Kedua. Anak perempuan tertua—kakak perempuan ibuku, Anik—melakukan hal yang sama, namun tidak dengan cara menyedihkan seperti bibiku. Dulunya dia adalah wanita paling berkelas dikeluarga, gemar membaca buku-buku bagus, pakaianya selalu mahal dan bermerek, tidak menertawakan lelucon murahan, dan menolak keras pergunjingan. Tapi setelah menikah dengan lelaki super tampan, lelaki kembang desa (lebih rinci, karakternya mirip denganku) yang malas, dia menjadi wanita penggerutu dan berteriak kapada semua orang. Dia menjadi Istri superior yang menakutkan mentang-mentang pendapatanya dua kali lebih besar daripada suaminya. Anak-anaknya adalah pembangkang yang sukses, hubungan keluarga ini begitu jauh, mereka tak pernah makan pada meja yang sama dan bercakap-cakap dalam ruangan bersama. Suaminya yang penyabar tak pernah mengetahui perselingkuhan istrinya sendiri hingga akhir hayat. Pengetahuan mengenai perselingkuhan yang satu ini dating langsung dari mulut tante Anik ketika membuat pengakuan kepada Ibuku setelah sepeninggal suaminya karena terseret truk. Setelah suaminya meninggal, dia tak pernah menikah lagi karena masalah restu dari kedua putra-putrinya. Meski demikian, hubungan gelapnya jalan terus, tak pernah terkuak lelaki macam apa yang mampu menculik hatinya dari genggaman suaminya yang tampan.
Setelah cerita tragis dalam sejarah keluargaku ini, bibit-bibit kebencianku terhadap wanita secara umum mulai tumbuh subur. Dalam sebuah hubungan, kecintaan terhadap lawan jenis tidaklah cukup, bahkan sebuah ikatan suci tak mampu merekatkanya selamanya. Mereka menginginkan lebih, yang beresiko, dan selalu panas—sebuah kebersamaan illegal yang terkutuk. Godaan murahan dan rayu-rayuan gombal mengambil keuntungan melalui kegelisahan seorang istri dan dengan sukarela tante-tanteku tertarik oleh gravitasinya keluar dari orbitnya. Membangun lorong-lorong tersembunyi yang menaunginya menuju tempat-tempat dimana jiwanya yang terluka dapat bergembira dibawah selubung perselingkuhan
Seiring dengan itu, kepercayaanku pada Ros goyah, pikiran-pikiran negatif dimalam kelabu menimbulkan segumpal kegelisahan baru. Mungkinkah, diluar pengawasanku yang longgar, Ros membuka dirinya untuk lelaki lain, didalam bus udik saat pulang sekolah, matanya mengkhianatiku dengan menatap remaja ganteng yang memberikan tempat duduknya. Skenario-skenario itu perlahan-lahan menimbun hal-hal lain dalam kepalaku yang biasanya diisi oleh: keanggunan Ros, kebaikanya, perhatianya yang kaku namun tulus, lekuk pinggul Ros yang indah, rekaman adegan-adegan romantic, raut ramahnya, dan kata-kata manisnya. Dimasa dimana kehangatan dan keramahan Ros keluar dari parimeternya dan murung padaku (PMS, lelah karena urusan sekolah, masalah pribadi), aku menjadi menyedihkan, mulai terus-menerus memplotnya sebagai seorang antagonis, aku lepas kendali, hal itu keluar dari kepalaku dan menular ke mulutku, kemudian keluar mentersangkakan Ros tanpa sebab berarti. Ros manjauh dariku.