7
Di
tengah kerumunan sekenario-sekenario buruk pikiranku yang mematikan, aku
mencoba menyelimutinya dengan imajinasi-imajinasi indah untuk mencegahku
menjadi seorang bipolar atau semacamnya. Aku membayangkan rumah dengan halaman
yang besar dan dipenuhi flora-flora yang cantik, secantik gadis impian yang
kumunculkan menjadi pendamping hidupku. Rambutnya tebal, panjang atau pendek
tidak masalah, sedikit berkilau dan hidungnya kecil dan mancung, putih dan
sangat menyayangi anak-anak kami dan diriku. Kuharap dia juga punya selera yang
bagus dalam hal seni dan tidak bodoh. Pada suatu hari kami akan merencanakan
piknik namun batal karena aku tiba-tiba terkena flu dan demam hebat, istriku
tercinta akan merawatku seharian dikamar dengan penuh kasih sayang, dia mengambil
cuti dan menyuruh anak-anak kami yang masih kecil untuk tidak berisik dan
mengusik kami—maksudku mengusiku.
Bebeapa
tahun setelah sepeninggal Lis, gambar-gambar bergerak dirinya yang dulunya bisa
kutampilkan melalui pemutar ingatanku dengan mudah dan jelas semakin sulit
kulakukan. Optik memoriku mulai aus dan kepingan-kepingan kenangan perlahan
tertimbun oleh dunia remaja yang dangkal seperti cinta monyet, patah hati,
hal-hal mengenai sekolah, dan masa depan yang mendatangiku seperti tinju
seorang amatir.
Aku
memulai sekolah menengahku dengan penuh percaya diri. Dalam pandangan
mereka—anak-anak sekolahan tak berpengalaman yang kurang percaya diri—aku dapat
menangkap potretku sebagai remaja tionghoa kaya, pelit, dan menyombongkan
diriku dengan kemahsyuranku. Penghormatan yang diberikan padaku, semata karena
filosofi kuno mereka tentang seorang kaya raya angkuh—seseorang menyerupaiku
yang mereka kenal jauh sebelumku. Aku dihibur oleh teman-teman kayaku dengan
permainan dangkal mereka. Gemerlap-gemerlap mereka membuatku silau, hingga saat
moralku mulai ranum, disudut pedesaan dimana sepupu-sepupuku mengajaku
berkebun—ketidak beruntungan mereka menutup sinar-sinar kotaku yang fana.
Kerenggangan social membuat mereka kalangan menengah kebawah tak pernah
melewatkan kesempatanya untuk menghindariku dari segala jenis kontak pertemanan
dengan kami. Keadaan ini mulai tak terkendali karena perlakuan guru-guru yang
memanjakan beberapa kalangan murid saja.
Aku dianugrahi IQ
diatas 120, kekayaan ayahku, wajah yang manis dan tampan, juga postur yang
ideal. Dalam peringkat parallel aku hanya kalah dari seorang gadis gila
berambut keriting mengerikan yang hampir mempunyai nilai sempurna di semua
bidang mata pelajaran, otaknya adalah idola sepanjang masa. Ayahku bukan orang
kaya yang bisa membeli beberapa rumah mewah dengan mudah, namun cukup untuk
mobil, perabotan-perabotan mahal, serta uang jajan melimpah. Berkat pertolongan
gen ibuku, meski dengan ayah tionghoa, aku tak mewarisi badan gempal dengan
pipi raksasa dan mata yang tenggelam dalam wajahku. Sebenarnya mataku sedikit
tenggelam—sedikit— tapi sudut dan relief wajahku lebih tegas, alisku tajam,
bibirku pendek dan tak terlalu tebal. Bentuk kepalaku tercipta untuk fleksibel
terhadap segala macam model rambut. Dengan penyokong seperti itu, masalah yang
hanya akan mungkin muncul adalah—sebut saja bencana alam. Aku bisa saja
merangkap kencan dengan beberapa gadis murahan yang mereka kira akan kumanjakan
mereka dengan cinta, tapi kukatakan dengan lirih, aku bukan keparat macam itu.
Biar
kutekankan lagi tanpa suara: Aku adalah lelaki tampan, lemah lembut, dan
berpostur menarik dengan perilaku penuh ketrampilan menyembunyikan sesuatu yang
pantas tak kasat mata, namun tetap menggoda. Sikap-sikap dinamis karena proses
pendewasaan menimbulkan semacam profil misterius yang membuat orang-orang salah
tangkap pada kesan pertama, yang terlihat dari kekhawatiran-kekhawatiran mereka
yang enggan melakukan sesuatu berhubungan denganku.
Sikapku
terhadap wanita cenderung praktis, lugas dan getir tanpa mengabaikan kesenangan
tersendiri. Aku tau, aku bisa mendapatkan wanita pendamping manapun tanpa harus
berdandan, membuat puisi, dan berperilaku teatris. Mungkin untuk beberapa
alasan sudah menjadi kewajibanku untuk tak memberikan perhatian berlebih pada
wanita, kecuali mereka mau datang bertaruh ke pelukanku yang beku. Namun
kenyataanya, tak pernah aku menghindar saat cinta-cinta yang polos itu datang
mendekat dengan bergelimangan harapan. Alih-alih aku akan memberikan perlakuan
yang setimpal, bongkahan es itu tak meleleh dengan godaan-godaan muram yang
berbalik memberikan kesan semu berdasar sambutan-sambutan dangkalku.
Pada
dasarnya, menurut pengalaman-pengalaman, polanya selalu sama saja: datang
dengan sensasi luar biasa, menikmati jatuh cinta semu, dan saat mereka tak
menemukan apa-apa dibalik keramahanku, mereka pergi berbekal sakit hati yang
mendalam dan penyesalan saat matahari terbit, lalu kehidupan berlanjut.
Seorang
wanita periang telah menjadi korban kegetiranku. Dia Rita: agak gelap, ceria,
memiliki selera klub sepakbola yang sama denganku dan tak pernah kulihat ada
kerutan yang berarti diwajahnya. Aku tak begitu mengenalnya, tapi dia seperti
kebanyakan wanita, tak sulit mengenalnya. Pada awalnya itu hanya sekedar
percakapan sederhana mengenai jadwal latihan basket dan pertandingan bola yang
dilanjutkan dengan kedekatan yang tak diharapkan.
Dia
mengingatkanku setiap minggunya tentang pertandingan sepak bola di televisi.
Dan beberapa waktu kemudian menjadi keseringan yang diluar hari Sabtu dan
Munggu dimana pertandingan bola di televisi disiarkan, dia mulai berani
mengobrol denganku dengan basa-basi yang tak kukira dia cakap melakukanya. Tak
ada kesengajaanku untuk meneruskan
perbincanganya dengan segala sesuatu yang membuatnya berlanjut. Tanggapanku
hanya datar dan tak menarik (tidak berbalik bertanya mengenai umpanya yang
sejelas pelangi). Sehambar apapun aku membalas percakapan-percakapan yang
diusahakanya, aku tetap meladeninya.
Aku
tak tau, namun yang pasti karena aku tetap menanggapinya, dia memulai dengan
percakapan yang mendalam, bersemangat, dan bingung—mungkin dia bingung. Dia
semakin mengakrabkan dirinya dengan ketepatan berbahasa, membuat perbincangan
berjalan secara rutin. Bahkan dia mulai menjadi sangat perhatian padaku: Aku
terjatuh saat bermain sepakbola pada suatu siang saat pelajaran olah raga,
malamnya dia menanyakan keadaanku dengan nada yang tak mencurigakan (ah, dia
masih malu-malu dan tak ingin terlalu percaya diri). Tak ada hal lain yang
kulakukan selain berterima kasih saat itu juga dan pendekatanya berlanjut. Aku
mulai bisa melihat pola saat seseorang mencoba menggaet hati orang lain. Ah,
kenapa aku sulit menulis kata “cinta” seperti para kekasih!
Pertama mereka akan sekonyong-konyong mencoba
melakukan komunikasi dengan upaya mengerikan dalam bentuk apapun. Lalu
membuatnya menjadi rutinitas atau kebiasaan atau sebangsanya, yang kemudian
dibuatnya semakin menarik, dan berlanjut dengan rekaan-rekaan abu-abu. Ah,
mereka mahir membaca pertanda (beberapa payah melakukanya, mengabaikan, dan tak
mau tau tentang kebenaranya dan terus saja dengan hal yang dipercayainya).
Selagi aku mencari istilah yang tepat untuknya, aku berpikir betapa teganya aku
bermain dengan mimpi-mimpinya yang semakin suram: mulai turut menikmati
keramahtamahannya, dan tak perduli seruncing apa ujung yang akan ditemuinya.
Tolong diingat-ingat, sifatku yang seperti itu bukan suatu pembawaan yang
berwujud peringai bangsat, hanya usaha mati-matian dan penantian yang
menjemukan.
Mari
lebih jauh lagi. Senin pagi yang berarti aku sudah tak bertemu dengan
orang-orang yang kutemui setiap harinya selama sehari, aku berpapasan dengan Rita
(sering terjadi kasus seperti ini: komunikasi secara langsung dan tak langsung
terdapat perbedaan yang mencolok) dan ada yang berbeda darinya. Sebelumnya dia
adalah atlit yang mengagumkan, memakai celana kolor pendek dan kaos kedodoran,
namun karena kondisi fisik yang menurun (aku tak tau mengapa) dia mengurangi
rutinitasnya. Dan pagi itu, dia memasang tampang seceria anak burung yang
hendak mencabik cacing dari mulut induknya, matanya hitam karena celak yang
digoreskan jemari terampil, bibirnya mengkilap seperti sabun mandi oles yang
baru saja digunakan, dan wajahnya serupa gerhana. Bukanya aku justru terpana
dengan wujud barunya, hal itu malah menimbulkan kecemasan tersendiri untuku
(ujungnya semakin runcing).
Percakapan-percakapan
berikutnya yang semakin menggigil, selain pertanyaan aktifitas, pilihan acara
televisi, dan pelajaran sekolahan, pembicaraanya mulai terbenam dalam
keputusasaan, curahan-curahan hati penuh kegelisahan, dan sindiran-sindiran
mengenaiku yang seperti batu (dia yang bilang seperti itu), seiring dengan
merebaknya rumorku dengan Rosa (cinta pertamaku)—kami diisukan berpacaran oleh
hampir siswa satu sekolah dengan alas an yang misterius. Dan lama-kelamaan aku
menjadi seorang dokter yang menyembuhkan sakit hati, atau lebih tepatnya dokter
yang memperbaiki mal praktiknya: aku menasihatinya, memberi kalimat-kalimat
manis seperti oprah, seraya menjauhkanya dariku. Dia mulai mengirimiku
dengan puisi-puisi membabi buta hingga aku mendengar ketidak sabaranya menanti
segenap kepastian yang sudah seharusnya diharapkanya. Aku juga tau, dia
ketakutan dengan rumorku dengan Rosa, seperti ini dia menunjukanya padaku: dia
mengutip kalimat dari Charlie brown, “tidak ada yang sanggup
menghilangkan lezatnya selai kacang, kecuali cinta yang bertepuk sebelah
tangan”. Aku tak ingat, tapi kurasa dia memaparkanya padaku lebih dari sekali.
Seperti yang lain, harapan-harapan muram yang diutarakanya lewat
kiasan-kiasanya padaku semakin murung tak karuan.
Baiklah,
aku akan lebih terang-terangan, begini aku membayangkan pikirannya yang remang.
Katakanlah aku mendapat sebuah surat yang ditulis dengan darah dan air mata.
Aku membacanya dengan jelas diatas ranjang tidurku yang berhias tirai krem
sambil melompat-lompat seperti burung jalak.
“Dengarkan
aku! Kumohon, tak taukah kau aku mencintaimu, Aku rela menelan bisa untukmu.
Sudah seperti itu semenjak aku melihat matamu yang tajam dan penuh misteri itu.
Ketika kau membalas ketidak berdayaanku mengendalikan bunga-bunga cintaku
padamu oh, pangeran impianku. Kapankah, kapankah aku bisa mengatakanya seperti
Romeo. Tak bisakan kau hanya melihat dan tau (dasar bodoh, aku pura-pura tidak
tau), ayo mengertilah, tunjukan sesuatu padaku.”
Tak
usah kau gali-gali lagi semua pengorbananku padamu untuk bahan pertimbanganmu.
Bawa saja semuanya pergi menghilang,
supaya aku bisa merana dan melanjutkan hidupku. Jika hanya harapan-harapan
palsu itu, sudahlah hentikan sekarang juga. Ah, tapi aku menikmatinya. Bukan,
bukan itu yang aku inginkan!”
Rabu
sore sehabis asar, aku melihatmu pulang sekolah dibalik pagar berkarat sisi
timur sekolah dengan senyum seperti orang gila. Malam minggu, aku malu-malu
menyimpan fotomu di dompetku, jadi langsung saja aku sembunyikan dari sana
supaya tak lebih memalukan lagi setelah kupandangi hampir setengah malam. Senin
pagi, hatiku yang kering dan layu tersiram kehangatan selembut madu dan
menyingkirkan kerinduan yang membuatku sekarat. Selasa siang, aku berubah
menjadi sang naga merah, tubuhku terbakar, terbasuh hawa neraka saat kau
berbicara dan tertawa dengan wanita itu, aku menutup mulutku supaya tak keluar
api dari sana.”
Aku
tau, bagimu aku bukan siapa-siapa, hanya seperti orang lain. Tapi tak bisa kau pungkiri, kau
juga menikmati keramahtamahanku. Serta perlakuan-perlakuan istimewaku yang
kadang terlalu bergairah, senyumku yang mutlak tulus padamu, juga
perubahan-perubahan baruku yang semrawut. Benar-benar tak berada, sebenarnya
siapa aku ini, beraninya. Kau mungkin jijik padaku, tapi tolong maklumilah, aku
tak terkendali, mengertilah. Aku rela menekan rasa maluku sampai titik
terbawah, jadi jangan kau hujat aku dengan seringai pahitmu.”
Jika
memang kau bersungguh-sungguh tentang sambutan-sambutanmu yang membahagianku,
kuharap itu hanya berarti satu hal: kau sungguh-sungguh menginginkanku sebesar
aku menginginkanmu. Mari kita tindak lanjuti, libatkan kehidupanmu masuk dalam
kehidupanku, dan mari berbagi semua hal. Jujurlah padaku, taruh hatimu dalam
mulutmu saat kau bicara dan tersenyum padaku, taruh hatimu di matamu saat kau
menatapku. Berhentilah main-main dengan perasaan sayang! Lupakan saja, sana
pergi! “kuharap suatu saat nanti kau akan menyadari, siapa orang yang akan
selalu mencintaimu dengan cara apapun, lebih dari siapapun yang kau tau”.
“Maafkan aku, aku tak bisa memberikan sesuatu yang kau harapkan, masih banyak
lelaki diluar sana yang mau menerimamu dengan senang hati, lanjutkan hidupmu,
bersemangatlah”. Tidak, bukan seperti itu, itu opera sabun.”
Mungkin
terlalu lancang aku memasuki pikiran-pikirannya yang rapuh kemudian
mengutarakanya tanpa rasa bersalah yang berarti. Aku bisa merobohkannya dengan
satu pukulan jika kumau. Dia tak pernah mengatakanya padaku, jadi untuk apa aku
harus memperjelasnya dengan hati luluh lantah karena perasaan bersalah yang
menelikungku dengan pangakuan bahwa faktanya aku adalah iblis tak berperasaan.
Tak bisakah kuperkeruh saja keputusasaannya dengan penolakan penuh tata
kramaku.
0 critic:
Posting Komentar