9
Aku
akan mencoba menterjemahkan betapa aku mencintainya kedalam sastraku yang kacau
balau. Setelah puluhan tahun, kediamanya hampir tak terusik dalam relung
kedalaman diriku. Didalam sana, diriku yang sudah tak bisa kumpanggil lagi
bersorak ria menikmati dirinya yang bagiku masih seorang wanita belasan tahun
yang anggun dan menawan hatiku, corak wajahnya beberapa kali masih bisa muncul
dengan efek kabur yang berlebihan. Beberapa yang masih tersisa darinya dengan
jelas masih mampu menusuku dengan duri-duri mawarnya.
Kaki-kakinya
yang seindah menara eifel. Pinggul menekuk kedalam, dada tegapnya. Tanganya
yang seperti lambaian daun kelapa. Pergerakanya yang seanggun pengantin (aku
membayangkan: janur melengkung, sanggul merepotkanya, lipstick di bibirku,
kebaya yang membuat kami lamban, keringat dingin pengucapan janji, dan
seterusnya). Pancaran wajahnya yang membuatku menghormatinya seperti apapun
juga. Senyumnya yang membuat lututku gemetaran. Aromanya yang membuatku
mengabaikan surgawi.
Kecantikanya adalah kelopak-kelopak
bunga yang berjatuhan di musim gugur, oh, hati macam apa yang mampu meniupkan
angin dan melayangkanya dalam rengkuhanya. Di penghujung tahun kedua SMA, aku
mampu meresap kedalam kulitnya seperti matahari pertama penghujung musim hujan.
Humorku yang pas-pasan mampu menyeret sudut bibirnya melebar dan memperlihatkan
gigi-giginya yang berantakan (namun samasekali tak membuatnya kurang cantik).
Sejarahku yang menawan(tak terlalu banyak berhubungan dengan wanita) memutar
bola matanya padaku. Ujung jarinya dipandu oleh usaha-usaha pendekatanku yang
kikuk tepat kearahku. Ekspresi wajahnya melebur dan berubah menjadi rangkaian
alfabetis bersayap yang melayang-layang, “Ayo, kita tindak lanjuti sayang!”.
Aku menyadarinya ditengah percakapan-percakapan kami, sesekali wajahnya yang
dilekati observasi bercampur pandangan seorang ibunya menenggelamkanku kedalam
dirinya. Ditengah kekhawatiranku akan keberanianya untuk menuruti perasaanya,
terlihat tatapan kosongnya yang meladeni kepingan keraguanya yang kubenci.
Namun sihirku terlalu kuat, sungainya bermuara dan larut dalam lautanku.
Pada suatu sore diguyur
gerimis yang mampu menggenangi selokan kecil penuh pasir dan sisa sisa mendung yang
memperburuk penampilan rerumputan dan bunga-bunga, aku terdampar, terjebak
diantara emperan kelas yang basah kuyup dan dinginya ruang kelas yang mampu
membuatku berkeringat tak karuan. Teman-temanku yang baik hati (yang
sebelumnya telah kuorganisir untuk prosesi lamaranku) telah menempatkan Rosaku
didalam kelas, sendiri tanpa pendamping. Aku melangkahkan kaki-kaki mungilku
seperti sang singa mengintai mangsanya yang celingukan dan asik makan rumput
sorenya untuk masuk. Pemanduku pergi dan menyerahkan segalanya padaku, mungkin
dia sempat mendengar detak jantungu yang semakin kencang. Seseorang menutup
pintu, hanya kami berdua ada didalam ruangan dingin itu. Sudut kelas seolah
mengambil peran sebagai hakim agung dan jaksa penuntut yang siap membimbingku
ke tiang gantungan. Suara gerimis yang tak begitu berpengaruh membuat suasana
semakin tegang. Aku berhenti tepat diseberang meja dimana Rosa duduk. Aku
berdiri seperti patung yang pondasinya dihantam akar beringin, Rosa
memandangiku seolah dia membawa enamratus gram ganja didalam tas kumalnya dan
ketakutan akan diringkus pak polisi. Kami terdiam beberapa saat, secara
bergantian aku mengganti tumpuan badanku ke kaki kiri dan kananku (yang akan
menjadi tarian konyol jika kupercepat tempo pergantianya). Sesekali kupandangi
wajah Rosa yang dalam beberapa momen terlihat seperti jeruk, namun wajahnya
sewarna delima.
Adegan tak-tau-harus-berbuat-apa-selanjutnya
kami akhirnya dihentikan oleh hentakan kata Rosa, “ada apa?” (Tolong! Aku
terkena serangan jantung). Segera aku meminta Rosa untuk menjadi kekasihku (aku
tak sempat membuat puisi). Suasana segera sesenyap gurun. Pandanganya lepas
dariku (yang tak pernah kumengerti) dia membuang pandanganya ke jendela dengan
tatapan seseorang yang sedang mengagumi laut, mungkin dia tenggelam dalam
pikiranya. Rosa tau, pertimbangan apapun yang sedang dia lakukan sepanjang yang
diberikan oleh waktu tak akan merubah perasaanya, meskipun dia bisa mengubah
jawabanya menjadi drama yang sangat bisa kuterima. “Baiklah”, dia menjawabnya
dengan nada yang ingin membuatku puas.
Suatu
sore yang lain, saat matahari menguapkan sisa-sisa air hujan, dalam ruang kelas
yang sunyi kami berduaan ditemani bangku dekil yang dicat ulang, udara ruangan
yang lembab, dan kabel-kabel yang merambat didinding disamarkan dengan cat
tembok warna putih tulang. Keromantisan itu menggeser kilauan dalam hatiku
menjadi api-api berbahaya yang mebakar sulbiku dibawah selimut dingin udara.
Pandangan kami berpapasan dalam pencarian-pencarian pertanda, beberapa saat,
dewi asmara menepuk tengkuk kami dan menyentuhkan bibir bisuku dan miliknya,
pengekangku terlepas, duniaku dalam radius tak terhingga lenyap ditelan gairah,
angin berhenti bertiup dan waktu bergerak seperti awan. Tangan-tangan amatirku
menyusuri tempat-tempat tak terduga secara sembunyi-sembunyi, tubuhku bergerak
seperti ranting-ranting pohon. Di akhir adegan, kedua remaja ini mampu bekerja
sama dengan baik untuk menghentikanya dan melanjutkan sore dengan kasual—walau
agak kaku. Suara yang paling bisa kudengar hingga kini adalah nafas kami yang
diusik oleh suara bangku yang berdecit karena gerakan erotis kami. Peninggalan
bersejarah lain adalah ketika kami gagal mereplika adegan serupa di dalam
gedung bioskop karena lampunya menyala secara tiba-tiba (padahal posisinya
sudah strategis).
Saat
keadaan-keadaan sekolah yang tak memungkinkan bagi kami untuk bermesraan, dari
kejauhan teropongku bisa menangkap dirinya beraksi dipermukaan layar yang
tersorot cahaya proyektor kepalaku yang kotor. Gambar-gambar ketika dia
berjalan dengan anggun, cara rambutnya jatuh ke wajahnya, dan rekaman adegan
ciuman kami yang diambil dari sudut paling strategis ruang kelas itu mengambil
alih otaku. Diatas kasur dinginku, peragaan Le
Reve-ku kumodali dengan rentangan imajinasiku yang menyusur setiap
permukaan privasinya. Cara berpakaianya yang penuh sopan santun memberikanku
kesempatan untuk menjelajahi setiap pola-pola dan bentuk-bentuk sesuka hatiku. Namun karenanya,
foto-foto yang bisa kupandangi tidak pernah konsisten dan palsu. Ekspresinya
juga hanya kubuat-buat.
Lihat
betapa normalnya diriku, aku mencintai wanita, tolong jangan kesampingkan hal
ini hingga akhir cerita.
Jauh sebelum aku
mencumbu Rosku, peristiwa lain yang menyebabkanya gagal menjadi ciuman pertama
kemi diungkapkan Ros dengan linangan air mata. Petani miskin paruh baya bernama
Parjo (sebenarnya aku lupa namanya siapa) merebutnya dariku secara paksa. Hari
Minggu ketika matahari merangkak keatas pohon rambutan sisi timur rumah Ros,
lelaki itu datang menemui ayah Ros dengan luka gigitan ular. Dengan sigap ayah
Ros memeriksanya, sebelum menyuntiknya dengan antitoxin, Ramli (aku beru ingat namanya) menanyakan padanya apakah
dia pernah mengalami bilur-bilur, gatal, bengkak, sukar bernafas setelah
mendapat suntikan penisilin. Dia
menjawab ya sambil terisak-isak. Selanjutnya—yang dia lakukan dengan
tergesa-gesa—dia mengambil sebotol
promethazin dan menyedotnya mnggunakan suntikan sebanyak 3 ml dan
dimasukanya melalui pantat hitam Parjo 15 menit sebelum dia memberinya antitoxin. Ramli menyuruh Parjo rileks
dan menunggu reaksi antitoxin.
Selanjutnya, semuanya tergantung pada kondisi usus besar ayah Ros. Itu adalah
ketiga kalinya Ramli pergi ketoilet pagi itu, sebelum dia meluncur kesana, dia
meminta Ros menunggui pasienya dan meminta segera memanggilnya jika pasienya
sesak nafas atau pingsan.
Kemudian kejadian
biadap itu terjadi, setelah tubuh petani keparat itu mulai segar kembali, dia
mengangkat kepalanya dari bantal dan menyusuri tubuh Ros dengan mata cabulnya.
Dia mendekati Ros yang sedang mencari ampul
adrenalin—terletak di lemari dinding nomer dua sebelah kiri cermin—atas
perintah ayah mantrinya. Dia membelai rambut Ros, memegang belakang kepalanya,
mendorongnya kearah wajah kumalnya dan bibir berdebunya menyapu milik Ros. Ros
memberontak dengan dahsyatnya, mendorong dagu keparat itu kuat kuat dan
meloloskan dirinya seraya melempar adrenalin
kearah lelaki itu—meleset dan menggelinding diantara kaki tempat tidur. Dia
menangis dan berlari. Ayah Ros kalap, dia memukulnya hingga roboh, ambruk, dan
hidungnya dibanjiri darah. Ditengah erangan kesakitanya, lelaki itu mengalami
asma, Ramli tercangang dan segera menggerayangi
adrenalin. Dia menyuntikanya
padanya dilanjutkan dengan pemberian antihistamin
dan menyuruhnya pulang dengan kasar.
Semurka apapun, jiwa kedokternya terlalu melekat, hal itulah yang juga
menyembuhkan sakit hati dan kemarahan Ros akan kejadian itu lantaran bangga.
Semenjak kejadian itu, Parjo menghilang dari kehidupan keluarga mereka
selamanya karena malu.
Namun diriku, setelah
dongeng pilu itu darahku naik lantaran tidak terima. Parjo mendapat pengobatan
gratis, ciuman pertama Rosa dan hanya diganjar dengan satu pukulan dan sumpah
serapah kurang kasar ala ayah Ros yang lemah lembut. Meski aku sadar bahwa ini
tidak logis, aku membayangkan liur berdebu petani sialan itu menempel dibibirku
melalui ciumanku dengan Ros. Dalam pikiranku, aku melayang-layang dalam lorong
waktu, muncul disana, lalu menghabisi lelaki itu secara brutal.
Singkat cerita, dalam
sebuah perjalanan singkat dari ruang kelas menuju trotoar depan sekolahan, aku menyesali
hujatanku pada Penciptaku ketika Rosku: dengan senyum mentarinya menggandeng
lenganku; menumpukan beberapa persen beban tubuhnya disana; menatap cinta
pertamanya dengan mata ramahnya, lalu menarik nafas dalam-dalam seraya menaruh
pelipisnya kembali keatas pundaku—matanya menatap kejahuan tanpa berkedip. Tak
kusangka-sangka (penbaca pasti juga tak akan percaya), itu adalah ujung
terjauhku dalam mencari kebahagiaan, tak akan ada duanya, melalui upaya manapun
dari yang pernah terlewat dan akan kutemui. Bukan cumbuan, adegan Picasso,
pengalaman seksual terhebat manapun yang telah dan akan terjadi dalam dunia
Evan ini menandingi menakjubkanya. Sebuah kebersamaan sepele yang menjelaskan
pada Evan kecil sebuah cinta sejati nonsurgawi.
Namun setelah beberapa
bulan jalinan kasih kami bergulir, rodanya hancur ditengah jalan dan tilas yang
ditinggalkanya membentuk legokan berliku dimana air mataku mengalir. Antisipasiku
atas kepergianya benar-benar buruk, kepala siputku kalah berpacu dengan gejala
mencemaskan yang menghanguskan taman-taman cantik yang telah kubangun dalam
mimpiku. Kesempurnaanya terlalu kupaksakan pada indraku hingga mereka sukar
menolaknya, dan duka mendalam saat kehilanganya.
Kehidupan kami masa itu
banyak berubah, budaya-budaya anak suburban(Ros gadis suburban yang kucinta)
menyusup dan bercampur, pada tingkat akhir SMA, dulunya mereka yang menahan
dirinya untuk terlibat karena kurang berpengalaman, hitam putihnya meleleh
menjadi satu dan gradasinya lebur. Teman-teman urbanya memperkenalkanya dengan lampu-lampu
remang kota, budaya-budaya masa lalu kolotnya yang membuatnya malu tertimbun
dengan gaya sosialita yang baru dimulainya. Ketertarikanya akan segala hal
didasari motivasi-motivasi yang semakin dangkal, dia menjadi periang dan menyedihkan.
Tentu saja, begitu juga rantai pengait cinta kami, mulai karatan karena reaksi
kimia hormone kecantikan yang begitu dibanggakanya, juga hidup baru yang
diperkenalkan padanya.
Aku terbunuh dibawah
tiang gantung yang talinya diikatkanya pada alasan-alasannya memutuskan
hubungan kami yang kurang bisa kuterima, dia memperlihatkan padaku
gambaran-gambaran buram yang mengapung diatas pembelaan-pembelaanku yang tak
berpengaruh. Dalam penjelasanya yang sok pengacara, percobaan-percobaan
diplomatiku dimuntahkanya dengan sinis. Setelah palunya diketuk, hidupnya
berlanjut dan aku terjaga diatas kasur duriku berbulan-bulan.
0 critic:
Posting Komentar