3
Aku
mempunyai hubungan yang dekat dengan kakak perempuanku Lisa, jika
kuhubung-hubungkan dengan transformasi abnormalku mungkin dialah yang kurang
lebih mewariskan kefeminimanku. Dia mempunyai banyak majalah-majalah gadis
(yang aku hanya gemar melihat gambarnya) yang disusun rapi disamping lampu
belajar kekanak-kanakanya, berisi tips-tips kurang penting, ramalan bintang,
gossip dan kegiatan-kegiatan artis tertentu yang menggelikan. Sewaktu kecil aku
sering memergokinya sedang bermain acting dan bereksmerimen dengan rambut dan
pakaiannya, sesekali dia berperan sebagai majikan kejam atau sesekali menjadi
seorang putri melankolis yang menyedihkan, tapi bagian yang paling kusuka
adalah ketika dia melihatku memergokinya lantas kemudian dia pura-pura tak
perduli atas kehadiranku dan melanjutkan dramanya.
Sedikit
banyak aku kenal dengan teman-temanya, nama mereka ini dan itu, beberapa aku
mengingatnya dan sisanya hanya lewat. Aku menjadi faforit mereka, semua dari
mereka bermimpi merebutku dari pelukan Lisa—mengadopsiku menjadi adik kecilnya
seperti mereka mengadopsi peliharaan anjing dan kucingnya yang kelak
diperlakukan seperti obyek mainan yang layak disayang dan patut dibuang. Mereka
sering bermain dirumah, membuat kebisingan ini dan itu, menjailiku dengan
pertanyaan- pertanyaan konyol mereka dan memasukanku dalam permainan aneh-aneh
mereka. Perlakuan Lisa saat mereka berada di rumah sering menunjukan protes
atas perlakuan-perlakuan teman-temanya yang terlalu memanjakanku, tak seperti
Ibuku yang selalu memamerkanku, Lisa tak terlalu ambil pusing dengan segala
prestasiku (apa yang bisa membuatmu membanggakanku Lisa?), bukan iri, dia hanya
lebih mengenalku daripada siapapun, dia apa adanya dan selalu memperhatikanku.
Awal decade kehidupanku paling banyak kuhabiskan bersama Lisa, dia tak banyak
menghakimiku, tak terlalu menyuruhku ini dan itu—jika dia melakukanya, itu
selalu bisa kupersetujui tanpa keluhan. Dia sangat dekat denganku, tetapi tidak
begitu dengan penghuni rumah yang lain, dia cenderung cuek dengan ayah dan ibuku.
Sebagai adik aku mengukur-ukur—dia selusin kali lebih pintar dariku, apa yang
dikatakanya selalu benar bagiku, seperti buku matematika.
Tidak
sepertiku, dia tidak menuruni tampang tionghoa dari ayahku, dia lebih mirip
ibuku (kami bukan anak adopsi seperti Pip dan Estella), dia remaja tercantik
yang pernah kutemui, berambut hitam panjang, tinggi, berat badan ideal, kulit
sawo matang, mata indah dan bagian-bagian menarik lainya, dia adalah idola pada
pandangan pertama, dia imajinasi liar pemuda-pemuda penuh semangat untuk
menghasilkan reaksi-reaksi ajaib, Lisaku role idolku.
Aku
secara otomatis dijadikan koneksi oleh para penggemar-penggemarnya untuk bisa
berhubungan dengan Lisa (aku diberi recehan), untuk mengirimkan surat-surat
picisan, hadiah murahan, atau salam malu-malu mereka. Ada Fajar dengan rambut Elvis,
Hafy dengan tubuh petinju dan wajah sopir truk, Jaya dengan jerawatnya yang
serapat rintik hujan, dan lain-lain. Mereka selalu bisa menemuiku di
tempat-tempat dimana kuberada secara mengejutkan, berbisik-bisik padaku seperti
membaca mantra dan menyerahkan paketnya padaku, aku selalu dapat dipercaya, dan
hari berikutnya mereka akan menayaiku dengan gaya reporter maniak (reporter
majalah-majalah Lisa) tentang respon Lisa, sehingga memberiku tugas untuk
mengarang-ngarang fiksi agar mereka tak terlalu patah hati, dan tanpa
mengetahui tanggapan-tanggapan Lisa dibalik kebohonganku, mereka mendengarkan
beritaku dengan senang hati dan melakukan hal yang sama beberapa hari kedepanya
hingga tiga atau empat kali. Dengan ekspresi curiga Lisa bertanya padaku “dapat
berapa?” tiap kali aku mengirim paketnya, semua hadiah diparkir
dikamarnya—disana-sini, dimasukan kotak dan sebagian digantung. Sebagian surat
benar-benar dibacanya, tapi sebagian tak digubris begitu melihat nama
pengirimnya, tapi semuanya tak ada satupun yang dibuang—dimasukanya dalam kotak
seperti nasi goreng dalam bekal makananku (mungkin dia ingin membuat rekor),
dan tidak ada satupun yang menerima balasan setimpal, seperti sekerdar
“terimakasih”, “aku juga” atau “benarkah?”. Seperti apapun mereka nampaknya tak
ada laki-laki yang cukup baik baginya, dia menunggu kodok yang berubah menjadi
pangeran, pangeran dengan kuda putihnya, pangeran yang mencium dalam tidurnya,
pangeran yang menjelma menjadi monster, pangeran dengan sebelah sepatu kacanya,
dan seterusnya.
Waktu
itu, seiring dengan pembatasan orang tuaku atas uang jajanku supaya aku tak
berubah menjadi ratu belanja atau semacamnya, aku sering mencuri uang Lisa.
Setelah pertimbangan mendalam antara baik dan buruk, dermawan dan pencuri, aku
melakukan perjalanan paling menegangkan dari kamarku kekamar Lisa,
mengendap-endap (meski aku tak didesain seperti Hobbit), dengan penuh waspada,
menuju kotak celengan Lisa yang terbuat
dari kaleng bekas tempat biscuit. Suara sekecil apapun yang menyelaku saat
melakukan pekerjaanku, terdengar seperti tsunami, kemudian setelah setibanya disana, dengan
susah payah dan penuh kerja keras aku membuka tutup kaleng yang sudah dirancang
sedemikian rupa untuk mencegah orang-orang sepertiku dan mengambil beberapa
lembar dan kepingan rupiah, memberantakinya untuk meninggalkan kesan tak
tersentuh, lalu kututup kembali (dengan susah payah juga) dan kuatur kaleng itu
persis seperti posisi yang oleh usaha
terbaik ingatan fotografiku telah menangkap setiap detail sudut posisi semula
kaleng itu.
Lihat
bagaimana aku mendramatisir kejadian pencurian. Itu juga turunan Lisa.
Tindak kriminalku itu
kulakukan beberapa kali hingga akhirnya terakhir kali aku membuka kotak harta
karun itu kutemukan secarik kertas peninggalan Lisa (yang telah diam-diam
mencurigaiku) bertuliskan “Aku tau kau suka membaca majalahku”, dan seketika
darahku menggumpal dijantungku, aku segera meninggalkan kotak itu dan melarikan
diri kekamar, menjatuhkan wajahku ketempat tidur, dan nyaris membuat keputusan
antara bunuh diri atau membunuh Lisa. Semenjak itu aku bersumpah demi apapun
aku tak akan mengusik kekayaan Lisa. Apa lagi yang kau ketahui Lis? Ya ampun.
Aku sempat diliputi
kecanggungan yang tak tertahankan karena ulah Lisa— maksudku ulahku. Dengan
keusilan dari sisa-sisa rasa dendam Lisa, sesekali dia meledeku dengan
melontarkan kata-kata menusuk yang terselubung dalam leluconya yang centil seperti
“Ambil saja dikamarku, aku akan pura-pura tidak tau” atau “Sudah ada edisi
terbaru lho”. Meski begitu, Lisa adalah penjaga rahasia paling mengagumkan,
seperti dia menjaga kotak uangnya, dia tak pernah mengadukan
kenakalan-kenakalanku pada orang tua kami. Setelah kejadian itu, Lisa justru
terbuka padaku untuk membagikan sebagian hartanya saat aku terhimpit masalah
ekonomi.
0 critic:
Posting Komentar