2
Seingatku,
aku mulai tertarik pada wanita sejak berada di taman kanak-kanak. Dia gadis
berwajah boneka, rambutnya seleher, dan dia adalah putri dari seorang pemilik
toko mainan terkenal di tempatku. Itu hanya pikiran anak-anak konyol yang masih
menangis karena terpisah dari ibunya sejauh lima meter. Dan setelah aku bertemu
kembali dengan gadis tadi saat dia masuk ke SMA dimana dia bersekolah sebagai
adik kelasku, rasa suka itu tak tersisa samasekali. Lalu saat menginjak sekolah
dasar, aku mulai berimajinasi dengan aku sebagai tokoh super hero yang
menyelamatkan gadis-gadis.
Saat kelas lima SD aku sudah
digosipkan menjalani hubungan dengan beberapa gadis— kalau aku tidak salah
ingat tiga atau empat gadis: mereka memakai rok tak tau aturan, kaus kaki
dekil, dan sepatu dengan noda disana-sini. Saat itu gossip seperti itu adalah
bahan olok-olok paling mengerikan yang bisa membuat anak seumuranku tidak bisa
tidur, membuatku canggung dan terpinggirkan, dan dalam beberapa kasus yang
lebih serius, dapat menyebabkan pertengkaran hebat dan adu mulut tak sopan, dan
tak jarang menyebabkan tangisan menyedihkan. Aku pernah membuat salah seorang
temanku menangis karena aku melempar lumpur kearah gadis kurang ajar yang
secara bertubi-tubi menuduhku buang angin saat dia sedang makan (aku memang
melakukanya, tapi tak kuduga dia akan bisa mendeteksi bahwa itu berasal dariku),
dan seketika semua teman-temanku menyalahkanku, dunia seperti menyalahkanku,
dan jika dia tak berhenti menangis saat pelajaran dimulai dan guru masuk kelas,
aku harus menghadapi petanyaan-pertanyaan yang membuatku ingin bunuh diri
tentang apa yang terjadi sehingga gadis malang itu menangis, dan tamatlah
riwayatku. Itu pertamakalinya dalam seumur hidupku membuat seseorang menangis,
salah satu ingatan masa kecil yang belum terlupakan olehku.
Aku bersenang-senang disana, saat
itu pula aku terkena penyakit cacar pertamaku, salah satu hal paling
menyakitkan yang terjadi dalam hidupku, satu dari sepuluh anak-anak disekolahku
terjangkit cacar hanya dengan kadar keparahan yang berbeda. Aku masih ingat
betapa penyakit itu membuatku gila, aku terlihat seperti makhluk lain—seperti
monster atau semacamnya. Ibuku diberitahu orang-orang mengenai cara pengobatan
ini dan itu, semua dipraktikanya padaku (aku kelinci percobaan, dia
perisetnya). Dan saat penerimaan rapor, semua orangtua datang ke sekolah dengan
berdandan layaknya sinden dan memakai perhiasan— gelang emas (mungkin beli dari
toko ayahku) dari pergelangan tangan hingga siku. Aku sering mendapat nilai
bagus disana, itu sebabnya ibuku sangat senang ketika mengambil raporku, dia
akan membangga-banggakanku seperti piala atau semacamnya. Aku sering
dipamerkanya pada teman-temanya karena aku pintar dan penurut, menceritakan
tentang kebrilian-kebrilianku pada mereka secara berlebihan seperti dalam komik
dan aku tak bermasalah akan hal itu, itu membuatku menjadi idola dikalangan
teman-temanya, jika mereka memarahi anak-anaknya karena kenakalan bodoh, mereka
akan menyebut namaku sebagai acuan berperilaku baik dan benar seperti tuturan
ibuku saat memamerkanku. oh jika mereka mempunyai seorang anak gadis aku tak
akan menemui kesulitan untuk menjadi menantunya.
Peristiwa sexual
pertama yang menimpaku bukan datang dari gesekan-gesekan langsung dengan
bentuk-bentuk fisik ramping para perawan-perawan. Hal itu terjadi, namun bukan
secara langsung di tempat-tempat rahasia para pemuda-pemuda bejat biasa
melakukan dosa keji pada masa pembentukan-pembentukan kepribadian gadis-gadis
lugu yang beranjak menjadi wanita anggun dan bermoral kelak (harapan kita).
Bagi kami anak-anak praremaja, pendidikan sex masih dianggap tabu, bahkan
pembicaraan-pembicaraan tentang pendewasaan bagian-bagian tubuh tertentu
manusia, sebisa mungkin dihindari agar tak menimbulkan pikiran neko-neko
menodai pikiran-pikiran polos kami (apa kau bilang? Polos?Kau gila!). Pertama
kami akan mendengar semacam kode-kode misterius yang dibawa angin sepoy yang
akan memancing gairah keingintauan kami seperti: basah, keluar, bukan kencing,
mimpi, klimaks dan istilah-istilah lain yang nuraniku mencegahku untuk
berlanjut mengatakanya. Lalu dalam petualangan mengasyikan memecahkan kode-kode
tersebut kami akan bertemu peristiwa dan hal-hal baru yang mendatangkan reaksi
ajaib pada tubuh belia kami dengan meniru adegan pada lukisan Picasso La
Reve.
Pengetahuan-pengetahuan
itu datang dari tempat misterius, dibawa angin dan burung-burung, tak ada
malaikat paling mulia dapat mencegahnya masuk ke kuping-kuping menganga kami,
bahkan bukan orang tua manapun yang mentabukanya. Jika para orang tua akan menyelidiki
bocah-bocah ini tentang apa yang mereka ketahui tentang hal-hal tersebut,
mereka akan menemui penyangkalan-penyangkalan paling bodoh yang dapat tercipta.
Segala
hal seperti itu tak akan didapat dari bangku sekolah manapun, mereka
memusuhinya, tak ada seorangpun dari kami yang dapat dengan bebas mengulasnya
secara blakblakan, kami dianggap kurang dewasa untuk mempelajarinya secara
benar dan dibawah pengawasan yang serius seiring dengan batasan-batasan
kesopanan yang ketat dari masyarakat (aku tumbuh di lingkungan seperti itu).
Jika seorang periset melakukan penelusuran pada kami tentang darimana
pengetahuan seperti itu didapatkan, mereka akan menemui cabang-cabang yang
mengagumkan. Jika anak pada pra-belasan tahun seperti kami mengetahui tentang
sejarah kemerdekaan atau dapat mengakarkan angka-angka yang rumit, dapat
disimpulkan mereka mengetahuinya dari buku-buku sejarah sekolahan dan
penjelasan para guru. Dan jika kami dapat bermain catur atau bermain kartu, tak
perlu penjelasan panjang lebar kami akan bisa memainkanya dengan melihat orang
lain bermain beberapa kali dan menjadi lebih ahli seiring jam terbang permainan
kami. Mungkin penjelasan yang paling dekat dari penyampaianku yang penuh
teka-teki adalah seperti ini: Aku pernah mengadopsi seekor anak kucing, dia
kubesarkan tanpa ada induknya yang menaunginya, dan pada umur setahun kurang
lebih, dia bisa berburu tikus dan membersihkan bulunya dengan lidahnya sendiri
dan lain-lain. Dan dibandingkan menuntun kami dengan bijak dan canggung
mengenai hal-hal itu, para orang tua cenderung membiarkan pengetahuan tentang
hal seperti itu mengendap-endap seperti maling masuk ke sela-sela paling kering
melalui celah paling putih bagian otak kami.
0 critic:
Posting Komentar