8
Wanita pertama yang
mencium mahkotaku adalah wanita setinggi hidungku dengan rambut panjang seolah
punggungnya adalah misteri. Saat
pilihanku jatuh pada wanita berwajah mentari dengan senyum yang diatur (sebelum
jatuh hati padaku) ini, aku mencari-cari jawaban atas pertanyaan “mengapa”
untuk keingintahuan nalar rendahanku, dan bertemu dengan alasan-alasan konyol
yang pada dasarnya merupakan ketidakperdulian akan alasan-alasan itu sendiri
serta diskusi-diskusi tak berujung dari dalam kepalaku.
Ros
adalah wanita pinggiran dimana hari-harinya dijalani dengan ceria. Bermain
dengan kucing kampung diantara pepohonan rindang pekarangan rumahnya yang luas
dan meneriaki balita-balita nakal yang mengusik bunga anggrek ibunya. Ayahnya
adalah seorang mantri berwibawa dan ibunya seorang guru budiman yang tempatnya
mengajar berpindah-pindah. Ayahnya penggemar berat Elton John, album faforit
ibunya adalah Blue-nya Joni Mitchel, dan Rosku tergila-gila pada imutnya Paul berkat
pertolonganya melalui Let It Be paska
neneknya yang tinggal serumah meninggal karena gagal ginjal. Dia pernah tinggal
dikaki gunung, pedesaan, dan pinggiran kota lain. Masa muda ayahnya banyak
digunakan untuk pengabdianya disebuah Puskesmas Tawangmangu yang banyak melayani
penyakit tipus, rematik, dan gondong. Setelah umur 36 dia menjadi perawat di
rumah sakit umum di Solo, berangkat setiap pagi dari Karanganyar seraya
mengantar gadisku bersekolah. Sepulang kerja, dia akan menerima pasien desanya
dengan keluhan: sakit kepala, masuk angin, cacar, yang berhubungan dengan
serangga, dan luka luar ringan atau mengganti perban luka serius.
Saat pertama kali aku
bertemu dengan mereka, sebisa mungkin aku tak dibuatnya canggung dengan
keorangtuaanya yang sok berkuasa. Rumahnya berbau medis, asap rokok kretek dan
campuran parfum melati dan musk, dibeberapa saat tercium juga aroma Tancho yang kuat. Dinding dibelakang
tempatku duduk menghadapi mereka, terpampang foto silsilah keluarga, termasuk
foto masa kecilnya saat memakai gaun cantik dipenuhi renda, rambut bob seleher
dan poninya nyaris menyentuh mata besarnya. Dia tersenyum kearah kamera dengan
riang sambil memegang telephon mainan. Ayahnya menawarkan kopi dan
menceritakanku burung kepodangnya yang hanya berbunyi saat senja dan makan
siang. Dia bilang, meski dia bersiul hingga paru-parunya kering, ocehan burung
itu terlalu mahal untuk benyanyi kepada tuanya. Ibunya menyuguhiku singkong goreng
gurih dan makanan ringan pasar yang baru dibelinya beberapa jam sebelum aku
tiba atas permintaan Rosku. Dari dapur aku bisa mendengar ibunya menyanyikan River, memainkan intronya yang mirip Jingle Bell, dan bagian “fly..” keras-keras menggunakan falsetto merdunya (juga
diwarisi Ros, aku mengetahuinya saat dia mendendangkan Yesterday dikelas sejarah). Mereka
bertanya alamat rumahku, pekerjaan orang tuaku dan kenalanya yang tinggal di
lingkunganku yang mereka harap aku kenal namun tidak. Rosa disudut meradang
saat ayahnya menceritakan padaku hal-hal memalukanya: porsi makanya yang
berlebihan, panggilan masa kecilnya (kepang, bukan karena rambutnya dikepang,
namun kebiasaanya menirukan suara penjual kepang,
rajutan bambu yang biasa digunakan orang desa untuk menjemur gabah atau jagung,
“pang kepaaang…”), dan sejarah penyakit kulitnya beberapa tahun silam (tenang Ros,
cintaku apa adanya).
Keanggunan dan kelemah
lembutanya membuatnya terkenal diantara anak laki-laki, ditambah kulitnya yang
bagus, cantik dan rambutnya indah. Dia memiliki adik perempuan yang gemar
bermain dengan anak laki-laki, dia menyerupai kakak perempuanya tapi tidak
lebih cantik. Pertama kali aku melihatnya, dia sedang ancang-ancang untuk
permainan lompat tali di halaman rumah dan rok kumalnya diangkat hingga pinggul
hingga celana dalamnya (hijau tosca) mengintip keluar.
Dibawah remang emperan karena
sinar matahari terhalang pepohonan, Ros menghinaku dengan menulis puisi. Saat
aku masih gagal merekayasa gaya Danarto kedalam cerpen-cerpen mengecewakanku,
dia sudah ahli dalam menulis cinta-cintaan kelam, kematian, dan perpisahan
(untuk ukuran anak SMA). Kemampuanya mendapat pengakuan dari guru bahasa
Indonesiaku yang semasa kuliah pernah
bertemu W.S Rendra di Monas saat study tour bersama teman-temanya, dia
menceritakanya pada semua siswa yang pernah diajarnya pada pertemuan bab puisi.
Terbalut rasa tercemooh, aku mengingat-ingat bait kelamnya.
Dijalan
yang panjang: aku merangkak, berlari, terbang, dan menari;
Jalanan
kurasa asing dan aku terasing bagimu.
Matahari
tenggelam dibalik punggungku, aku harus berhenti.
Diantara
iring-iringan, berbincanglah kau dengan teman-temanku.
Gelap
dan sunyi kan kutuju, tapi aku tak lagi asing bagimu.
Percintaan
kami tumbuh selayaknya pemuda-pemudi lain, kami saling memanggil “sayang” tapi
menolak untuk dipanggil “yang”. Bercakap-cakap dengan canggung di episode awal
dan menjadi sarkastik (tapi tanpa menyinggung) setelah roll pita film kami
terputar lebih jauh. Diantara sambungan pita itu, titik kecil yang muncul pada
sudut layar beberapa kali menggangu gambar-gambar Evan dan Ros, namun kami
menyamarkanya dengan baik, kami mengalihkan titik-titik dengan adegan roman
meyakinkan: membuat surat melankilos, memohon-mohon, rayu-rayuan, dan
sentuhan-sentuhan lembut.
Ros
memiliki tata karma yang mengagumkan, dia tak memanfaatkan keunggulanya untuk
mempermainkanku dengan trik-trik konyol untuk mendapat keuntungan apapun
dariku. Satu-satunya dusta yang mungkin dia perbuat adalah menutupi kekecewaan
dan kerisauanya dibawah pose wajahnya yang kucinta. Tatapan kosongnya akan
berubah dari kosong menjadi senyum gila yang membuatku tak tahan untuk
memujanya. Dia mendapat pendidikan yang baik dari orang tuanya: dari ayahnya;
aku dilarang merokok, selalu sarapan sebelum berangkat sekolah, jangan minum
teh atau kopi setelah makan, pergi cek up ke dokter sesekali; dari ibunya;
jangan lupa belajar, PRnya jangan ditunda, jangan telat masuk sekolah, review
materi pelajaran setelah pulang sekolah. Rosku wanita yang pintar, dia dua kali
lipat lebih rajin dariku, tangan-tanganya diciptakan untuk bekerja, pakaianya
selalu rapi dan rambutnya wangi seorang putri. Saat bau stroberi tertangkap
oleh penciumanku, jaraknya ti dak akan lebih dari lima meter dariku.
Dalam
bentuk dan dengan balutan sarkasme apapun, dia tak pernah mendapat olok-olok,
dia terlalu baik dan tak perduli jika ada yang melakukanya. Lelaki-lelaki
brengsek tak akan mengganggunya karena dia terlalu anggun, teman-teman
cerewetnya memperlakukanya seperti anak bungsu karena sikap pendiamnya, dan
para guru berharap Rosku menjadi menantunya yang penurut. Karena kefemininanya
yang brilian (tidak termasuk seleranya), dia tak banyak bergaul dengan anak
laki-laki, dia selalu memakai rok dan sangat jago memadukanya dengan sepatu. Dibawah
ledakan Britpop. untuk ukuran
perempuan, selera music phsycadelia
miliknya membuatnya terlihat lebih pintar. Setelah berbulan-bulan kematian
neneknya, dia tak menyentuh satupun lagu pop, hingga akhirnya dia meleleh saat
melihat Jack tenggelam diantara reruntuhan kayu-kayu Titanic. My Heart Will Go On dia nyanyikan seratus kali dalam
sehari, intronya yang evergreen menghatuinya,
senandung chorusnya dinyanyikan tanpa mengambil modulasi karena falsetnya pun
tak akan sampai. Kesamaan antara Rose dan
Rosku—selain namanya yang hampir sama—adalah pemberontakan Rose pada orangtua
ningratnya, dan pelarian diri Rosku dari selera feminim yang sudah seharusnya
ada dalam DNAnya.
Diluar
selera musiknya yang mengesankan, Ros mempercayai ramalan bintang, mood dan
perilaku-perilaku asmaranya dipengaruhi catalog mingguan diperpustakaan. Saat
guru-guru mencari berita pergolakan politik dan teman-temanku memperbaharui
berita bola dan otomotif, Rosku berbagi dengan zodiac, dia selalu menemukan
cara yang cerdik untuk membuat dirinya sesuai dengan opini-opini Mr. Crap—maksudku Crab (cancer). Sesekali dia akan melihat zodiaku, lalu menyuruhku
banyak makan buah dan meditasi karena menurut catalog bodohnya ronaku kurang
bersinar karena suatu tekanan. Hobi konyolnya tak sia-sia, ketika dia memasuki
kuliah, dia bekerja di catalog kampus menulis ramalan bintang dan kolom hiburan
(review film, album, dan teenlit).
Sekolahku
diiringi gemericik dedaunan, kantin-kantin mengaur bau bumbu-bumbu yang ditumis
dan kuah soto. Jutaan debu berterbangan diudara saat pagi hari karena jadwal
piket mingguan mengharuskan kami menyapu ruang kelas pagi hari. Aku dan Ros
berada dalam regu piket yang sama, kari kamis (aku lupa memberitahu, aku dan
Ros satu kelas). Rosku yang rajin tiba dikelas 2400 detik sebelum bel masuk,
melepaskan jaket merah polkadotnya yang pasaran (ada 3 sisiwi lain disekolah
yang memakainya), melesak kesudut kelas dimana sapu-sapu yang sudah tak layak
pakai teronggok lalu menyapu sela-sela deretan bangku sembari mengangkat
bajunya untuk menutupi hidung kecil berbulu lembutnya dari debu. Seperti debu,
aku melayang-layang disana menikmati pekerjaan Ros, menempel pada Ros seharian,
dan terbawa setiap hembus nafas Ros. Harus kuakui, Ros lebih unggul dari tukang
sapu manapun, sepertinya dia terlahir untuk menyapu ruang kelas.
Satu-satunya
privasi yang bisa kami dapatkan adalah sepetak ruang kelas berbau keringat khas
anak sekolahan berbaur dengan debu dan serbuk kapur tulis. Bel pulang sekolah
akan menyisihkan sepasang sejoli, duduk di deretan bangku lalu merajut tirai
keintiman didalam kelas. Percakapan kami terdengar lebih intens, romantic dan
manja. Jika beruntung, pintu ruangan akan tertutup dengan cara tak terduga dan
memberikan kami kebebasan untuk menjalin asmara muda yang menggebu-gebu.
Guru-guru tak mendukung apa yang dinamakan pacaran. Dalam kamus mereka, pacaran
adalah hal menghawatirkan yang mereka gambarkan terlalu liar (meski sebagian
besar mereka benar).
Namun, kejadian tragis
tak terduga meruntuhkan bilik privasiku dengan Ros. Teman kami, Anita, seorang
gadis polos mengandung anak orang. Beritanya menyebar disekolah seperti gulma.
Isu-isu pacaran yang terlalu panas akan membuat pengawasan diperketat:
pintu-pintu kelas digembok setelah semua siswa pulang, pengawasan
ekstrakulikuler diperketat, dan ceramah-ceramah menakutkan tentang pergaulan
muda dari guru-guru. Nama gadis murahan
melekat selamanya pada temanku, cemoohan tak hentinya bergulir selama
berbulan-bulan, temanku yang sering bergaul dengannya turut merasakan imbasnya,
dijejali petanyaan-pertanyaan kejam dan gossip murahan yang hanya menyisakan
sedikit sekali simpati.
Kecuali Ros, lantaran
jiwa ibunya, dia tatap berhubungan denganya. Satu-satunya orang hidup yang
diajak Nita bicara adalah Ros, itupun harus tanpa ada yang tau, Nita tak ingin
menghancurkan Ros karena telah berbicara denganya—yang sebenarnya Ros tak
perduli kecuali untuk menghindari kesan sok pahlawan. Begitulah Ros, hatinya
seperti warna putih.
0 critic:
Posting Komentar