5
Pemakaman
Lisa berjalan meriah, orang-orang berbondong-bondong berpartisipasi mengasihani
Lis yang mati muda dan rumahku masih diselimuti gelak tangis mengerikan, dan
Lisa melewatkan pemakamanya karena dia mati, dia di alam lain yang misterius—yang
menurut Kitab Suci dia berada di alam kubur yang katanya menyeramkan itu
(seperti khotbah Joyce, misalnya), dan ditanya ini itu (jawab dengan tenang dan
percaya diri Lis). Menurut parimaterku, tak ada instrumen penyiksa selembut
apapun yang dapat—dengan persidangan seadil-adilnya oleh hakim agung di tempat
gelap itu—menjatuhi lisa ganjaran atas hidup singkatnya bersamaku dan
orang-orang ini. Dalam rekayasa bayanganku yang kurang masuk akal, sembari
menunggu dunia berakhir, mereka mungkin—Lisa diperbolehkan menempati ruang
gelap dengan penerangan remang dan peristirahatan seadanya dengan jaminan
kelayakan yang memadai dan Lisa hanya perlu membalasnya dengan melayani penjaga
makam seperti bi Ratmi melayani keluargaku.
Paska
kematianya, ingatan fotografik paling jelas yang terpatri dikepalaku adalah
gambar-gambar memilukan saat-saat terakhir Lisa meregang maut dan riuhnya
prosesi pemakaman. Suatu saat ketika hal-hal itu muncul dan melayang-layang
dalam ruang ingatanku yang masih dilanda duka mendalam, aku tumbang dan
memanifestasikan ketidak-karuanku dengan melesat ke kamar Lisa dan membuka
mantan lemari bajunya (beberapa minggu kemudian menjadi milik toko barang
bekas) menyeret sebisaku yang bisa terjangkau oleh kepalan tanganku dan
kulempar pakaian-pakaianya keluar jendela (hampir aku tersungkur keluar jendela
bersama pakaian-pakaian itu dan menyusul Lisa), meronta-ronta dan menjatuhkan
semua barang diatas meja belajar Lisa sebelum akhirnya bi Ratmi mencengkeramku
sebelum aku menghancurkan dunia.
Aku
berubah menjadi anak mengkhawatirkan menurut reka-reka analisis psikologis
dangkal ayahku yang kemudian memunculkan opini bahwa aku memerlukan bantuan
professional. Namun karena keliahaianku mencegah penguntit dengan kedok
psikolog yang nantinya akan mengorek-orek informasi rahasiaku seraya menerapkan
teori dari gelar sarjananya padaku dengan gaya Fraud-nya—maksudku
Freud—aku mulai menjadi normal kembali seiring berjalanya waktu dan
kekhawatiranku akan perhatian orang tua paranoidku.
Ibuku
masih rutin menangis setiap malam berminggu-minggu setelah Lisa mati, dia
mungkin mewakili tangis Lisa disudut kegelapan peristirahatanya yang baru mulai beradaptasi dengan
kengerianya. Ayahku yang lebih tahan banting, membasuh airmata kami dengan
segenap dukacitanya yang dipaksakan diendapkan untuk membuat Ibuku memiliki
tempat bersandar selain pada batu nisan Lisa yang bisu.
Dalam
kerinduanku, mimpi yang kuusahakan untuk mendatangkan Lis kesana dalam
tidur-tidur kucingku—memeras keringat aku dibuatnya dengan segala upaya menurut
pengetahuan rendahanku—membuat rentetan imaginasi visual dalam bayangan
pikiranku tepat sebelum aku masuk tahap setengah tidur dan berharap bisa meneruskanya
dalam tidur yang sepenuhnya seperti chapter-chapter dalam cerita fiksi.
Usaha-usaha itu selalu berujung pada runtuhnya kesadaranku dan terputusnya
rangkaian imajinasiku yang beralih menjadi mimpi-mimpi absurd. Misalnya aku
yang mengendarai sepeda onthel diatas salahsatu dari dua jalan bercabang dan
berpangkal di sebuah trowongan yang sebelum masuk trowongan terdapat sebuah
menara pemancar mencurigakan dan dalam kegelapan trowongan aku terjatuh hingga
kepalaku benjol tiga tempat, yang mungkin mampu dianalisis melalui buku General
Introduction to Psychoanalysis(tolong jangan dilakukan).
Percobaanku
yang lain adalah dengan rutin—sebelum tidur atau saatku kesepian—aku menghirup
parfum Lisa aroma floral campuran mawar dan vanilla yang kadang membuatku sakit
kepala karena terlena menciumnya terlalu lama. Parfum itu kucuri dari sisa-sisa
barang Lisa yang masih selamat (tidak termasuk majalahnya)sebelum dihibahkan
kemana-mana. Barang lain yang masih selamat adalah meja belajar yang sudah
tercorat-coret, cermin gantung menakutkan, lampu belajar (kuwarisi), dan
seperangkat tempat tidur yang dionggokan di gudang, selain itu semuanya lenyap,
termasuk bukti sejarah ketenaran Lisa dari penggemar-penggemarnya, semua raib
bersama kepergianya.
Hal-hal
berikutnya yang membuatku menyesali kematian Lisa muda adalah hal-hal yang
kelak dialaminya dan lenyap karena kematianya. Sejalan dengan masa pensiun menjadi
anak-anak praremaja yang penuh gelombang tak terduga dia belum pernah diantar
pulang pergi sekolah oleh Jono atau Yono, atau hubungan-hubungan terlarang
seperti teman-temannya yang berandalan, aku juga belum pernah mendeteksi adanya
jatuh cinta gila-gilaan dialaminya (dimana kau sembunyikan Lis?). Atau mungkinkah
aku hanya tak berhasil mengetahuinya, mungkin dibalik surat-surat penggemarnya
ada sepercik harapan nama seorang pangeran impian Lisa tertulis di identitas
pengirim (yang Lis sudah menyiapkan jawabanya dengan matang dan meyakinkan)
yang biasanya diletakan oleh remaja-remaja itu di bagian kiri bawah depan
amplop.
Seketika bayanganku
tentang kakak ipar impian hilang, padahal aku sudah membayangkan hal-hal
menyenangkan denganya seperti menggunjing rahasia istri-istri kami,
mendiskusikan otomotif, atau mengeluhkan superioritas makhluk perempuan. Belum
lagi hilangnya kesempatan untuk mengarungi runyamnya bahtera rumahtangga yang
mungkin akan disertai keponakan-keponakanku yang lucu, dan aku, paman mereka
yang berkumis saat akhir pekan yang panjang akan mengajak mereka bertamasya ke
kebun binatang atau pergi ke pasar malam hingga Lis akan memarahiku karena
pulang terlalu larut. Namun semuanya sia-sia Lis telah tiada, hanya tinggal aku
dan dia yang selalu kukenang.
0 critic:
Posting Komentar