Artikel ini adalah summary dari tugas mata kuliah Bahasa Indonesia untuk pembuatan PKM (GT)
Paul Engle,
penyelenggara Internasional Creative Writing di Universitas Iowa Amerika
Serikat sebagaimana yang dikutip Ismail Marahimin, pernah berkata menulis itu
sama sekali tidak dapat diajarkan. Hal itu mungkin tak sepenuhnya benar, karena
dorongan menulis seseorang dalam hal ini menulis fiksi, selain bakat dan minat
juga diperlukan motivasi dari luar dirinya. Apalagi bila diingat dalam dua decade,
semua itu juga didukung oleh gencarnya penerbitan fiksi sebagai motivator yang
lain dan amat membantu. Diyakini bahwa gencarnya penulisan fiksi tersebut
berambivalensi dengan meningkatnya jumlah pembaca.
Sesuai teori ekonomi, jika ada konsumen, tentulah ada
produsen. Dengan kata lain, menulis merupakan pekerjaan produktif dan memiliki
prospek masa depan yang cerah. Persaingan diantara sesama penulis untuk berebut
tempat melalui penerbit yang berupah besar dan berbobot semakin kentara, karena
semakin tinggi dan berbobot suatu
penerbit yang memerlukan karya fiksi baru, semakin tinggi pula bayaran untuk
penulis. Dengan demikian, penerbit pun bersaing dalam memilih karya yang bagus
dari penulis-penulis andal. Semakin mahal bayaran yang diberikan penerbit
kepada penulis, biasanya semakin dapat diandalkan mutu karya fiksi yang
diterbitkan.
Diterbitkanya suatu karya fiksi, baik puisi, cerpen,
maupun novel, mau tidak mau harus melalui proses seleksi oleh suatu tangan yang
bertanggungjawab. Banyak karya-karya yang dikirim tidak diterbitkan dengan
alasan tidak layak terbit setelah melalui pertimbangan (seleksi) editornya.
Satu hal yang amat penting yang menjadi dasar
pertimbangan penerbit untuk memuat atau tidak suatu karya fiksi adalah konsumen
pembaca. Jika suatu karya yang dikirim dianggap memenuhi selera pembaca, maka
karya tersebut layak disajikan kepada pembaca. Dari uraian tersebut didapat
kesimpulan bahwa pertimbangan penerbit mengandung nilai komersial disamping nilai-nilai
estetika. Bahkan nilai komersial dapat mengalahkan nilai estetika suatu karya
fiksi. Karena itu, banyak para pakar yang mengatakan bahwa saat ini,
karya-karya yang terbit dengan
mengutamakan nilai komersial “berbeda” dengan karya fiksi yang bermutu
sastra. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Sapardi Djoko Darmono (1983: 58) tentang cerpen yang dimuat dimedia masa
terselip diantara artikel-artikel tentang “resep dapur” atau “menata rambut”
dan tak lebih dari bacaan perintang waktu.
Saat ini, buku yang membahas teori dan aplikasi dalam
menulis keratif untuk menghasilkan karya yang bagus dan memiliki nilai estetika
tinggi masih dirasakan kurang, dan kebanyakan hanya memberi penjelasan teori
dan kurang praktis. Untuk itu, melalui karya tulis ini, penulis berusaha
memberikan alternatif untuk mendukung proses kreatif dalam menulis untuk
menghasilkan karya yang memiliki nilai estetika tinggi.
Karya fiksi yang baik adalah yang dapat menggambarkan
sebuah peristiwa, cerita, tokoh, latar, dan karakter tokoh menjadi begitu
hidup. Fiksi yang baik juga harus mampu menyentuh dunia kedalaman, peristiwa
yang dilukiskan harus memiliki makna yang mendalam. Puisi, mengutip dari T.S.
Eliot, mengatakan bahwa puisi yang bagus adalah yang dapat terhubung dengan
pembaca bahkan sebelum maknanya dimengerti.
Keterlibatan diary dengan penulisan fiksi tak terlepas
dari bagaimana sebuah fiksi dapat menggambarkan suasana menjadi hidup dan
terasa nyata bagi pembaca sehingga mereka dapat terhanyut didalamnya. Penulis
besar Tom Clancy
berpendapat bahwa, perbedaan fiksi dan kenyataan adalah
dimana fiksi harus masuk akal. Maka dari itu, fiksi harus menjulurkan fakta-fakta, lebih benar faktanya,
maka akan lebih baik fiksinya (Woolf: 1989). Banyak ahli sastra lain yang berpendapat bahwa logika
peristiwa dan yang terjadi dalam sebuah karya fiksi harus mencerminkan keadaan
nyata atau realita, teori tersebut bertolak dari paham mimesis yang menyatakan
bahwa karya seni merupakan tiruan dari alam (fakta). Namun, teori itu
seharusnya tidak diterima mentah – mentah, karena bagaimanapun, karya seni—
termasuk karya sastra— memang berangkat dari fakta yang kemudian dipadu dengan
imajinasi pengarang hingga menghasilkan fakta “baru” (Thahar: 1999). Untuk dapat melakukan hal ini, penulis harus dapat melakukan observasi
mendalam tentang apa yang akan dituliskanya.
Salah satunya, hal itu dapat dilatih melaluli penulisan diary yang baik secara
rutin. Kebiasaan menulis diary akan menghantarkan penulis untuk menuju kepekaan estetis, secara sepintas akan
terpikirkan juga ide cerita yang berkelebat dalam pikiranya. Masalahnya
sekarang, bagaimana cara memulainya, mengekspresikan dirinya melalui media
tertulis.
Diary telah lama digunakan sebagai alat refleksi dalam pembelajaran
bahasa (Eton 2008; Parkinson, Benson, & Jenkins. 2003). “Kau ingin menulis, kau harus tetap jujur, sebuah jurnal yang tidak
dipublikasikan, yang tidak pernah dibaca oleh siapapun kecuali kau seorang” Madeleine L’Engle (2006) memberi tuturan melalui nasihatnya dalam mendukung cita-cita menjadi penulis. W.H. Auden (2011) menggambarkan jurnalnya sendiri sebagai “Kedisiplinan
untuk mengatasi kemalasan dan kekurangan observasi dalam dirinya”. Menulis
diary adalah pembelajaran praktis untuk seseorang secara sadar hadir sebagai
dirinya sendiri, menjadi saksi atas pengalaman-pengalaman, dan benar-benar
mendiami kehidupan dalam dirinya (Papova: 2013). Di dalam diary, penulis menuangkan kenyataan dengan jujur dan apa adanya sesuai fakta yang
terjadi, semakin intens sebuah diary, maka akan semakin dalam juga observasi
yang dilakukanya.
Anaïs Nin mungkin adalah salah satu penulis diary yang paling lama dalam sejarah,
dia menulis diary pada umur sebelas tahun dan tetap melanjutkan kebiasaanya itu
hingga kematianya pada umur 74 dengan menghasilkan 16 volume jurnal. Ketika memberikan kuliahnya di Darthmouth pada tahun 1946, dia berbicara tentang peran diary
sebagai pembelajaran yang tak ternilai harganya dalam mengasah kemampuan
menulis. Menulis diary seumur hidup membantu untuk menemukan elemen dasar
sebagai kekuatan dalam menulis, menggali
penemuan dari kebiasaan-kebiasaan tertentu dan ditransformasikan kedalam
jenis penulisan tertentu dengan kewajaran dan spontanitasnya, selain itu yang
sebenarnya menarik adalah apa yang dirasakan oleh penulis paling kuat pada
momen itu, yang kemudian akan memberikan suatu semangat, antusiasme yang
menghasilkan gambaran hidup, improvisasi, kestabilan mood, gambaran, potret, deskripsi, sketsa, dan
eksperimen yang mendukung materi penulisan, (Anais Nin: 1946). Selain itu, dalam kuliahnya, dia berpendapat menulis diary juga berfungsi
untuk menterjemahkan dari subjectivitas ke universal.
Selain berguna untuk memberi gambaran yang jelas mengenai
keterjadian, diary juga melatih observasi dalam hal pemikiran. Buku diary
berguna secara sadar dan disengaja dalam perkembangan spiritual yang
menyakitkan, kemudian penulis akan tau keberadaanya dan diary yang intim akan
menarik saat merekam kebangkitan sebuah ide, atau kebangkitan pemikiran ketika
masa pubertas, maupun perasaan diri saat sedang sekarat (Gide: 1948). Dengan menulis diary penulis lebih dapat melatih penglihatanya untuk
melihat lebih jelas tentang apa yang terjadi dalam diri seseorang dan dunia
sekitar. Penulis yang baik terlihat seperti menulis tentang dirinya sendiri,
tetapi matanya selalu tertuju pada kehidupan semesta yang terjadi melintasi
dirinya dan segala hal (Emerson: 1982).
Lebih dari itu, menulis diary dapat digunakan sebagai
alat disiplin diri dan pembentuk kebiasaan dalam menulis. Dasar dari penulisan
adalah kedisiplinan seseorang dalam menulis, baik itu disiplin dalam materi
maupun bahasa, jika disiplin hilang maka penulisan akan rusak, juga dalam
menulis, kebiasaan dapat menjadi kekuatan yang lebih hebat daripada tekad
maupun inspirasi (Steinbeck: 1989 ).
Kegunaan
lain diary yang tak kalah penting adalah membantu proses pemikiran. Dengan
kontinuitas menulis, proses pemikiran akan sangat terbantu. Rapley (2007: 25) meringkaskan dalam bentuk umum peran
krusial menulis dalam proses berfikir:
Menulis adalah
berfikir. Hal yang alami untuk percaya bahwa kau perlu menjernihkan pikiran
tentang apa yang akan diungkapkan pertama kali sebelum menuliskanya. Bagaimana
pun juga, kebalikanya memang benar. Kau mungkin berfikir kau punya ide yang
segar, tapi hanya dengan menuliskanya kau bisa yakin bahwa kau benar-benar
memilikinya.
Lebih jauh lagi, John Steinbeck, penulis besar Amerika adalah salah satu contoh konkret
penggunaan diary sebagai alat disiplin dalam penulisanya. Disamping penerbitan
novel The Grapes of Wrath yang menghantarkanya meraih Pulitzer Prize di bidang
sastra pada tahun 1940, juga diterbitkan Working Days: The Journal of The
Grapes of Wrath, sebuah catatan jurnal penting yang merekam perjalanan
kreatifnya. Ini menujukan bahwa faktanya, jurnal harianya menjadi praktek yang menunjang karyanya meraih penghagaan
tertinggi dalam bidang sastra.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menulis diary adalah:
1.
Kesendirian dan bebas dari gangguan
Seseorang tak
akan pernah cukup sendiri untuk menulis (Sontag: 2008). Hal-hal yang dirasakan saat seseorang sedang sendiri
lebih kuat dan segar (Delacroix: 1995). Urusi saja
urusan yang benar-benar bertatapan muka.
libatkan diri hanya dengan
perasaan yang terpanggil oleh kegunaan yang efektif dan dibutuhkan oleh pikiran
untuk kepentingan inspirasi (Weil: 1970). Menulis dibutuhkan ketenangan untuk mendapatkan konsentrasi
dan fokus menulis, namun tentu saja hal ini berbeda untuk setiap orang. Namun
dikhawatirkan gangguan yang datang dari orang-orang sekitar dapat berpengaruh
dalam penulisan. Seorang penulis butuh kesendirian, kemungkinan atau ekspektasi
konstan untuk terganggu adalah awal dari
melemahnya tekad untuk menulis, pikiran akan dipenuhi skema yang tidak terlalu
berguna dan banyak ide-ide yang gugur karena hilangnya kontinuitas pikiran yang
disebabkan oleh gangguan-gangguan tersebut (Delacroix: 1995).
2.
Jaga Rutinitas
Tulis diary
secara rutin setiap hari, apapun kondisinya, seberapapun tidak sempat, sehari
sekali harus menulis diary, tidak ada alasan untuk tidak menulisnya. Sebaiknya
tidak menunda apapun
yang telah
diputuskan untuk dilakukan. Seorang
penulis yang menunggu waktu ideal untuk menulis akan berakhir tanpa satupun
kata yang tertulis diatas kertas (White: 2006). Gunakan diary sebagai mekanisme untuk melangkah
menulis, tetapkan jumlah tertentu dalam penulisan setiap harinya. Konsekuensinya,
pasti akan ada tulisan yang berkualitas ketika pola kebiasaan dari jumlah
tertentu kata-kata telah ditulis.
3. Format
diary
Pilih format yang akan digunakan untuk menulis diary
yang nantinya praktis dan dapat diatur. Baik itu di computer, buku tulis, atau
binder.
Kemudian prinsip-prinsip dalam menulis
diary adalah:
1. Apa yang terjadi
Gambaran tentang kejadian, pengalaman, situasi, atau
pengetahuan baru. Tulis dengan teliti, dalam
setiap kalimat setidaknya tanyakan pada diri sendiri empat pertanyaan: 1. Apa
yang sedang saya coba katakan? 2. Kata-kata apa yang menyertakanya? 3. Apa foto
atau idiom akan membuatnya lebih jelas? 4. Apa gambar ini cukup jelas untuk
berpengaruh? (Orwell: 2006).
2. Perasaan dan reaksi
Apa yang dirasakan mengenai sesuatu, dan bagaimana reaksinya. Curahkan keputus-asaan dan patah hati namun juga tuliskan sikap pertanggungjawaban dan motivasi diri untuk mengatasinya. Ceritakan tentang diri sendiri
sedalam mungkin, terutama hal yang memberikan perasaan yang paling kuat.
Ditulis dalam jurnalnya The Moments of
Being, Virginia Woolf (1985: 65) menuliskan, “aku harus bilang bahwa aku
mendapat keberuntungan untuk menulis apa yang harus ditulis (novel) saat
menggambarkan diriku sendiri”
3. Evaluasi
Salah satu aspek penting dari menulis
diary adalah catatan atas kesalahan-kesalahan kecil yang terulang, dan diikuti
evaluasi ulang untuk menjadinya lebih disiplin (Steinbeck: 1989). Tuliskan percakapan positif dengan diri sendiri didalam diary
untuk menghadapi keraguan.
Sebagai penulis akan ada keraguan apakah dirinya sudah cukup baik dalam hal
yang ditulisnya, dengan menulis percakapan dengan diri sendiri, akan membuat
penulis merefleksikan keraguanya dan memotivasi diri untuk mengatasinya dan
membuatnya menjadi lebih percaya diri. Serta putusan antara mana yang baik dan berguna, dan yang buruk dan tak
terlalu berguna.
4. Analisis
Pertanyakan pada diri apa yang bisa dilakukan mengenai
suatu informasi. Mana
yang harus disimpan dalam pikiran dan mana yang perlu diacuhkan. Perhatikan sekitar, tanpa gangguan dan lamunan, tapi
juga tidak boleh terobsesi, tetap pada prespektif yang independen. Gunakan
imajinasi dan refleksi untuk mendukung obsevasi saat menulis diary.
5. Kesimpulan
Pemberian kesimpulan dari satu periode (satu hari)
menulis diary, apakah ada kemungkinan lain yang dilakukan saat menghadapi
situasi yang sama dimasa datang, apakah ada yang terlewat, dan apakah
ada yang perlu dilakukan selanjutnya.
Hal-hal yang perlu diisikan dalam diary
adalah:
a.
Apa
yang dilakukan sehari-hari, tuliskan secara praktis;
b.
Hal-hal
faktual mengenai apa yang dilakukan, orang-orang yang ditemui dan
dikatakanya, buku atau tulisan yang dibaca, tempat-tempat yang dituju;
c.
Tuliskan
percakapan yang berguna dan berpengaruh;
d.
Ide-ide
yang ingin diingat atau ingin diikuti;
e.
Pertanyaan-pertanyaan
yang ingin diperiksa dan diselidiki lebih lanjut;
f.
Saran
dan anjuran tentang bacaan, rujukan informasi, cara-cara mengatasi masalah;
g.
Laporan
hasil observasi, eksperimen, atau keterjadian;
h.
Kepingan-kepingan
ide atau arahan;
i.
Catatan
tentang Brainstorming;
j.
Renccana
strategi untuk mengembangkan ide;
k.
Pandangan
dan pendapat personal mengenai sesuatu;
l.
Analisis
tentang masalah;
m.
‘To
do’ lists dan eksekusi dari rencana-rencana.
REFERENCE:
Woolf, Virginia. A
Room of One's Own. New York: Harcourt Brace & Co., 1989
York: Penguin Books, 1989
Woolf, Virginia. Moments
of Being: Autobiographical Writings. New York:
Mariner
Books, 1985
Sontag, Susan. Reborn: Journals and Notebooks, 1947-1963. New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2008
Gide, Andre, O'Brien, Justin (penj).
The Journal of Andre Gide Volume II:
1914-
1927. New York: Alfred A. Knopf (1948)
Orwell, George (2006). Politics and the English Language. Peterborough:
Broadview Press
Nin, Anais, Stuhlmann, Gunther (ed). The Diary of Anaïs Nin: Volume VI 1955-
1966. New York: Harcourt Brace Jovanovich (1976)
Waldo E., Ralph. Journals and Miscellaneous Notebooks of Ralph Waldo
Emerson. Boston: Harvard University Press (1982)
Delacroix, Eugene, Lucy N.
(penj), Wellington H. (ed). The Journal
of Eugene
Delacroix (Phaidon Arts and
Letters). London: Phaidon Press
London (1995)
Auden, W.H. Diary of W H Auden. London: British Library (2013)
Kent, Richard. A Guide to Creating Student-staffed Writing Centers, Grades 6-12.
Brussel: Peter Lang, 2006
Rosenberg, Aaron. Biography: Madeleine L'Engel. New York: Rosen Classroom,
2006
Parkinson,
B., Benson, C., & Jenkins, M. (2003). Learner diary research with
‘Cambridge’ examination candidates. Edinburgh
working papers in applied linguistics, n. 12, 45-63.
Rapley,
T. (2007). Doing conversation, discourse and document analysis. Los
Angeles: Sage Publications
Engin,
Marion (2011). Research Diary: A Tool for Scaffolding. International
Journal of Qualitative Methods 10(3), Dubai
Brainpickings.org