4
Pada musim penghujan saat kelas satu SMP aku dilanda
musibah terbesar dalam hidupku. Setelah perang dunia ke dua yang mereduksi
secara massive populasi didunia, buntutnya tak berakhir pada perjanjian San
Fransisco karena morat-maritnya jepang. Pengurangan populasi masih terus
berlanjut karena masalah-masalah lain yang tak kalah kompleks, misalnya oleh
sekumpulan hewan amoral, kecil, dan bising yang mengangkut—jika dilihat seksama
dengan microskop oleh para professional akan ditemukan berbagai macam virus yang salah satunya pertamakali
digambarkan pada tahun 1779 yang kemudian seiring dengan kemajuan jaman dan
riset-riset serius yang dilakukan ilmuan-ilmuan dikenal dengan virus dengue. Lisa
termasuk dalam orang sial diantara 50-100 juta orang didunia yang terjangkit
demam berdarah setiap tahunya, dan dia kembali masuk seleksi diantara 5 persen
penderita yang terkena infeksi berat dan mengancam jiwa.
Hewan terkutuk itu menghuni sebuah kolam ikan kecil
dibawah pohon beringin ditengah tegalan yang kukunjungi bersama Lisa karena
pamanku tak berhasil membuat kami terhibur dengan rumahnya yang setengah jadi
dan masih jelek, juga sepupu-sepupu kami yang kaku saat Ibuku mengajak kami
pergi ke rumah salah satu adiknya itu karena ada acara syukuran untuk rumah
yang baru selesai dibangunya setelah empat tahun beristri. Aku, Lisa, sepupuku,
dan saudara bibiku yang sok akrab dan tak kenal putus asa untuk membuat kami
terhibur, melewati sekitar 400 meter kebun
yang berisi pohon kapas dan rerumputan liar yang membentang dikaki pohon
untuk sampai ke kolam itu. Dia, Ardi, lelaki 25 tahunan yang berwajah bulat
namun dengan sudut-sudut yang maskulin, tubuhnya tidak terlalu tinggi namun
padat, dan kakinya pendek yang akan menghasilkan potret menggelikan saat dia
mencoba melompat melewati sesuatu. Kami sampai disana dengan keringat
bercucuran dan hendak menangkap ikan atau semacamnya.
Aku dengan cekatan menggunakan jaring yang lebih
terlihat seperti raket badminton yang dirakit dengan jaring ring basket yang
disimpul, menggerayangi ikan-ikan yang tidak terlihat kasat mata dari permukaan
namun gagal menangkap satupun. Kali keempat percobaanku berhasil mendapat ikan
seukuran ibu jari kaki Lisa yang kemudian kubawa pulang dan mati beberapa hari
kemudian. Sepupuku yang lebih bodoh berusaha menangkap ikan dengan cara yang
digunakan orang pedalaman yang mendiami muara-muara sungai dengan menusukan semacam
tombak, namun sepupuku yang tak kalah udik menggunakan ranting yang panjang—
yang ketika dia mendorongnya terlalu kuat kedalam air yang dangkal, ranting itu
patah dan melukai lenganya hingga dia kesakitan dan dengan susah payah menahan
tangis karena malu padaku. Sementara itu Lisa tidak begitu tertarik dengan
ikan, dia lebih memperhatikan hal yang lebih langka, dia mengamati pohon-pohon
kapas besar yang buahnya bergelantungan seperti kepompong dan duri-duri di
pohon yang menyerupai jerawat salah satu fan Lisa. Aku melihat Lisa
mengangkat-angkat kaki kananya untuk menggaruk belakang betisnya yang telah
menerima sengatan nyamuk, dan di lengan tanganya sudah membekas tiga garis
merah muda bertumpuk-tumpuk tilas garukan Lisa, begitu juga denganku, sepupuku,
dan Ardi.
Beberapa hari setelah kunjungan kami ke rumah paman,
Lisa mengalami demam hebat. Ibuku sambil mengerutkan kening menyuruhku
mengambil thermometer yang kutemukan bersembunyi dibalik tasbih-tasbih yang
bergelantungan setelah pencarian paniku. Sementara kami berdua dilanda panic,
Lisa tergeletak dipojokan kasur menggigil tak karuan sambil mengeluhkan nyeri
pada sendinya yang menurut igauanya mau meledak. Lalu ibuku yang bergotong
royong dengan bi Ratmi (tak pernah kusinggung sebelumnya) membuat kompres untuk
Lisa dan membuatkanya minuman hangat yang oleh Lisa tak di hiraukan.
Setelah ayahku pulang, dengan hampa dia memeriksa
keadaan Lisa bagai seorang dokter kawakan yang tak lagi butuh peralatanya
karena sudah terlalu pengalaman. Dia langsung merujuk Lisa ke dokter Bambang
yang juga pernah mengkonsultasikan penyakit cacarku dan Lisa sewaktu kecil
dengan memberikan resep macam-macam obat dan larangan makan ini dan itu. Dia
adalah dokter terhormat yang juga aktif dalam organisasi amal dimana ayahku
pernah menghabiskan satu setengah juta rupiah sebagai sumbangan untuk anak-anak
timur yang terserang polio. Dia dokter tua berbadan gempal, sedikit albino dan
berambut hitam pekat dengan warna semburat putih dipangkalnya karena sudah dua
bulan tidak menyemir.
Dia lalu memeriksa Lisa dengan kedokteranya yang sudah
tersohor, dia memeriksa detah jantung Lisa, tekanan darahnya dan prosedur
standar lainya, tepat seperti yang pernah Lisa mainkan dalam drama fantasinya. Dia
melihat seksama ada bintik-bintik merah seperti campak dikulit Lisa (yang juga
baru kami sadari) dan menghilang jika ditekan dan disana Lisa hanya terkulai
Lemas seperti boneka bekas. Setelah pertimbangan ini dan itu dokter bambang
merujuk Lisa untuk kerumahsakit karena dia membutuhkan infus dan lain-lain. Setelah
debat kecil, Ayahku memutuskan untuk langsung membawa Lisa keumah sakit bersama
Ibu yang matanya sembab karena gugup dan dengan kejam menyuruhku pulang seorang
diri untuk meminta bantuan pada bi Ratmi untuk membawakan pakaian dan keperluan
Lisa karena mungkin dia akan dirawat disana beberapa hari. Beruntung dokter tua
itu menawarkan anaknya yang tak kalah gempal darinya untuk memberiku servis
penuh dan mengantarkanku pulang.
Setelah sampai dirumah dan menemui bi Ratmi yang tak
kalah berantakan dari ibuku, dia menghujaniku dengan pertanyaan tentang keadaan
Lisa, dan segera setelah kuutarakan alasanku pulang kerumah, dia langsung
menuju kamar Lisa dan memberantakan lemali Lisa, mengambil beberapa pasang
pakaian dan melesak ke kamar mandi untuk peralatan mandi Lisa yang sia-sia,
orang sakit tidak mandi.
Sesampainya dihalaman rumahsakit, kami berjalan menuju
gedung rumahsakit secepat peluru dan menemui petugas resepsionis yang cantik
seperti dalam majalah Lisa, hanya dia berpakaian lengkap dan memakai kardus
putih kecil yang terbalik dikepalanya dan rambut yang disanggul dengan sumpit
mie ayam seperti wanita jepang. Menyadari nafas kami secepat kelinci dan sedang
terburu-buru dan terlalu malas memberikan peta, dia mengantar kami keruangan
Lisa. Dia berjalan didepan kami, melenggak-lenggok layaknya sedang ada seorang
lelaki kaya dan tampan dibelakangnya. Aku bisa mencium bau alcohol sangat kuat
saat kami memasuki lorong bangsal tempat ruangan dihuni 5 hingga 8 pasien, saat
aku menengok kesana para keluarga pasien berceceran disana-sini dengan pakaian
lusuh, wajah berminyak dan memegang benda seadanya untuk mengkipas-kipas
lehernya. Keluar dari lorong kami melintasi koridor yang ditengah keliling
gedung tingat 3 terdapat taman seadanya, dan tepat disudut terdapat pintu
ruangan dekil dengan gembok karatan yang mungkin tempat tinggal hantu tukang
kebun yang mati tidak wajar seperti dalam film-film horror konvensional. Semua
tentang rumahsakit sudah dibuat sedemikian rupa untuk membuat penghuninya tidak
krasan.
Kami tiba didepan pintu kaca berbingkai alumunium yang
bertuliskan VIP (dokter lebih ramah, biaya kamar hotel berbintang) dan saat aku
hendak membuka pintu, pembimbing kami berpamitan dan mendoakan agar Lisa lekas
sembuh dengan gaya seorang salesnya (terimakasih cantik, sampai jumpa didepan).
Lisa terbenam dalam tidur saat kami tiba disana, mungkin dokter memberinya
suntikan parasetamol dosis dinosaurus hingga dia bisa beristirahat dengan
nyaman mengingat igauan Lisa sebelumnya menyerupai orang kesurupan. Dua orang
pengangguran yang menanti lotre menungguinya disampingnya dengan wajah
harap-harap cemas. Lisa memiliki lemari pendingin dan kipas angin sendiri, dan
jendela sedikit usang yang sulit dibuka karena musim penghujan. Di pojok,
diatas meja, tergeletak koran kadaluarsa bekas penghuni sebelumnya yang dengan
ceroboh pengurus kamar lupa menyingkirkanya. Ibuku dan bi Ratmi lantas
mengobrol berdua dan ayahku keluar ruang untuk menhindari percakapan mereka,
dan aku bergentayangan disana menebak-nebak apa yang ada dalam mimpi Lisa.
Dua kali dalam sehari Lisa diperiksa Ibu dokter, kali
ini dia mirip dengan dokter gigi yang memeriksa gigi bagian atasku yang rontok
ke genggaman tanganku secara misterius dalam mimpi yang kualami sehari yang
lalu (setelah kutelusuri, itu adalah alarm kematian). Dia memberi pertanyaan
ala dokternya yang sok bersahabat dan menulis catatan rahasia tanpa menggunakan
meja. Beberapa jam sehari perawat datang untuk melihat keadaan Lisa berdasar
jadwal giliran yang sudah diatur. Pagi hari Lisa dikunjungi Perawat jelek
berjilbab, berkerudung dan berpakaian kedodoran yang membuatnya terlihat lebih
tua sepuluh tahun. Menjelang sore aku melewatkan kunjungan perawat berikutnya
karena kelaparan dan kamar Lisa yang membosankan. Sekitar pukul setengah
Sembilan Lisa mendapat giliran perawat laki-laki yang dengan gaya robotnya
memberikan Lisa suntikan di pantatnya (untung Lisa sedang tidak berdaya).
Serobot apapun dia saat melakukan pekerjaan terlarang itu, diluar pintu VIP
bibirnya menyeringai karena sulbinya tersulut (dasar brengsek!). Lisa mendapat
jatah makan teratur: pagi hari, bubur ayam dengan sayuran kurang menarik yang
menghiasinya, kerupuk, plus susu apek yang biasa membuat ibu hamil
muntah-muntah; Siang hari segugus nasi, tempe, daging giling yang dicetak
seperti batu, dan soup sayur hambar (sebenarnya semua hambar bagi Lisa); Malam
hari—aku lupa apa menu makan malam Lisa dari rumahsakit, dia lebih memilih
makanan pembelian Ibuku dari warung warung illegal di sekitar rumahsakit yang tidak
lebih sehat.
Hari pemeriksaan berikutnya, saat bu dokter
menggerayangi Lisa, ekspresi wajah keriputnya berubah dari ramah yang
dipaksakan menjadi murung, serius dan menyebalkan. Lisa mengalami keadaan
kritis dan dipindahkan ke ruang ICU yang sesenyap lautan (malaikat sudah
bersiap-siap). Dia teronggok lemas sampai-sampai tak sanggup mengekspresikan penderitaanya,
jika seseorang melempar bola tenis kemukanya dia tak akan bergerak kurasa.
Ibuku menangis lagi seperti Evan kecil, dan ayahku sama cemasnya dengan semua
orang. Dia mengajaku ke masjid untuk berdoa untuk Lisa, sepanjang perjalanan
kami ke masjid dia tak mengatakan sepatah katapun, diam seperti pohon.
Ketika
kami berdoa menengadah kearah langit-langit masjid yang jamuran karena atapnya
bocor, mungkin malaikat yang budiman akan menimbang-nimbang perintah Tuanya
untuk mengeksekusi Lisa. Tapi yang terjadi bukanlah seperti itu, mereka selalu
skeptis dengan doa-doa macam yang kami
panjatkan, tak lama, malaikat mengasah sabit ulungnya dan menukik ke ruangan
Lisaku, (tuan algojo yang berpengalaman, tolong prosesinya lebih cepat dan
sebisa mungkin tak disadari oleh Lisa).
Saat kami dua laki-laki
lontang-lantung ini kembali ke ruangan Lisa, teriak tangis terdengar di
sana-sini, Lisa mati ditangan penyakit sialanya, mati seperti orang-orang lain
mati, mati seperti ikan yang kubawa dari kolam keparat tempat asal mula
kematianya. Aku terkoyak, seperti terjatuh, ambruk dan tergeletak, tapi
kenyataanya aku berdiri disana, keringat dingin keluar dari sekujur tubuhku,
mulutku kering dan pahit dan pita suaraku membeku, jantungku mau pecah,
kepalaku kosong seperti bola pingpong, tubuhku mematung, dan pelukan manapun
tak kuasa membuatnya tergerak.
Lisaku, pengasuhku, sahabatku,
cintaku, idolaku, meninggalkanku disamping rak buku, membiru dan membatu.
0 critic:
Posting Komentar