13
“Buatlah Perabotanmu Sendiri” sebuah judul buku menjadi
awal kebangkitanku. Di hari yang biasa – biasa saja aku menggerayangi tumpukan
kertas – kertas undangan pernikahan di meja ruang keluarga, Dewi&Agus,
W&V, P&S, Margono&Sulastri, hampir semuanya masih dalam keadaan terbungkus
karena orang tuaku hanya perlu melihat nama, tempat dan tanggal yang sudah ada
di muka undangan. Aku membuka salah satunya, tulisanya menguap dan kuganti
dengan: Kami nikahkan putra putri kami, Rosa Nurfadila binti Ramli dan Evan
Hanafi bin Himawan, bertempat di kediaman Pak Ramli dan Ibu Endang, resepsi
Ahad Pahing 23 November 2006. Namun nyatanya takdir berkata lain, Rosa telah
mencampakan Evan. Dibawah undangan – undangan sebuah buku panduan membuat
perkakas rumah tangga dari kayu memamerkan diri “manfaatkan bahan yang ada, artistik, beragam, sederhana, dan mudah, seorang
wanita pun akan dapat melakukanya”. Aku melihat gambar – gambar bermacam
lemari, rak dinding dan rak – rak lain, meja ruang tamu berbentuk kotak, meja
ruang tamu berbentuk lingkaran dan bentuk – bentuk unik lain, pot bunga indoor aneh, macam – macam hiasan,
tempat lampu, dan puluham macam gambar dan panduan manual lain.
Jari-jariku yang dengan bosan
melipat halaman demi halaman terhenti pada gambar rak dinding berbentuk grafik kardiograf,
diatasnya empat atau lima buku tertata. Inilah saatnya Evan menjadi brilian
sebagai tukang kayu, aku teringat meja tidur bekas Lis yang teronggok digudang,
aku akan membongkarnya. Aku akan memiliki rak buku kardiograf dalam kamarku,
layaknya grafik cintaku pada Ros yang tak pernah berhenti berdetak, pikirku
(mulai alay ya?).
Aku membutuhkan waktu tiga hari
sebelum bisa membongkar meja tidur Lis, aku sedang dalam perjalanan menjadi
seorang tukang kayu mutakhir, otot-otot lenganku membesar, telapak tanganku
mengeras, kulitku menghitam, menjadi terbiasa dengan debu, dan kabel-kabel
venaku yang sebelumnya hanya nampak hijau, mulai timbul kepermukaan, dan
hebatnya kesibukan keras ini mengenyahkan Ros dari dalam kepalaku. Suara kayu
yang patah karena aku membongkarnya secara paksa membuat suara-suara tertentu
Ros tak terdengar, butir debu serbuk kayu menyerap wewangian Ros. Dentangan
palu meyakinkanku bahwa aku berhenti meratapi Ros.
Ayahku cekikikan melihat caraku
menggorok kayu-kayu. “membuat rak?” katanya, “kau ingat yang kau lakukan pada
sikring yang rusak minggu lalu?” (aku membuatnya meledak). Meski begitu dia
mendukungku secara penuh, dia gembira melihatku bermanfaat, membelikanku
paku-paku mengkilap, memberitahuku dimana dia menyimpan alat-alat tukang, dan
sebagainya. Aku merentangkan halaman buku, gambar rak itu memandangku seolah
mengolok-olok, aku memotong balok-balok kayu menjadi berukuran tertentu,
mereplika dan merangkainya menjadi grafik kardiograf dan bersiap merekatkan
mereka dengan paku. Aku menyingkirkan beberapa paku cacat, ujungnya seperti
tertempel upil metalik atau semacamnya, tak bisa digunakan memaku. Karena
amatir aku mengutuk perbuatanku sendiri, “tangan sialan! kenapa jariku kau
pukul” dan aku melakukanya lagi, “paku sialan!”. Lagi-lagi karena amatir, hentakan
paku-pakuku membuat beberapa balok kayu retak, seperti retakan pada bibir Ros
yang pernah kucumbu, oh, suara desiran itu, ombak tepian menyapu pasir pantai
yang kering kerontang, bergerak lunglai dan menghanyutkan pasir kedalam lautan
yang bergairah.
Aku sukses membuat rak buku
kardiograf, aku menaruhnya di tempat tertentu dan memandangnya dari kejahuan,
seperti saat Picasso baru saja menyelesaikan Le Reve-nya yang cabul itu. Burung-burung yang tadinya terusik
karena dentangan palu bertengger dipepohonan, ikut menikmati karya kayu
pertamaku, debu mulai mengendap karena hari sudah sore, angin beristirahat
diawan dan matahari mulai ditenggelamkan oleh rotasi. Aku berbaring disamping
rumah mendengarkan radio, mereka memutar Iwan Fals, sembari mendengarkan kritiknya,
awan dan langit yang terbakar menyilaukan mataku, aku terpejam dan bisa melihat
merah darah didalam kelopak mataku, aku tidak mengingat Ros, Lis atau siapapun,
hanya berbaring disana dan membuat pinggangku senyaman mungkin. Diujung Radio
lain: seorang pria paruh baya ikut bernyanyi sambil menggebuk bantalnya diluar
jendela; seorang kakek-kakek sedang mencoba membunuh seorang ratu dengan
kudanya, lawan mainya menggaruk-garuk kepala; seorang ibu resah menunggu anaknya
pulang bermain. Aku lupa judul lagunya, membuat seakan-akan kami menderita
sekali dan penguasa bejat sekali. Itu adalah jam dimana para pekerja pabrik
selesai bekerja, jalanan semping rumahku dipenuhi para karyawan lelaki menggoda
gadis-gadis centil sepulang bekerja, “kujemput sehabis isya ya, dipertigaan”
kata seorang lelaki. “jangan disitu banyak bapak-bapak, dijembatan saja disana
sepi” jawab seorang gadis pendek dengan pantat semangkanya. “kalian enak sekali
tidak ada sif”, yang lain tidak terima. Tak lama kemudian malam tiba, aku bisa
melihat lampu diperempatan jalan dikerumuni asap rokok bercampur asap tungku
yang keluar dari warung hik dibawahnya, aku tidur lebih awal dari biasanya
malam itu.
Pagi harinya ibuku protes, “buatkan
ibu lemari, untuk P3K, yang menempel didinding seperti milik bu Har, aku pernah
melihatnya, bagus sekali” katanya. Aku membuatnya, aku mereplika lemari tempel
berbentuk rumah. Lebih sulit dari yang kukira, bentuknya tidak karuan, tapi
seorang balita masih bisa mengenali bahwa itu berbentuk rumah. “Meja kecil juga
ya” pinta ibuku. Karena aku paranoid, aku menempatkan paku tiga kali lebih
banyak dari yang dianjurkan dalam buku: Meja cap Evan, bentuknya tidak karuan,
tapi tidak separah itu, untuk menaruh gelas tidak tumpah, juga kokoh, tahan gempa
dan tak hancur jika dijatuhi meteor.
Sudah sebulan aku menukang, aku menghasilkan
dua rak, satu lemari, dan dua meja, kecil dan agak besar, nyaris tanpa Ros,
tolong garis bawahi, nyaris tanpa Ros, bukankah itu hebat? Beberapa hari
setelah aku cuci tangan dari dunia pertukangan aku mencoba untuk meratapi Ros
namun gagal. Tak kusangka aku bisa merindu tanpa harus bersedih, apakah aku
berhenti mencintai Ros? Tentu tidak, aku rela menukar semua hasil menukangku
agar Ros kembali ke pelukanku, aku bahkan nyaris sepakat untuk memilih Ros
daripada Lis, yang tak kalah gila aku bertanya-tanya apakah ada dukun paling
ampuh sedunia yang dapat membuat Ros jatuh hati padaku lagi. Tapi Evan kecil,
delapan belas tahun, telah mengerti bahwa seorang pecinta—dalam kasusku Ros—dapat
berhenti mencintai dan pasangan yang baik harus merelakanya.
0 critic:
Posting Komentar