12
Setelah dua bulan Ros membiarkanku meratap, secara tak
sengaja kami bertemu. Aku yang sama terkejutnya dengan Ros bertemu disebuah
ruang tunggu rumahsakit dimana ayah Ros bekerja. Suatu pagi, Ibuku dilanda
panik setelah dia menemukan benjolan sebesar kacang polong dibelakang
telinganya yang sudah beberapa hari tidak hilang, “Apa aku kena tumor? ayo kita
cek kerumah sakit” katanya dan menggemparkan seisi rumah. Kami memeriksanya di
rumah sakit, namun setelah diperiksa oleh dokter, baru beberapa pertanyaan ibuku
diberi beberapa obat dan diminta pulang dan diminta sering – sering
membersihkan telinga, ibuku protes dan sang dokter bilang, “itu akan hilang
sendiri, bersihkan saja telinganya secara rutin dan minum obatnya”, ibuku malu
bukan main. Ketika aku akan duduk diruang tunggu, disana ada kepala Ros, rambut
yang sama milik Ros, ketika dia menoleh, itu adalah hidung mungil Ros, mata
yang terlihat lebih besar itu adalah mata ramah Ros. Aku menghampirinya dan dia
menyapaku dengan senyum yang ditahan. Itu adalah kecanggungan sejati, aku
terpana melihatnya, senang dan kesal malandaku, keluh kesahku yang sebelumnya
kupersiapkan sebelum pergi ke rumah Ros muncul dalam kepalaku, namun narasinya
berantakan. Ternyata, rasa canggung mencegahku untuk mengatakanya, Ros juga sedang
terlalu cantik untuk dihujani keluh kesah.
Aku
bisa salah dan bisa benar, mungkin ini adegan dimana Lili menerima kembali Tomi
sebagai kekasihnya. Pengharum ruangan mencoba mengusir bau medis, seorang
suster menatap kami berdua layaknya dia pikir kami sedang membicarakannya
sembari lewat dari kejauhan, dan Ros melempar senyum pasi padanya. Jika kalian
seorang pasangan, mata dunia akan tertuju padamu, jika kelak aku mati dikubur
disamping Ros, hantu seisi makam akan menatap kami berdua. Ya ampun! Tolong
beri ruang untuk privasi sepasang kekasih.
Aku
salah, Ros menanyakan hal – hal sepele sebagai perintang waktu, seperti dia
bertanya kenapa aku dirumah sakit dan rencanaku setelah lulus SMA. Aku belum tahu, kemana aku akan pergi
kuliah setelah lulus SMA, jurusan apa yang aku ambil, masih gelap. Sementara
itu, Ros dengan percaya diri ingin kuliah di bidang politik. Ya, Ros kadang
unik, dia yang hanya gemar membaca ramalan zodiak kini ingin mempelajari
politik. Mungkin aku salah sangka, dibalik topeng zodiaknya, dibawah tumpukan
majalah remaja Ros, ada buku – buku tebal yang hanya orang botak yang
membacanya (jangan Ros, nanti kau botak). Mungkin Ros mengabaikanku berbulan –
bulan karena dia sedang menyelesaikan enam volume buku Perang dunia II Churchill
atau Marx (percaya atau tidak, pada abad 21 Marx adalah bacaan wajib para hipster sejati). Sebenarnya bukan kali
ini saja Ros mengejutkanku, sebelumnya Ros kudapati memiliki poster Muhammad
Ali besar sekali dikamarnya (berdasarkan hasil celingukanku dirumahnya), Ros
juga pernah mengaku terobsesi pada pisau dan benda yang menyerupainya (Ros, kau
... mungkinkah ...). Saat aku bertanya alasanya ingin kuliah politik dengan
santainya dia menjawab, “Entahlah, hanya saja itu sepertinya menarik” dan
ketika aku menjawab belum tau tentang apa yang akan kulakukan setelah lulus,
dia tidak perduli.
Setelah
percakapan itu dan percakapan kecil lainya, ibuku muncul. Dia bertanya apakah
Ros temanku dan sebagainya, ibuku memandangnya layaknya Ros adalah adik kecil
yang mungil dan memujinya didepanku “cantik sekali mbak, mirip Nana Wardoyo”
(Entahlah, mungkin dia aktris atau penyanyi dangdut, oh seandainya Ibu tahu,
dia kekasihku yang kucinta) dan Ros hanya senyam senyum seperti bocah. Setelah
itu kami berpamitan, itu adalah perpisahan yang membuatku sedih, hatiku
menangis, dan Ros, diujung genggaman tanganku menghela nafas, aku seperti
diculik alien atau semacamnya, aku tak tau kapan lagi akan bertemu Ros karena
ketika itu sekolah telah berakhir.
Aku
dan para pembaca yang baik kecewa karena tidak terjadi apa – apa dalam
pertemuan itu, dan aku yakin Ros menyoraki dirinya sendiri lantaran selamat
dari ratapan depresi seorang kekasih. Dalam lamunanku yang sunyi aku merenungi
pertemuan singkat kami, aku mencoba menyocokan wujud Ros saat itu dan saat
terakhir kami bertemu sebelumnya, Ros masih sama, namun auranya berbeda. Ros
seperti tiga tahun lebih tua dari Ros yang kukenal (masih berdasarkan aura),
itu adalah aura dimana Lo yang bersuami bertemu dengan H H terakhir kalinya,
aura dimana Nick Carraway merasa jijik akan New York. Jika kutarik benang
merah, baik Lo, Nick, maupun Rosku, auranya berubah lantaran badai perasaan
telah terjadi dalam hati yang dianutnya selama ini dan mengubah keputusan
mereka untuk selamanya.
Aku
terpuruk lagi, langit biru di musim penghujan tak mampu membuat hariku
bersinar, aku terus saja dihantui oleh Ros, kenangan menyiksaku saat aku
mencoba berangan – angan. Aku bermimpi memiliki kekasih seorang selebriti dan
kemudian, oh tidak, dia lebih menggoda daripada Ros tapi dia pasti lebih bejat.
Ada lagi seorang gadis super jenius, dan oh tidak, aku akan hidup dengan rasa
malu dan merasa tak berdaya selamanya, tak seperti saat dengan Ros. Kenangan
Ros menghancurkan segalanya, keriangan semu yang selalu coba kubangun hancur
olehnya. Dilain waktu, dan lebih biru, aku membayangkan diriku terkena kanker
(seperti dalam cerita chiclit, bagi
seorang depresi rendahan, kanker dengan sentuhan bumbu melankolia akan menjadi
penyakit yang keren), lalu Ros mengetahuinya tanpa sengaja dan drama dimulai,
bahkan aku membayangkan ayah atau ibuku meninggal, dan Ros yang turut berduka
memeluku sambil berurai air mata berbisik, “tidak apa – apa aku ada untukmu”
(oh bukankah itu membahagiakan sekali?). Ros, jangan kau tanggapi orang gila
ini, dan untuk pembaca, kuharap memoar ini dibaca setelah Evan yang abnormal
mati (kuharap karena kanker).
Beberapa
waktu telah berlalu setelah pertemuanku dengan Ros, aku sudah mulai
menerimanya, Ros lenyap dari rengkuhanku, seperti Lis yang lenyap dari dunia,
tak ada gunanya, cintaku terlalu menggebu dan Ros sekarat. Selamat tinggal Ros—
bukan— selamat tinggal Pan, aku akan melanjutkan hidupku, kuharap begitu juga
denganmu, jangan bermuram durja, segeralah bangkit dan raih cita – citamu kalau
kau memang punya, atau setidaknya hiduplah dengan baik, makan tiga kali sehari,
jangan begadang, jangan merokok, itu tidak sehat, dan belajarlah dengan rajin
di bangku kuliah, kencanilah seorang gadis, tidak perlu muluk – muluk asal dia
seorang penyayang, dan sayangilah dia dan keluargamu, bye.
Tidak,
jangan, tunggu Ros! Lihatlah ini betapa Evan mancintaimu, aku pernah sekali
mencoba melukismu, itu adalah salah satu foto 4x6 yang kau berikan padakau pada
bulan ke empat kita pacaran, aku pelukis yang payah tapi aku melukisnya dengan
teliti, aku membuat skala, jika bibirmu selebar 5 mm, lukisan bibirmu selebar
1,5 cm, dan seterusnya, aku menghabiskan satu minggu untuk membuat kedua matamu
nampak serupa, aku dibuat gila menggambar bagian rahang, luas wajahmu, dan
bentuk kepala, aku belum menujukannya padamu karena aku malu, lukisan itu
adalah bencana. Aku menyimpan semua karcis nonton kita. Aku membuat lima puluh
lebih puisi tentangmu, tapi tentu saja itu hanya kusimpan untuku karena kau
lebih baik dalam menulis puisi, ya, maafkan aku karena terlalu berkompetisi.
Ini lihat, aku juga menulis ulang semua puisimu dalam buku khusus yang cantik.
Aku menulis surat untukmu dalam resahku, tak akan kubacakan karena menyedihkan.
Ini juga, aku menabung untuk membeli sepatu kulit mahal untukmu, tiga minggu
lagi tabunganku akan cukup. Aku menulis semua daftar lagu yang pernah kau
dengankan Ros. Oh Ros, aku punya keju banyak sekali, aku membelinya karena dulu
katanya kau ingin membuat pasta yang lezat.
Sudahlah lupakan, aku
mengerti, aku akan mencoba melepaskanmu. oh Ros, ya ampun.