10
Mari
beralih ke gulungan pita film selanjutnya, kubalikan halaman lain dari
kehidupan masa laluku (Kuharap pembaca masih tahan dengan tulisanku yang penuh
metafora berlebihan). Aku mencoba menyelipkan tangan-tangan rampingku untuk
mengakses gambar-gambar secara keseluruhan, menelusur kabel-kabel memoriku yang
sudah ruwet untuk memunculkan kembali saga familiku yang mulai ditelan usia. Dari
neneku yang berdagang di pasar, kakeku yang mantan lurah berserta sawah
berpetak-petaknya, dan berlanjut ke keturunanya, hingga aku dan Lis,
sepupu-sepupu dan seterusnya. Juga Keluarga ayahku yang tak terlacak jejak
darah yang mengalir dalam dirinya. Diantara rayapan-rayapan tanganku,
penemuan-penemuan tertentu yang masih lumayan utuh akan kujabarkan melalui
prosaku.
Aku menggali-nggali
lagi lebih dalam variable-variabel independen yang memungkinkan untuk
mempengaruhi transformasiku. Yang
selanjutnya akan kuceritakan adalah suatu guncangan keluarga yang puluhan tahun
mendatang tetap akan kuhujat dalam setiap pemikiran mengenai pasangan suami
istri maupun pacar-pacaran, sebuah perselingkuhan.
Pertama. Penghujung
1996, bibi termudaku yang chubby dan manis terlibat suatu perselingkuhan ganas (aku tahu,
agak berlebihan) ketika suaminya baru menjadi pamanku selama lima tahun. Namanya Joko, melihat kecanggunganya, aku bisa
mengatakan bahwa dia masih Joko saat
mempersunting bibiku, Suci. Meski wajahnya tambun,
namun pinggang bibiku normal, pantatnya tidak bahenol dan dadanya hanya seukuran
buah pir. Pamanku yang penurut (dilihat dari permukaan) berkulit gelap,
rambutnya seperti serabut kulit kelapa, matanaya besar, tampangnya agak
menyeramkan namun baik hati dan kadang kekanak-kanakan (menghindari percakapan
dengan tetua keluarga besar dan memilih bergaul dengan keponakan-keponakanya).
Setelah
kelahiran putra mereka yang hiperaktif, mereka sering cekcok. Sebagian besar pertikaian
mereka bersumber dari perbedaan perspektif merawat anak laki-laki berusia empat
tahun. Dibalik tampang seram dan kelemah lembutanya didepan keluarga lain
(termasuk didepanku) Joko orang tua yang keras, teguran-teguran pada anaknya
menyerupai pelatih basketku saat SMP (pasing yang benar bodoh! Lihat temanmu!
Dimana matamu? Tidak masuk, Push up!). Bibiku yang juga keras, tapi tidak
sekaras itu, memincingkan matanya pada suami gelapnya saat Joko mempraktikan
kediktatoranya pada anaknya, Rio, zodiaknya Leo, menurut catalog Ros edisi
minggu ketiga bulan Oktober, dia keras kepala dan sinting (iya, ingatanku
setajam itu, hardisknya kelas satu).
Bibiku memiliki
kios pakaian di pasar grosir Gladak Solo, Rukonya memiliki dua pintu, tempatnya
strategis disudut perempatan gang, namun arah barat adalah arah ke Toilet, jadi
jarang ada yang lewat sisi kiri mulut rukonya. Suaminya adalah petugas PAM, dia
hanya bekerja pada waktu waktu tertentu untuk memeriksa kran air atau
semacamnya, aku tak begitu mengerti. Namun perkerjaan utama mereka adalah
merawat Rio, pertumbuhan sel-sel dan hormon-hormon pembentuk karakternya
menghukum orang tuanya dengan tingkah gilanya. Dia lari kesana kemari seperti
lempengan karambol, melompat-lompat bagai anak kanguru, dan berteriak tidak
jelas. Dia tak mendengar perintah orang, satu-satunya yang diturutinya adalah
saraf-sarafnya yang super hiper. Suatu ketika, dia menyusur kamarku dan bermain
dengan miniatur biola pemberian Ros yang dibelinya di Malioboro setelah menawar
selama 6 jam. Dia mengoyaknya seperti kertas, senarnya putus, lengan biolanya
patah dan aku membencinya seumur hidupku. Rio adalah kata lain dari onar, Joko
dan Suci adalah sepasang pawang gagal.
Jika ingatanku
tak menyesatkanku, kala itu adalah malam Sabtu yang sunyi ketia Joko mendatangi
Ibuku yang dianggap bijak untuk meminta pertolongan. Dia melaporkan
perselingkuhan bibiku secara gamblang. Menurut kesaksian pesaing dagangnya,
Parti, bibiku berselingkuh dengan seorang penarik setoran sewa kios bulanan.
Dia tinggi, gelap juga, namun wajahnya dipahat dengan baik, hidungnya mancung
dan raut matanya menawan.
(sebelum
kulanjutkan, aku akan melenceng pada sebuah gambaran yang kudaur ulang dari
karangan Flaubert. Diantara pohon-pohon yang menjulang, Emma Bovary menyerahkan
dirinya pada sebuah kereta kencana yang ditarik kuda emas. Didalam kuil, yang
menantinya adalah seorang pria kaya yang kedinginan karena kesendirian merajut
dalam benaknya selama bertahun-tahun. Sang Madame melepaskan sepatunya, berlari
kearah sang pria dengan liar dan melahapnya tanpa rasa malu. Roknya diangkat,
korsetnya dilepas—kupercepat—tubuhnya tergoleh diatas ranjang berumbai,
bergerak-gerak seperti kupu-kupu yang meronta-ronta merobek kepompongnya dan merintih-rintih
lantaran senang. Kemudian kembali ke pelukan Monsiour Bovary yang dingin tanpa
rasa bersalah yang berarti.)
Tidak seromantis
itu—ya, walau adegan perselingkuhan, itu lumayan romantis—kejadianya lebih
menyedihkan. Kelakuan yang membuat Parti yakin untuk melaporkan penyelidikanya
pada Joko adalah sebuah perbuatan bejat bibiku didalam ruang Toilet. Parti
dengan mata kepala udangnya meyakinkan dirinya bahwa kegilaan sedang terjadi,
Toilet itu hanya bisa dihuni satu orang saja, beberapa saat setelah penadah itu
masuk, bibiku menyusulnya sambil celingukan. Setelah beberapa menit, mereka
keluar, secara bergantian dan berjeda juga tentunya. Parti mual, dia tak
sanggup melihatnya, memikirkanya membuat darah tingginya kambuh, dia meminum
satu gelas penuh es teh dalam satu kali upaya.
Menurut
pertimbangan Joko, istrinya tak akan melakukan perbuatan seronok itu. Ketidakpercayaanya
akan fakta kebejatan istrinya menyeretnya kedalam “Logika Mistika”. Aku tak
menangkap dengan jelas rapat yang digelar paman Joko dengan Ayah Ibuku diruang
tamu bercahayakan bolam itu. Putusan mereka sudah bulat, mereka akan mendatangi
orang pintar, mendakwa kegaiban dibalik penyelewengan bibiku.
Singkat cerita,
secara mengejutkan pernikahanya selamat, aku tak tau apakah orang pintar memang
benar-benar bisa diandalkan atau karena sebab lain. Perselingkuhanya berhenti,
setelah gossip memalukan itu dibisik-bisikan didalam keluarga besarku dan
pengasingan bibi dan pamanku lantaran malu, situasi kembali normal. Kami
berkumpul saat lebaran tanpa bekas yang kasat mata. Rio masih tetap keranjingan
dan percekcokan rutin mereka berlanjut.
Kedua. Anak perempuan
tertua—kakak perempuan ibuku, Anik—melakukan hal yang sama, namun tidak dengan
cara menyedihkan seperti bibiku. Dulunya dia adalah wanita paling berkelas
dikeluarga, gemar membaca buku-buku bagus, pakaianya selalu mahal dan bermerek,
tidak menertawakan lelucon murahan, dan menolak keras pergunjingan. Tapi
setelah menikah dengan lelaki super tampan, lelaki kembang desa (lebih rinci,
karakternya mirip denganku) yang malas, dia menjadi wanita penggerutu dan
berteriak kapada semua orang. Dia menjadi Istri superior yang menakutkan
mentang-mentang pendapatanya dua kali lebih besar daripada suaminya.
Anak-anaknya adalah pembangkang yang sukses, hubungan keluarga ini begitu jauh,
mereka tak pernah makan pada meja yang sama dan bercakap-cakap dalam ruangan
bersama. Suaminya yang penyabar tak pernah mengetahui perselingkuhan istrinya
sendiri hingga akhir hayat. Pengetahuan mengenai perselingkuhan yang satu ini
dating langsung dari mulut tante Anik ketika membuat pengakuan kepada Ibuku
setelah sepeninggal suaminya karena terseret truk. Setelah suaminya meninggal,
dia tak pernah menikah lagi karena masalah restu dari kedua putra-putrinya.
Meski demikian, hubungan gelapnya jalan terus, tak pernah terkuak lelaki macam
apa yang mampu menculik hatinya dari genggaman suaminya yang tampan.
Setelah cerita
tragis dalam sejarah keluargaku ini, bibit-bibit kebencianku terhadap wanita
secara umum mulai tumbuh subur. Dalam sebuah hubungan, kecintaan terhadap lawan
jenis tidaklah cukup, bahkan sebuah ikatan suci tak mampu merekatkanya
selamanya. Mereka menginginkan lebih, yang beresiko, dan selalu panas—sebuah kebersamaan
illegal yang terkutuk. Godaan murahan dan rayu-rayuan gombal mengambil
keuntungan melalui kegelisahan seorang istri dan dengan sukarela tante-tanteku
tertarik oleh gravitasinya keluar dari orbitnya. Membangun lorong-lorong
tersembunyi yang menaunginya menuju tempat-tempat dimana jiwanya yang terluka
dapat bergembira dibawah selubung perselingkuhan
Seiring dengan
itu, kepercayaanku pada Ros goyah, pikiran-pikiran negatif dimalam kelabu
menimbulkan segumpal kegelisahan baru. Mungkinkah, diluar pengawasanku yang
longgar, Ros membuka dirinya untuk lelaki lain, didalam bus udik saat pulang
sekolah, matanya mengkhianatiku dengan menatap remaja ganteng yang memberikan
tempat duduknya. Skenario-skenario itu perlahan-lahan menimbun hal-hal lain dalam
kepalaku yang biasanya diisi oleh: keanggunan Ros, kebaikanya, perhatianya yang
kaku namun tulus, lekuk pinggul Ros yang indah, rekaman adegan-adegan romantic,
raut ramahnya, dan kata-kata manisnya. Dimasa dimana kehangatan dan keramahan
Ros keluar dari parimeternya dan murung padaku (PMS, lelah karena urusan sekolah, masalah pribadi), aku menjadi
menyedihkan, mulai terus-menerus memplotnya sebagai seorang antagonis, aku
lepas kendali, hal itu keluar dari kepalaku dan menular ke mulutku, kemudian
keluar mentersangkakan Ros tanpa sebab berarti. Ros manjauh dariku.
0 critic:
Posting Komentar