Belenggu
Ini adalah minggu malam, dan peristiwa paling sering
muncul dalam kepalaku sepanjang hari minggu ini adalah penghujung sore saat
rerumputan dan dedaunan menguning dengan iring-iringan bunyi serangga musim
panas, ketika aku membuka pintu rumah dan seekor burung pipit yang mungkin sudah seharian terperangkap
didalam rumahku (bagaimana dia bisa masuk kedalam rumah adalah misteri)
mengagetkanku dan menerobos keluar seiring aku menginjakan kakiku kedalam rumah
yang lantainya lebih tinggi lima juta centimeter daripada lantai di emperan
rumah (membuatku beberapa kali tersandung dan mengutuknya dengan kata-kata
paling biadab).
Aku memutar alarm jamku sebelum
tidur: jarum panjang menunjuk angka duabelas, dan jarum pendek menunjuk angka
enam. Dengan begitu aku masih memiliki waktu satu setengah jam sebelum masuk
kerja, aku akan menggunakan waktu paling berharga dalam hidupku itu untuk:
berbaring di tempat tidur, pergi menggosok gigi dan mencuci muka sembari minum
kopi pagi, dan jika beruntung sedang bersemangat aku akan benar-benar mandi dan
dengan sengaja mengambil resiko sedikit telat masuk kantor (mereka tak akan
menggantungku). Alarm jamku mempunyai bunyi paling nyaring dari bunyi apapun
didunia yang mempunyai jangkauan semilyar kilometer, dia nyaris tak pernah
gagal membangunkanku. Aku meletakanya lima ratus kilometer dari tempat tidurku
sehingga aku harus benar-benar bangun dari tempat tidur jika ingin membuatnya
binasa sebelum kepalaku meledak berkeping-keping. Aku bahkan membuat jamku lima
belas menit lebih cepat untuk menipuku, mencegahku dari penundaan-penundaan
yang hampir bisa dipastikan kulakukan, namun sepertinya itu adalah usaha paling
sia-sia yang pernah kulakukan sepanjang hidupku.
Pagi hari tiba dan dia
membangunkanku, lebih kejam dan tak kenal ampun daripada iblis manapun yang
bisa dilahirkan neraka.Aku merangkak sekonyong-konyong untuk membunuhnya.Kemudian
aku berbanring kembali ke tempat tidur dan memikirkan banyak hal. Dalam
keadaan setengah tidur, aku membayangkan
hal-hal menyenangkan dengan harapan bisa melanjutkanya menjadi sebuah rentetan
mimpi dalam tidur seakan aku bisa mengambil alih penciptaanya dan
mengotak-atiknya sesuka hatiku. Aku membayangkan: berenang dibawah air terjun
yang tak berbahaya, rumah yang nyaman dengan tetangga yang menyenangkan,
wanita, keluarga yang bahagia,
berpergian ke paris, hal-hal menggairahkan dan seterusnya. Aku bisa
mebayangkan satu jam berenang, tiga jam bersama wanita, dan berpergian ke paris
berhari-hari, dan saat aku menengok kearah jam, jarumnya hanya bertambah lima
menit. Mungkin itu adalah satu-satunya masa dalam hidupku aku dapat mengakali
waktu. Nyatanya, jika melihat dalam buku-buku study mimpi atau jurnal-jurnal
semacamnya yang ditulis oleh Dr. blah blah atau Prof. blah blah, akan ditemukan
bahwa waktu dalam mimpi berjalan lebih lamban daripada di dunia nyata. Bahkan
diantara dari mereka akan menjelaskan dengan tegas dan penuh percaya diri bahwa
satu jam dalam mimpi adalah lima menit dalam dunia nyata.
Kemudian, ingatan tentang burung itu
datang lagi dan memancing otaku untuk mencari tau apakah ada celah dirumahku
untuk dia bisa masuk, namun aku tak menemukanya. Kemudian ingatan itu hilang,
pencarianku berhenti dan berganti dengan pikiran-pikiran lain.
Waktu menunjukan pukul enam
tigapuluh, dan biasanya aku sudah harus bangun dan bersiap untuk berangkat
kerja.Tapi aku memutuskan untuk berbaring sedikit lebih lama, dan kupikir itu
tak akan membuatku terlambat. Aku akan menggosok gigi lebih cepat, mencuci muka
lebih cepat dan seterusnya dengan lebih cepat dari biasanya. Pukul tujuh lewat
sepuluh menit dan aku masih tak ingin bangun.Lalu aku memperhitungkan sesuatu
tentang pekerjaanku dikantor dan kupikir tak masalah jika aku membolos kerja.
Kupikir aku akan tidur lagi hingga
pukul Sembilan lalu bangun untuk membuat kopi untuk menemaniku membaca buku
kumpulan cerpen yang ditulis oleh penuli-penulis yang tak kukenal yang beberapa
hari yang lalu kubeli dari penjaga toko buku wanita yang mempunyai kuciran
rambut menggelikan. Buku itu kira-kira setebal ibu jariku, dan mungkin berisi
seratus tigapuluhan halaman, aku akan membaca limapuluh halaman pertama
kemudian aku akan membuat sesuatu untuk dimakan lalu menyelesaikannya setelah
perutku kenyang. Sebenarnya aku sudah membaca dua dari banyak cerpen sebelum
aku memutusnkan untuk membacanya lain kali. Cerpen pertama tentang seorang
lurah yang salah mengenali tamu pentingnya dalam sebuah acara yang dihadiri
banyak orang dan dibawakan dengan gaya jenaka yang datar dan kurang menarik.
Yang kedua tentang seorang gadis kecil yang mempunyai gaya bicara penuh simbol dan mempunyai kebiasaan-kebiasaan
ganjil, kemudian di akhir cerita sang narrator menjelaskan bahwa sang gadis
kecil bukanlah manusia. Aku telah salah mengenali gadis kecil itu sepanjang
cerita, seperti pak lurah.
Puluhan kali aku mencoba untuk tidur
namun tak berhasil, aku masih terbangun dan sesekali hampir tertidur dan
tersadar dalam sekejap. Lalu aku berpikir tentang pekerjaanku dikantor, mungkin
atasanku (perut sapi, dagu kodok) akan membebankan tugasku pada salah satu
rekan kerjaku—Toni dikantor sebagai pekerjaan lembur, dan dia akan diberikan gaji lembur hari itu juga.
Kukira uang itu akan cukup menutupi pengeluaranya minggu lalu yang berlebihan. Dia
mengeluarkan banyak uang untuk mendekati seorang wanita pramugari yang sedang
libur atau semacamnya dengan hal-hal mewah untuk membuatnya terkesan. Aku
sempat melihat wanita itu sekali, wanita cantik dengan tubuh ramping setinggi
sekitar seratus delapanpuluh centimeter dan enam juta kilometer jauhnya dari
pelukannya, wanita itu diluar jangkauan Toni, dia bahkan tak lebih tinggi dari
wanita itu. Namun jika wanita itu tak memperdulikan hal-hal semacam itu dia akan
tau betapa bodohnya temanku yang membuatnya terkesan dengan hal-hal mewah
sementara dia tau bahwa temanku hanya seorang karyawan kantor.
Aku mengingat tentang seorang wanita
dikantor, aku sedikit menyesal tak akan melihatnya hari ini. Dia adalah wanita
paling cantik yang tidak berungtung karena terjebak dalam kantormembosankan
sementara dia mungkin bisa menjadi seorang penyanyi (aku belum pernah mendengar
suaranya bernyanyi), model, aktris, atau pramugari sehingga dapat dipuja banyak
lelaki berkelas. Namun sepanjang dia seorang karyawan sepertiku, dia tak akan
mendapat banyak keberuntungan seperti yang didapat dengan pekerjaan-pekerjaan
lain. Dia adalah wanita cerdas namun tempat kami bekerja tak terlalu terkenal—tak
akan membawa karirnya kemana-mana kecuali dia keluar dari sana. Dia adalah
wanita anggun dan berbicara dengan sopan, dia memiliki garis-garis leher paling
indah dari semua wanita yang pernah kutemui, aku seringkali melihatnya dengan
sengaja dan sebisa mungkin tak tertangkap olehnya, aku lebih lihai daripada
mata-mata paling licin manapun. Aku beberapa kali mencoba membuat percakapan denganya,
dia tak terlalu berapi-api saat berbicara, dia berbicara pada semua orang
dengan cara yang sama.
Dia
adalah salah satu yang ada dalam daftar wanita yang bersedia kunikahi, saat
berumur duapuluh tahun keatas seseorang mempunyai kemungkinan—mungkin delapan
puluh persen lebih bahwa mereka telah pernah bertemu seseorang yang akan
dinikahinya kelak. Mereka akan memiliki daftar orang yang bersedia dinikahi.
Dengan pertimbangan paling rumit dan tak bisa dipahami—bahkan oleh pujangga
paling genius sekalipun, mereka akan membuat daftarnya. Aku memiliki empat
orang wanita dalam daftarku, dan rekan kantorku itu berhasil menempati urutan
pertama dalam kurung waktu beberapa bulan terakhir karena dia begitu ramah
denganku sebagaimana dia ramah dengan orang lain (kini kau tau betapa rumitnya).
Tiga wanita lain—dua diantaranya adalah temanku semasa sekolah, dan satu lagi
wanita yang bahkan tak begitu kukenal, kami hanya pernah bertemu dua kali, aku
hanya mengenalnya dari mulut ke mulut, memujanya dalam mimpi dan melupakanya
saat hari-hariku menyenangkan.
Pukul
Sembilan lebih dan aku belum tidur seperti yang sudah kujanjikan setelah memutuskan
membolos kerja. Aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku dan bangun dari tempat
tidur, rasanya seperti aku ingin mati dengancara selembut mungkin (didalam
pesawat, diracuni oleh seorang pramugari misalnya). Aku mencuci muka kemudian
meluncur kedapur dan membuat secangkir kopi.Saat mencari sebuah cangkir, tak
kutemukan cangkir yang bersih, semuanya kotor oleh sisa-sisa kopi, rasanya aku
tak mencuci perabotanku seabad lamanya.Aku lalu mengambil buku cerpen yang
kubicarakan sebelumnya lalu membuka dan membaca-baca kembali cerpen tentang pak
lurah dan gadis kecil, baru kemudian kulanjutkan ke cerpen-cerpen berikutnya.
Hanya beberapa cerpen dan aku tak terlalu bersemangat untuk melanjutkanya, aku
sama sekali tak mengenal para penulisnya, mereka tak terlalu menarik, mungkin
sang editor menyusunya untuk keuntungan komersial—untuk pembaca-pembaca yang
menurut perhitungan ini dan itu menarik bagi pasaran, namun bukan pembaca
sepertiku rupanya, selain itu buku ini memiliki sampul yang menarik: ada
seorang gadis kartun berdiri di tepi danau, matanya tertutup poni rambutnya dan
seekor anjing duduk disampingnya seakan gadis itu sedang menuangkan makan
siangya dalam mangkuk makanya; kemudian ada sebuah pohon berdaun semacam daun
bambu, dan judul cerpen ditulis dengan jenis huruf yang tak asing bagiku.Aku
bahkan tak ingat mengapa aku membeli buku itu.Aku melemparkan buku itu ke
tempat tidur dan kembali berbaring disampingnya, lalu aku tertidur, aku tak
ingat kapan aku mulai tertidur, tapi aku benar-benar tidur.
Aku
terbangun pukul dua siang, sepanjang ingatanku aku tak pernah tidur siang
selama ini. Baru beberapa saat aku menyadari bahwa hari ini aku tidak masuk
kantor, kepalaku pusing tak karuan hingga aku sulit membuka mataku. Aku
memaksakan bangkit dari tempat tidur kemudian meminum kopi yang sudah dingin.
Tiba-tiba aku mengingat tukang koran di lampu merah di jalan yang setiap hari
kulewati untuk sampai dikantor, yang sudah milyaran kali menawariku untuk
membeli koranya tapi tak pernah kulakukan. Mungkin dia bertanya-tanya kenapa
aku tak lewat lampu merah, dia tak tau jika aku tak berangkat berkerja,
kemudian dia akan berpikir “mungkin sudah lewat dan aku tak melihatnya” tapi beberapa saat kemudian dia
akan berpikir “biasanya aku melihatnya” lalu dia menyadari bahwa aku tidak
berangkat bekerja.Aku memperkirakan jika aku keluar rumah dan pergi ke suatu
tempat yang menyenangkan, tapi aku tak menemukan seorangpun yang menyenangkan
yang kiranya bisa kuajak bepergian. Dan jika aku memaksakan untuk keluar pergi
seorang diri, aku akan lebih merasa kesepian dibanding berbaring disamping
bukuku yang terabaikan.
Kemudian
aku berpikir seandainya aku masuk kantor, beberapa jam yang lalu aku berada
disebuah rumah makan diseberang kantorku—tempat biasa aku makan siang bersama
kedua temanku Anton dan Toni, kami selalu cocok saat berbincang-bincang. Anton
adalah orang yang pintar, walaupun mungkin dia tidak terlalu pintar, setidaknya
dia kritis dan mengetahui banyak hal. Dia pernah berkata padaku jika dia tidak
menjadi seorang karyawan dan mempunyai sedikit keberuntungan, dia akan
bergabung dalam sebuah partai polotik. Dia sudah menikah dan memiliki anak
berusa empat tahun.Aku pernah beberapa kali bertemu dengan mereka.Mereka adalah
keluarga sederhana yang bahagia, dan seandainya kelak aku tak dapat memiliki
sebuah keluarga yang kuimpikan, aku samasekali tak keberatan memiliki keluarga
seperti miliknya.Kemudia Toni—aku lebih baik mendengar suara bom atom meledak
dalam kepalaku daripada mendengar kicauanya, meski seperti itu aku tak bisa
mengabaikanya, ada rasa sungkan yang aneh saat aku mencoba mengabaikan apa yang
dia bicarakan. Dia adalah tipe orang yang jika aku bercerita padanya tentang
kelinci lucu, dia akan bercerita tentang kelinci milik teman dari teman sepupu
tirinya yang memiliki tiga telinga. Ada pesakitan tersendiri dalam dirinya saat
dia tak menjadi pembicara yang menonjol diantara pembicara lain dalam obrolan
seringan apapun.
Aku
membayangkan sebuah rangkaian perbincangan dengan mereka.Kami memasuki rumah
makan dan menemukan tak ada kursi yang kosong untuk kami bertiga.Kemudian tak
lama setelah itu, beberapa orang, dua atau tiga baru saja menyelesaikan makan
siangnya, lalu kami duduk disana dan seorang pelayan datang membersihkan meja
dan mengambil piring dan gelas kotor sisa pengunjung sebelumnya. Sesaat setelah
pelayan itu pergi kami akan sedikit membicarakan penampilanya, meski aku juga
tak terlalu memperhatikanya. Aku melihat ekspresi paling bodoh yang bisa ditimbulkan
oleh Toni. Saat aku menanyakanya dia berkata, “Ibuk-ibuk disana memergokiku
saat aku menatap pantat pelayan tadi dengan pandangan sinis, aku malu”
“kukira
kau tak akan tertarik dengan pantat seorang pelayan” kataku, “katamu kau pernah
punya pacar seorang model saat SMA”
“kau
seharusnya melihatnya”, balas Toni.
“aku
tidak tertarik, aku akan menikahi seorang aktris. Aktris memiliki pantat lebih
indah daripada seorang pelayan.”
“milik
istriku lebih baik daripada pelayan tadi”, sahut Anton seraya tertawa “mantanmu
pasti hanya beruntung menjadi model, kalau kau benar-benar pernah memilikinya”
“istrimu
akan menjadi model jika tak menikah denganmu” balas Toni yang agaknya mulai
kesal, “dan kau, satu-satunya pantat yang kau lihat sepanjang hidupmu adalah
milik Ita”, Ita adalah wanita di kantor yang menempati top listku.
Hari
sudah sore, aku berjalan dan melihat melalui jendela, aku melihat anjing
tetangga sebelah yang tengkurap dipinggir jalan sambil menghitung kendaraan
yang sesekali lewat dan matanya melesat kekiri dan kekanan mengikuti anak-anak
yang sedang bermain disana. Mereka sedang memainkan sebuah permainan, pertama
aku tak mengerti permainan apa yang anak-anak itu mainkan, namun beberapa saat
kemudian aku berhasil mengetahui bagaimana mereka memainkanya. Ada salah
seorang anak menyebalkan yang bermain curang, aku harap anakku kelak tak
seperti dirinya, aku akan mengambil sebilah parang dan membunuhnya jika itu
legal dilakukan, seseorang akan melakukan hal yang sama jika melihat bagaimana
dia bermain curang. Aku nyaris bisa merasakan dinding sebelah barat rumahku
yang dibaliknya—sinar matahari sore menyengat setiap inci dinding dan perlahan hangatnya
meresap dan menembusnya. Untuk sesaat aku merasa tenang dan senang, dan aku tak
tau mengapa, tak hanya hangat matahari sore yang bisa menembus dinding-dinding
rumah, tapi suara riang anak-anak sore bergumam diseluruh ruangan, begitu juga
dengan burung kemarin sore, diapun bisa menembus dindingku.
Aku
kembali mengingat burung itu, pikiranku sudah tau tak ada celah dalam rumahku
yang bisa dilewatinya untuk masuk, kemudian aku memikirkan jika seandainya
memang ada sebuah lubang atau semacamnya sehingga dia bisa masuk, aku tak
mengerti mengapa dia mau memasuki rumahku, dan kurasa dia bisa menemukan jalan
keluar jika dia bisa masuk kedalam. Kupikir—dia kira bisa membuat sarang
didalam rumahku, lagipula ada tempat kosong di tempat tidurku, dia bisa berbagi
dengan bukuku yang terabaikan. Aku tak tau, mungkin tak akan pernah tau, sama
bingungnya dengan burung itu sebelum akhirnya aku masuk dan membuka pintu. Aku
beranjak dari jendela, dan hanya beberapa langkah aku kembali ke jendela itu,
melihat anak tadi bermain curang lagi tapi aku sudah tak begitu perduli, lalu
aku benar-benar beranjak dari sana.
Sekeping
kesenangan misterius yang seseaat yang lalu menghujamku, tiba-tiba berubah
menjadi kesepian yang menyedihkan, kerinduan yang mengerikan, kemudian aku
menangis, aku menangis dengan sangat memalukan, aku tak ingat kapan terakhir
kali aku menangis tapi aku benar-benar menangis tak karuan, aku menangis
seperti bayi, aku menangis seperti wanita. Aku tak bisa merasakan tubuhku,
tangan dan kakiku terasa kaku dan dingin, pikiranku kosong dan tak bisa
mengingat apapun. Aku hanya merasakan kerinduan yang gila, aku bahkan tak tau
apa yang aku rindukan, sesaat kemudian semua ingatan-ingatan masa laluku
terlintas dalam kepalaku dalam sekejap. Kemudian perlahan-lahan ingatanku
kembali dengan sangat jelas, mereka terlihat nyata: aku mengingat semua yang
kualami dimasa laluku, semua yang kulewatkan dalam hidupku, semua orang-orang
dalam hidupku; keluargaku, sahabat-sahabatku, orang yang kucinta, orang-orang
yang kubenci. Ingatanku tentang burung itu samar-samar terselip diantara
mereka.Beberapa saat kemudian aku berhenti menangis, lalu aku mengambil
sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam.Aku kembali merasakan ketenangan
yang sangat, aku seperti terbebas dari segala selaksa sulur duri hidupku.Hari
mulai gelap, jika aku berada di atas atap mungkin aku bisa melihat matahari
terbenam dibalik pepohonan, dibalik rumah-rumah, gedung-gedung dan jalan-jalan
yang rumit.
Diluar
sudah gelap, begitupun dalam rumahku, aku berjalan kesana kemari menyalakan
lampu-lampu dalam rumahku. Sementara itu tiba-tiba aku merasakan lapar yang
luar biasa, seperti aku sudah tak makan lima ribu tahun, dan baru kuingat aku
belum makan apa-apa seharian kecuali secangkir kopi (yang membuatku tetap
hidup). Aku pergi kedapur dan membuat makanan seadanya, aku tak begitu ambil
pusing tentang apa yang kumakan, aku memakan apapun, layaknya manusia.
Sementara
aku makan malam, aku kembali mengingat Ita, aku memingat percakapan singkat
yang beberapa hari yang lalu kami jalin. Aku mengingatnya dengan jelas, sangat
jelas seperti makanan dihadapanku.
“Bagaimana
pekerjaanmu hari ini?”, sapaku.
“aku
cukup sibuk hari ini, bagaimana denganmu?”, jawabnya sambil sibuk dengan
pekerjaanya.
“Begitu
juga denganku, begitu juga dengan semua orang disini”
“yap,
mereka membutuhkan lebih banyak orang disini”
“betul
sekali, aku ingin membagi pekerjaanku untuk dua orang, kau terlihat lelah, kau
perlu istirahat”
“Aku
setuju denganmu, aku akan istirahat saat makan siang, sekarang aku harus
melanjutkan pekerjaanku”
Aku
sibuk dengan makanaku, aku makan seperti srigala, tak pernah kurasakan makanan
senikmat ini.Sementara itu, jika saja aku dapat kembali kesana, aku akan
memperbaiki pembicaraanku yang mengerikan dengan pembicaraan yang lebih ramah
dan berani.
“Bagaimana
pekerjaanmu hari ini?”
“Aku
cukup sibuk hari ini, bagaimana denganmu?”
“begitu
juga denganku—hey, kau mengubah potongan rambutmu (dia benar-benar melakukanya,
dan aku tak melakukan apapun mengenai itu), kau terlihat berbeda, tak terlihat
lebih buruk—maksudku—kau tampak lebih baik (kenapa sulit sekali menyebutnya
cantik!)”.
“begitukah,
terima kasih, Desi (temanya yang cerewet) juga mengatakan hal yang sama”, Dia
menghentikan pekerjaanya dan menatapku.
“berarti
itu memang benar dan kau harus mempercayainya. Hey, mungkin kau bisa bergabung
denganku untuk makan siang, kau tau rumah makan di seberang gedung ini, aku
melihatmu beberapa kali disana, aku selalu makan siang disana bersama Anton dan
Toni. Kau bisa mengajak beberapa temanmu, kau bisa mengajak Desi”
“Kedengaranya
menyenangkan, dia akan kesana bersamaku, pelayan disana akan butuh meja yang
lebih besar sepertinya”
“Bagamanapun
juga mereka akan menyediakanya, baiklah, sampai jumpa saat makan siang”,
kemudian kami kembali pada pekerjaan kami masing-masing.
Malam
semakin larut, semakin malam aku semakin merindukan Ita, aku merindukanya
seperti seorang maniak. Bahkan aku merindukan kantor, jauh lebih merindukanya
disbanding kerinduanku saat hari libur baling buruk sekalipun.Lalu aku
memutuskan untuk berbaring ke tempat tidur, bukuku masih disana.Aku memungutnya
dan membukanya, aku memutuskan untuk membacanya, aku membacanya hingga selesai
dan melemparkanya kembali kesampingku.
Seiring
dengan itu malam benar-benar sudah larut, mungkin aku akan memutuskan segera
tidur. Aku mengingat kembali apa yang kulakukan seharian tadi, aku mengingat
bagaimana aku mengingat tentang burung, Anton, Toni, Ita dan seterusnya. Baru
aku sadar aku tak melakukan apa-apa seharian ini, kecuali membaca buku paling
buruk seumur hidupku.Burung itu kembali terbang ke dalam ingatanku, saat kucoba
kupikir-pikir kembali, mungkin itu bukanlah burung, mungkin hanya imajinasiku
saja, atau dia adalah hantu atau sejenisnya.Mungkin aku sudah gila
memikirkanya, atau terlalu mengantuk, tapi bagian otakku yang masih waras
mengatakan itu adalah benar-benar seekor burung.Tak lama kemudian aku tertidur,
aku tertidur sangat pulas, lebih pulas dari tidur manapun sepanjang
hidupku.Dalam tidurku aku bermimpi tentang burung, aku bermimpi terbang seperti
burung.