No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Kamis, 09 April 2015

Chapter 10



10
Mari beralih ke gulungan pita film selanjutnya, kubalikan halaman lain dari kehidupan masa laluku (Kuharap pembaca masih tahan dengan tulisanku yang penuh metafora berlebihan). Aku mencoba menyelipkan tangan-tangan rampingku untuk mengakses gambar-gambar secara keseluruhan, menelusur kabel-kabel memoriku yang sudah ruwet untuk memunculkan kembali saga familiku yang mulai ditelan usia. Dari neneku yang berdagang di pasar, kakeku yang mantan lurah berserta sawah berpetak-petaknya, dan berlanjut ke keturunanya, hingga aku dan Lis, sepupu-sepupu dan seterusnya. Juga Keluarga ayahku yang tak terlacak jejak darah yang mengalir dalam dirinya. Diantara rayapan-rayapan tanganku, penemuan-penemuan tertentu yang masih lumayan utuh akan kujabarkan melalui prosaku.
Aku menggali-nggali lagi lebih dalam variable-variabel independen yang memungkinkan untuk mempengaruhi transformasiku. Yang selanjutnya akan kuceritakan adalah suatu guncangan keluarga yang puluhan tahun mendatang tetap akan kuhujat dalam setiap pemikiran mengenai pasangan suami istri maupun pacar-pacaran, sebuah perselingkuhan.
Pertama. Penghujung 1996, bibi termudaku yang chubby dan manis terlibat suatu perselingkuhan ganas (aku tahu, agak berlebihan) ketika suaminya baru menjadi pamanku selama lima tahun. Namanya Joko, melihat kecanggunganya, aku bisa mengatakan bahwa dia masih Joko saat mempersunting bibiku, Suci. Meski wajahnya tambun, namun pinggang bibiku normal, pantatnya tidak bahenol dan dadanya hanya seukuran buah pir. Pamanku yang penurut (dilihat dari permukaan) berkulit gelap, rambutnya seperti serabut kulit kelapa, matanaya besar, tampangnya agak menyeramkan namun baik hati dan kadang kekanak-kanakan (menghindari percakapan dengan tetua keluarga besar dan memilih bergaul dengan keponakan-keponakanya).
Setelah kelahiran putra mereka yang hiperaktif, mereka sering cekcok. Sebagian besar pertikaian mereka bersumber dari perbedaan perspektif merawat anak laki-laki berusia empat tahun. Dibalik tampang seram dan kelemah lembutanya didepan keluarga lain (termasuk didepanku) Joko orang tua yang keras, teguran-teguran pada anaknya menyerupai pelatih basketku saat SMP (pasing yang benar bodoh! Lihat temanmu! Dimana matamu? Tidak masuk, Push up!). Bibiku yang juga keras, tapi tidak sekaras itu, memincingkan matanya pada suami gelapnya saat Joko mempraktikan kediktatoranya pada anaknya, Rio, zodiaknya Leo, menurut catalog Ros edisi minggu ketiga bulan Oktober, dia keras kepala dan sinting (iya, ingatanku setajam itu, hardisknya kelas satu).
Bibiku memiliki kios pakaian di pasar grosir Gladak Solo, Rukonya memiliki dua pintu, tempatnya strategis disudut perempatan gang, namun arah barat adalah arah ke Toilet, jadi jarang ada yang lewat sisi kiri mulut rukonya. Suaminya adalah petugas PAM, dia hanya bekerja pada waktu waktu tertentu untuk memeriksa kran air atau semacamnya, aku tak begitu mengerti. Namun perkerjaan utama mereka adalah merawat Rio, pertumbuhan sel-sel dan hormon-hormon pembentuk karakternya menghukum orang tuanya dengan tingkah gilanya. Dia lari kesana kemari seperti lempengan karambol, melompat-lompat bagai anak kanguru, dan berteriak tidak jelas. Dia tak mendengar perintah orang, satu-satunya yang diturutinya adalah saraf-sarafnya yang super hiper. Suatu ketika, dia menyusur kamarku dan bermain dengan miniatur biola pemberian Ros yang dibelinya di Malioboro setelah menawar selama 6 jam. Dia mengoyaknya seperti kertas, senarnya putus, lengan biolanya patah dan aku membencinya seumur hidupku. Rio adalah kata lain dari onar, Joko dan Suci adalah sepasang pawang gagal.
Jika ingatanku tak menyesatkanku, kala itu adalah malam Sabtu yang sunyi ketia Joko mendatangi Ibuku yang dianggap bijak untuk meminta pertolongan. Dia melaporkan perselingkuhan bibiku secara gamblang. Menurut kesaksian pesaing dagangnya, Parti, bibiku berselingkuh dengan seorang penarik setoran sewa kios bulanan. Dia tinggi, gelap juga, namun wajahnya dipahat dengan baik, hidungnya mancung dan raut matanya menawan.
(sebelum kulanjutkan, aku akan melenceng pada sebuah gambaran yang kudaur ulang dari karangan Flaubert. Diantara pohon-pohon yang menjulang, Emma Bovary menyerahkan dirinya pada sebuah kereta kencana yang ditarik kuda emas. Didalam kuil, yang menantinya adalah seorang pria kaya yang kedinginan karena kesendirian merajut dalam benaknya selama bertahun-tahun. Sang Madame melepaskan sepatunya, berlari kearah sang pria dengan liar dan melahapnya tanpa rasa malu. Roknya diangkat, korsetnya dilepas—kupercepat—tubuhnya tergoleh diatas ranjang berumbai, bergerak-gerak seperti kupu-kupu yang meronta-ronta  merobek kepompongnya dan merintih-rintih lantaran senang. Kemudian kembali ke pelukan Monsiour Bovary yang dingin tanpa rasa bersalah yang berarti.)
Tidak seromantis itu—ya, walau adegan perselingkuhan, itu lumayan romantis—kejadianya lebih menyedihkan. Kelakuan yang membuat Parti yakin untuk melaporkan penyelidikanya pada Joko adalah sebuah perbuatan bejat bibiku didalam ruang Toilet. Parti dengan mata kepala udangnya meyakinkan dirinya bahwa kegilaan sedang terjadi, Toilet itu hanya bisa dihuni satu orang saja, beberapa saat setelah penadah itu masuk, bibiku menyusulnya sambil celingukan. Setelah beberapa menit, mereka keluar, secara bergantian dan berjeda juga tentunya. Parti mual, dia tak sanggup melihatnya, memikirkanya membuat darah tingginya kambuh, dia meminum satu gelas penuh es teh dalam satu kali upaya.
Menurut pertimbangan Joko, istrinya tak akan melakukan perbuatan seronok itu. Ketidakpercayaanya akan fakta kebejatan istrinya menyeretnya kedalam “Logika Mistika”. Aku tak menangkap dengan jelas rapat yang digelar paman Joko dengan Ayah Ibuku diruang tamu bercahayakan bolam itu. Putusan mereka sudah bulat, mereka akan mendatangi orang pintar, mendakwa kegaiban dibalik penyelewengan bibiku.
Singkat cerita, secara mengejutkan pernikahanya selamat, aku tak tau apakah orang pintar memang benar-benar bisa diandalkan atau karena sebab lain. Perselingkuhanya berhenti, setelah gossip memalukan itu dibisik-bisikan didalam keluarga besarku dan pengasingan bibi dan pamanku lantaran malu, situasi kembali normal. Kami berkumpul saat lebaran tanpa bekas yang kasat mata. Rio masih tetap keranjingan dan percekcokan rutin mereka berlanjut.
Kedua. Anak perempuan tertua—kakak perempuan ibuku, Anik—melakukan hal yang sama, namun tidak dengan cara menyedihkan seperti bibiku. Dulunya dia adalah wanita paling berkelas dikeluarga, gemar membaca buku-buku bagus, pakaianya selalu mahal dan bermerek, tidak menertawakan lelucon murahan, dan menolak keras pergunjingan. Tapi setelah menikah dengan lelaki super tampan, lelaki kembang desa (lebih rinci, karakternya mirip denganku) yang malas, dia menjadi wanita penggerutu dan berteriak kapada semua orang. Dia menjadi Istri superior yang menakutkan mentang-mentang pendapatanya dua kali lebih besar daripada suaminya. Anak-anaknya adalah pembangkang yang sukses, hubungan keluarga ini begitu jauh, mereka tak pernah makan pada meja yang sama dan bercakap-cakap dalam ruangan bersama. Suaminya yang penyabar tak pernah mengetahui perselingkuhan istrinya sendiri hingga akhir hayat. Pengetahuan mengenai perselingkuhan yang satu ini dating langsung dari mulut tante Anik ketika membuat pengakuan kepada Ibuku setelah sepeninggal suaminya karena terseret truk. Setelah suaminya meninggal, dia tak pernah menikah lagi karena masalah restu dari kedua putra-putrinya. Meski demikian, hubungan gelapnya jalan terus, tak pernah terkuak lelaki macam apa yang mampu menculik hatinya dari genggaman suaminya yang tampan.
Setelah cerita tragis dalam sejarah keluargaku ini, bibit-bibit kebencianku terhadap wanita secara umum mulai tumbuh subur. Dalam sebuah hubungan, kecintaan terhadap lawan jenis tidaklah cukup, bahkan sebuah ikatan suci tak mampu merekatkanya selamanya. Mereka menginginkan lebih, yang beresiko, dan selalu panas—sebuah kebersamaan illegal yang terkutuk. Godaan murahan dan rayu-rayuan gombal mengambil keuntungan melalui kegelisahan seorang istri dan dengan sukarela tante-tanteku tertarik oleh gravitasinya keluar dari orbitnya. Membangun lorong-lorong tersembunyi yang menaunginya menuju tempat-tempat dimana jiwanya yang terluka dapat bergembira dibawah selubung perselingkuhan
Seiring dengan itu, kepercayaanku pada Ros goyah, pikiran-pikiran negatif dimalam kelabu menimbulkan segumpal kegelisahan baru. Mungkinkah, diluar pengawasanku yang longgar, Ros membuka dirinya untuk lelaki lain, didalam bus udik saat pulang sekolah, matanya mengkhianatiku dengan menatap remaja ganteng yang memberikan tempat duduknya. Skenario-skenario itu perlahan-lahan menimbun hal-hal lain dalam kepalaku yang biasanya diisi oleh: keanggunan Ros, kebaikanya, perhatianya yang kaku namun tulus, lekuk pinggul Ros yang indah, rekaman adegan-adegan romantic, raut ramahnya, dan kata-kata manisnya. Dimasa dimana kehangatan dan keramahan Ros keluar dari parimeternya dan murung padaku (PMS, lelah karena urusan sekolah, masalah pribadi), aku menjadi menyedihkan, mulai terus-menerus memplotnya sebagai seorang antagonis, aku lepas kendali, hal itu keluar dari kepalaku dan menular ke mulutku, kemudian keluar mentersangkakan Ros tanpa sebab berarti. Ros manjauh dariku.

Jumat, 03 April 2015

Chapter 9


9
Aku akan mencoba menterjemahkan betapa aku mencintainya kedalam sastraku yang kacau balau. Setelah puluhan tahun, kediamanya hampir tak terusik dalam relung kedalaman diriku. Didalam sana, diriku yang sudah tak bisa kumpanggil lagi bersorak ria menikmati dirinya yang bagiku masih seorang wanita belasan tahun yang anggun dan menawan hatiku, corak wajahnya beberapa kali masih bisa muncul dengan efek kabur yang berlebihan. Beberapa yang masih tersisa darinya dengan jelas masih mampu menusuku dengan duri-duri mawarnya.
Kaki-kakinya yang seindah menara eifel. Pinggul menekuk kedalam, dada tegapnya. Tanganya yang seperti lambaian daun kelapa. Pergerakanya yang seanggun pengantin (aku membayangkan: janur melengkung, sanggul merepotkanya, lipstick di bibirku, kebaya yang membuat kami lamban, keringat dingin pengucapan janji, dan seterusnya). Pancaran wajahnya yang membuatku menghormatinya seperti apapun juga. Senyumnya yang membuat lututku gemetaran. Aromanya yang membuatku mengabaikan surgawi.
            Kecantikanya adalah kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan di musim gugur, oh, hati macam apa yang mampu meniupkan angin dan melayangkanya dalam rengkuhanya. Di penghujung tahun kedua SMA, aku mampu meresap kedalam kulitnya seperti matahari pertama penghujung musim hujan. Humorku yang pas-pasan mampu menyeret sudut bibirnya melebar dan memperlihatkan gigi-giginya yang berantakan (namun samasekali tak membuatnya kurang cantik). Sejarahku yang menawan(tak terlalu banyak berhubungan dengan wanita) memutar bola matanya padaku. Ujung jarinya dipandu oleh usaha-usaha pendekatanku yang kikuk tepat kearahku. Ekspresi wajahnya melebur dan berubah menjadi rangkaian alfabetis bersayap yang melayang-layang, “Ayo, kita tindak lanjuti sayang!”. Aku menyadarinya ditengah percakapan-percakapan kami, sesekali wajahnya yang dilekati observasi bercampur pandangan seorang ibunya menenggelamkanku kedalam dirinya. Ditengah kekhawatiranku akan keberanianya untuk menuruti perasaanya, terlihat tatapan kosongnya yang meladeni kepingan keraguanya yang kubenci. Namun sihirku terlalu kuat, sungainya bermuara dan larut dalam lautanku.
Pada suatu sore diguyur gerimis yang mampu menggenangi selokan kecil penuh pasir dan sisa sisa mendung yang memperburuk penampilan rerumputan dan bunga-bunga, aku terdampar, terjebak diantara emperan kelas yang basah kuyup dan dinginya ruang kelas yang mampu membuatku berkeringat tak karuan. Teman-temanku yang baik hati (yang sebelumnya telah kuorganisir untuk prosesi lamaranku) telah menempatkan Rosaku didalam kelas, sendiri tanpa pendamping. Aku melangkahkan kaki-kaki mungilku seperti sang singa mengintai mangsanya yang celingukan dan asik makan rumput sorenya untuk masuk. Pemanduku pergi dan menyerahkan segalanya padaku, mungkin dia sempat mendengar detak jantungu yang semakin kencang. Seseorang menutup pintu, hanya kami berdua ada didalam ruangan dingin itu. Sudut kelas seolah mengambil peran sebagai hakim agung dan jaksa penuntut yang siap membimbingku ke tiang gantungan. Suara gerimis yang tak begitu berpengaruh membuat suasana semakin tegang. Aku berhenti tepat diseberang meja dimana Rosa duduk. Aku berdiri seperti patung yang pondasinya dihantam akar beringin, Rosa memandangiku seolah dia membawa enamratus gram ganja didalam tas kumalnya dan ketakutan akan diringkus pak polisi. Kami terdiam beberapa saat, secara bergantian aku mengganti tumpuan badanku ke kaki kiri dan kananku (yang akan menjadi tarian konyol jika kupercepat tempo pergantianya). Sesekali kupandangi wajah Rosa yang dalam beberapa momen terlihat seperti jeruk, namun wajahnya sewarna delima.
Adegan tak-tau-harus-berbuat-apa-selanjutnya kami akhirnya dihentikan oleh hentakan kata Rosa, “ada apa?” (Tolong! Aku terkena serangan jantung). Segera aku meminta Rosa untuk menjadi kekasihku (aku tak sempat membuat puisi). Suasana segera sesenyap gurun. Pandanganya lepas dariku (yang tak pernah kumengerti) dia membuang pandanganya ke jendela dengan tatapan seseorang yang sedang mengagumi laut, mungkin dia tenggelam dalam pikiranya. Rosa tau, pertimbangan apapun yang sedang dia lakukan sepanjang yang diberikan oleh waktu tak akan merubah perasaanya, meskipun dia bisa mengubah jawabanya menjadi drama yang sangat bisa kuterima. “Baiklah”, dia menjawabnya dengan nada yang ingin membuatku puas.
            Suatu sore yang lain, saat matahari menguapkan sisa-sisa air hujan, dalam ruang kelas yang sunyi kami berduaan ditemani bangku dekil yang dicat ulang, udara ruangan yang lembab, dan kabel-kabel yang merambat didinding disamarkan dengan cat tembok warna putih tulang. Keromantisan itu menggeser kilauan dalam hatiku menjadi api-api berbahaya yang mebakar sulbiku dibawah selimut dingin udara. Pandangan kami berpapasan dalam pencarian-pencarian pertanda, beberapa saat, dewi asmara menepuk tengkuk kami dan menyentuhkan bibir bisuku dan miliknya, pengekangku terlepas, duniaku dalam radius tak terhingga lenyap ditelan gairah, angin berhenti bertiup dan waktu bergerak seperti awan. Tangan-tangan amatirku menyusuri tempat-tempat tak terduga secara sembunyi-sembunyi, tubuhku bergerak seperti ranting-ranting pohon. Di akhir adegan, kedua remaja ini mampu bekerja sama dengan baik untuk menghentikanya dan melanjutkan sore dengan kasual—walau agak kaku. Suara yang paling bisa kudengar hingga kini adalah nafas kami yang diusik oleh suara bangku yang berdecit karena gerakan erotis kami. Peninggalan bersejarah lain adalah ketika kami gagal mereplika adegan serupa di dalam gedung bioskop karena lampunya menyala secara tiba-tiba (padahal posisinya sudah strategis).
            Saat keadaan-keadaan sekolah yang tak memungkinkan bagi kami untuk bermesraan, dari kejauhan teropongku bisa menangkap dirinya beraksi dipermukaan layar yang tersorot cahaya proyektor kepalaku yang kotor. Gambar-gambar ketika dia berjalan dengan anggun, cara rambutnya jatuh ke wajahnya, dan rekaman adegan ciuman kami yang diambil dari sudut paling strategis ruang kelas itu mengambil alih otaku. Diatas kasur dinginku, peragaan Le Reve-ku kumodali dengan rentangan imajinasiku yang menyusur setiap permukaan privasinya. Cara berpakaianya yang penuh sopan santun memberikanku kesempatan untuk menjelajahi setiap pola-pola dan bentuk-bentuk sesuka hatiku. Namun karenanya, foto-foto yang bisa kupandangi tidak pernah konsisten dan palsu. Ekspresinya juga hanya kubuat-buat.
            Lihat betapa normalnya diriku, aku mencintai wanita, tolong jangan kesampingkan hal ini hingga akhir cerita.
Jauh sebelum aku mencumbu Rosku, peristiwa lain yang menyebabkanya gagal menjadi ciuman pertama kemi diungkapkan Ros dengan linangan air mata. Petani miskin paruh baya bernama Parjo (sebenarnya aku lupa namanya siapa) merebutnya dariku secara paksa. Hari Minggu ketika matahari merangkak keatas pohon rambutan sisi timur rumah Ros, lelaki itu datang menemui ayah Ros dengan luka gigitan ular. Dengan sigap ayah Ros memeriksanya, sebelum menyuntiknya dengan antitoxin, Ramli (aku beru ingat namanya) menanyakan padanya apakah dia pernah mengalami bilur-bilur, gatal, bengkak, sukar bernafas setelah mendapat suntikan penisilin. Dia menjawab ya sambil terisak-isak. Selanjutnya—yang dia lakukan dengan tergesa-gesa—dia mengambil sebotol promethazin dan menyedotnya mnggunakan suntikan sebanyak 3 ml dan dimasukanya melalui pantat hitam Parjo 15 menit sebelum dia memberinya antitoxin. Ramli menyuruh Parjo rileks dan menunggu reaksi antitoxin. Selanjutnya, semuanya tergantung pada kondisi usus besar ayah Ros. Itu adalah ketiga kalinya Ramli pergi ketoilet pagi itu, sebelum dia meluncur kesana, dia meminta Ros menunggui pasienya dan meminta segera memanggilnya jika pasienya sesak nafas atau pingsan.
Kemudian kejadian biadap itu terjadi, setelah tubuh petani keparat itu mulai segar kembali, dia mengangkat kepalanya dari bantal dan menyusuri tubuh Ros dengan mata cabulnya. Dia mendekati Ros yang sedang mencari ampul adrenalin—terletak di lemari dinding nomer dua sebelah kiri cermin—atas perintah ayah mantrinya. Dia membelai rambut Ros, memegang belakang kepalanya, mendorongnya kearah wajah kumalnya dan bibir berdebunya menyapu milik Ros. Ros memberontak dengan dahsyatnya, mendorong dagu keparat itu kuat kuat dan meloloskan dirinya seraya melempar adrenalin kearah lelaki itu—meleset dan menggelinding diantara kaki tempat tidur. Dia menangis dan berlari. Ayah Ros kalap, dia memukulnya hingga roboh, ambruk, dan hidungnya dibanjiri darah. Ditengah erangan kesakitanya, lelaki itu mengalami asma, Ramli tercangang dan segera menggerayangi  adrenalin. Dia menyuntikanya padanya dilanjutkan dengan pemberian antihistamin dan menyuruhnya pulang dengan kasar. Semurka apapun, jiwa kedokternya terlalu melekat, hal itulah yang juga menyembuhkan sakit hati dan kemarahan Ros akan kejadian itu lantaran bangga. Semenjak kejadian itu, Parjo menghilang dari kehidupan keluarga mereka selamanya karena malu.
Namun diriku, setelah dongeng pilu itu darahku naik lantaran tidak terima. Parjo mendapat pengobatan gratis, ciuman pertama Rosa dan hanya diganjar dengan satu pukulan dan sumpah serapah kurang kasar ala ayah Ros yang lemah lembut. Meski aku sadar bahwa ini tidak logis, aku membayangkan liur berdebu petani sialan itu menempel dibibirku melalui ciumanku dengan Ros. Dalam pikiranku, aku melayang-layang dalam lorong waktu, muncul disana, lalu menghabisi lelaki itu secara brutal.
Singkat cerita, dalam sebuah perjalanan singkat dari ruang kelas menuju trotoar depan sekolahan, aku menyesali hujatanku pada Penciptaku ketika Rosku: dengan senyum mentarinya menggandeng lenganku; menumpukan beberapa persen beban tubuhnya disana; menatap cinta pertamanya dengan mata ramahnya, lalu menarik nafas dalam-dalam seraya menaruh pelipisnya kembali keatas pundaku—matanya menatap kejahuan tanpa berkedip. Tak kusangka-sangka (penbaca pasti juga tak akan percaya), itu adalah ujung terjauhku dalam mencari kebahagiaan, tak akan ada duanya, melalui upaya manapun dari yang pernah terlewat dan akan kutemui. Bukan cumbuan, adegan Picasso, pengalaman seksual terhebat manapun yang telah dan akan terjadi dalam dunia Evan ini menandingi menakjubkanya. Sebuah kebersamaan sepele yang menjelaskan pada Evan kecil sebuah cinta sejati nonsurgawi.

Namun setelah beberapa bulan jalinan kasih kami bergulir, rodanya hancur ditengah jalan dan tilas yang ditinggalkanya membentuk legokan berliku dimana air mataku mengalir. Antisipasiku atas kepergianya benar-benar buruk, kepala siputku kalah berpacu dengan gejala mencemaskan yang menghanguskan taman-taman cantik yang telah kubangun dalam mimpiku. Kesempurnaanya terlalu kupaksakan pada indraku hingga mereka sukar menolaknya, dan duka mendalam saat kehilanganya.
Kehidupan kami masa itu banyak berubah, budaya-budaya anak suburban(Ros gadis suburban yang kucinta) menyusup dan bercampur, pada tingkat akhir SMA, dulunya mereka yang menahan dirinya untuk terlibat karena kurang berpengalaman, hitam putihnya meleleh menjadi satu dan gradasinya lebur. Teman-teman urbanya memperkenalkanya dengan lampu-lampu remang kota, budaya-budaya masa lalu kolotnya yang membuatnya malu tertimbun dengan gaya sosialita yang baru dimulainya. Ketertarikanya akan segala hal didasari motivasi-motivasi yang semakin dangkal, dia menjadi periang dan menyedihkan. Tentu saja, begitu juga rantai pengait cinta kami, mulai karatan karena reaksi kimia hormone kecantikan yang begitu dibanggakanya, juga hidup baru yang diperkenalkan padanya.
Aku terbunuh dibawah tiang gantung yang talinya diikatkanya pada alasan-alasannya memutuskan hubungan kami yang kurang bisa kuterima, dia memperlihatkan padaku gambaran-gambaran buram yang mengapung diatas pembelaan-pembelaanku yang tak berpengaruh. Dalam penjelasanya yang sok pengacara, percobaan-percobaan diplomatiku dimuntahkanya dengan sinis. Setelah palunya diketuk, hidupnya berlanjut dan aku terjaga diatas kasur duriku berbulan-bulan.

Chapter 8


8
Wanita pertama yang mencium mahkotaku adalah wanita setinggi hidungku dengan rambut panjang seolah punggungnya adalah misteri. Saat pilihanku jatuh pada wanita berwajah mentari dengan senyum yang diatur (sebelum jatuh hati padaku) ini, aku mencari-cari jawaban atas pertanyaan “mengapa” untuk keingintahuan nalar rendahanku, dan bertemu dengan alasan-alasan konyol yang pada dasarnya merupakan ketidakperdulian akan alasan-alasan itu sendiri serta diskusi-diskusi tak berujung dari dalam kepalaku.
            Ros adalah wanita pinggiran dimana hari-harinya dijalani dengan ceria. Bermain dengan kucing kampung diantara pepohonan rindang pekarangan rumahnya yang luas dan meneriaki balita-balita nakal yang mengusik bunga anggrek ibunya. Ayahnya adalah seorang mantri berwibawa dan ibunya seorang guru budiman yang tempatnya mengajar berpindah-pindah. Ayahnya penggemar berat Elton John, album faforit ibunya  adalah Blue-nya Joni Mitchel, dan Rosku tergila-gila pada imutnya Paul berkat pertolonganya melalui Let It Be paska neneknya yang tinggal serumah meninggal karena gagal ginjal. Dia pernah tinggal dikaki gunung, pedesaan, dan pinggiran kota lain. Masa muda ayahnya banyak digunakan untuk pengabdianya disebuah Puskesmas Tawangmangu yang banyak melayani penyakit tipus, rematik, dan gondong. Setelah umur 36 dia menjadi perawat di rumah sakit umum di Solo, berangkat setiap pagi dari Karanganyar seraya mengantar gadisku bersekolah. Sepulang kerja, dia akan menerima pasien desanya dengan keluhan: sakit kepala, masuk angin, cacar, yang berhubungan dengan serangga, dan luka luar ringan atau mengganti perban luka serius.
Saat pertama kali aku bertemu dengan mereka, sebisa mungkin aku tak dibuatnya canggung dengan keorangtuaanya yang sok berkuasa. Rumahnya berbau medis, asap rokok kretek dan campuran parfum melati dan musk, dibeberapa saat tercium juga aroma Tancho yang kuat. Dinding dibelakang tempatku duduk menghadapi mereka, terpampang foto silsilah keluarga, termasuk foto masa kecilnya saat memakai gaun cantik dipenuhi renda, rambut bob seleher dan poninya nyaris menyentuh mata besarnya. Dia tersenyum kearah kamera dengan riang sambil memegang telephon mainan. Ayahnya menawarkan kopi dan menceritakanku burung kepodangnya yang hanya berbunyi saat senja dan makan siang. Dia bilang, meski dia bersiul hingga paru-parunya kering, ocehan burung itu terlalu mahal untuk benyanyi kepada tuanya. Ibunya menyuguhiku singkong goreng gurih dan makanan ringan pasar yang baru dibelinya beberapa jam sebelum aku tiba atas permintaan Rosku. Dari dapur aku bisa mendengar ibunya menyanyikan River, memainkan intronya yang mirip Jingle Bell, dan bagian “fly..”  keras-keras menggunakan falsetto merdunya (juga diwarisi Ros, aku mengetahuinya saat dia mendendangkan Yesterday dikelas sejarah). Mereka bertanya alamat rumahku, pekerjaan orang tuaku dan kenalanya yang tinggal di lingkunganku yang mereka harap aku kenal namun tidak. Rosa disudut meradang saat ayahnya menceritakan padaku hal-hal memalukanya: porsi makanya yang berlebihan, panggilan masa kecilnya (kepang, bukan karena rambutnya dikepang, namun kebiasaanya menirukan suara penjual kepang, rajutan bambu yang biasa digunakan orang desa untuk menjemur gabah atau jagung, “pang kepaaang…”), dan sejarah penyakit kulitnya beberapa tahun silam (tenang Ros, cintaku apa adanya).
Keanggunan dan kelemah lembutanya membuatnya terkenal diantara anak laki-laki, ditambah kulitnya yang bagus, cantik dan rambutnya indah. Dia memiliki adik perempuan yang gemar bermain dengan anak laki-laki, dia menyerupai kakak perempuanya tapi tidak lebih cantik. Pertama kali aku melihatnya, dia sedang ancang-ancang untuk permainan lompat tali di halaman rumah dan rok kumalnya diangkat hingga pinggul hingga celana dalamnya (hijau tosca) mengintip keluar.
Dibawah remang emperan karena sinar matahari terhalang pepohonan, Ros menghinaku dengan menulis puisi. Saat aku masih gagal merekayasa gaya Danarto kedalam cerpen-cerpen mengecewakanku, dia sudah ahli dalam menulis cinta-cintaan kelam, kematian, dan perpisahan (untuk ukuran anak SMA). Kemampuanya mendapat pengakuan dari guru bahasa Indonesiaku yang  semasa kuliah pernah bertemu W.S Rendra di Monas saat study tour bersama teman-temanya, dia menceritakanya pada semua siswa yang pernah diajarnya pada pertemuan bab puisi. Terbalut rasa tercemooh, aku mengingat-ingat bait kelamnya.
Dijalan yang panjang: aku merangkak, berlari, terbang, dan menari;
Jalanan kurasa asing dan aku terasing bagimu.
Matahari tenggelam dibalik punggungku, aku harus berhenti.
Diantara iring-iringan, berbincanglah kau dengan teman-temanku.
Gelap dan sunyi kan kutuju, tapi aku tak lagi asing bagimu.
            Percintaan kami tumbuh selayaknya pemuda-pemudi lain, kami saling memanggil “sayang” tapi menolak untuk dipanggil “yang”. Bercakap-cakap dengan canggung di episode awal dan menjadi sarkastik (tapi tanpa menyinggung) setelah roll pita film kami terputar lebih jauh. Diantara sambungan pita itu, titik kecil yang muncul pada sudut layar beberapa kali menggangu gambar-gambar Evan dan Ros, namun kami menyamarkanya dengan baik, kami mengalihkan titik-titik dengan adegan roman meyakinkan: membuat surat melankilos, memohon-mohon, rayu-rayuan, dan sentuhan-sentuhan lembut.
            Ros memiliki tata karma yang mengagumkan, dia tak memanfaatkan keunggulanya untuk mempermainkanku dengan trik-trik konyol untuk mendapat keuntungan apapun dariku. Satu-satunya dusta yang mungkin dia perbuat adalah menutupi kekecewaan dan kerisauanya dibawah pose wajahnya yang kucinta. Tatapan kosongnya akan berubah dari kosong menjadi senyum gila yang membuatku tak tahan untuk memujanya. Dia mendapat pendidikan yang baik dari orang tuanya: dari ayahnya; aku dilarang merokok, selalu sarapan sebelum berangkat sekolah, jangan minum teh atau kopi setelah makan, pergi cek up ke dokter sesekali; dari ibunya; jangan lupa belajar, PRnya jangan ditunda, jangan telat masuk sekolah, review materi pelajaran setelah pulang sekolah. Rosku wanita yang pintar, dia dua kali lipat lebih rajin dariku, tangan-tanganya diciptakan untuk bekerja, pakaianya selalu rapi dan rambutnya wangi seorang putri. Saat bau stroberi tertangkap oleh penciumanku, jaraknya ti dak akan lebih dari lima meter dariku.
            Dalam bentuk dan dengan balutan sarkasme apapun, dia tak pernah mendapat olok-olok, dia terlalu baik dan tak perduli jika ada yang melakukanya. Lelaki-lelaki brengsek tak akan mengganggunya karena dia terlalu anggun, teman-teman cerewetnya memperlakukanya seperti anak bungsu karena sikap pendiamnya, dan para guru berharap Rosku menjadi menantunya yang penurut. Karena kefemininanya yang brilian (tidak termasuk seleranya), dia tak banyak bergaul dengan anak laki-laki, dia selalu memakai rok dan sangat jago memadukanya dengan sepatu. Dibawah ledakan Britpop. untuk ukuran perempuan, selera music phsycadelia miliknya membuatnya terlihat lebih pintar. Setelah berbulan-bulan kematian neneknya, dia tak menyentuh satupun lagu pop, hingga akhirnya dia meleleh saat melihat Jack tenggelam diantara reruntuhan kayu-kayu Titanic. My Heart Will Go On dia nyanyikan seratus kali dalam sehari, intronya yang evergreen menghatuinya, senandung chorusnya dinyanyikan tanpa mengambil modulasi karena falsetnya pun tak akan sampai. Kesamaan antara Rose dan Rosku—selain namanya yang hampir sama—adalah pemberontakan Rose pada orangtua ningratnya, dan pelarian diri Rosku dari selera feminim yang sudah seharusnya ada dalam DNAnya.
            Diluar selera musiknya yang mengesankan, Ros mempercayai ramalan bintang, mood dan perilaku-perilaku asmaranya dipengaruhi catalog mingguan diperpustakaan. Saat guru-guru mencari berita pergolakan politik dan teman-temanku memperbaharui berita bola dan otomotif, Rosku berbagi dengan zodiac, dia selalu menemukan cara yang cerdik untuk membuat dirinya sesuai dengan opini-opini Mr. Crap—maksudku Crab (cancer). Sesekali dia akan melihat zodiaku, lalu menyuruhku banyak makan buah dan meditasi karena menurut catalog bodohnya ronaku kurang bersinar karena suatu tekanan. Hobi konyolnya tak sia-sia, ketika dia memasuki kuliah, dia bekerja di catalog kampus menulis ramalan bintang dan kolom hiburan (review film, album, dan ­teenlit).
            Sekolahku diiringi gemericik dedaunan, kantin-kantin mengaur bau bumbu-bumbu yang ditumis dan kuah soto. Jutaan debu berterbangan diudara saat pagi hari karena jadwal piket mingguan mengharuskan kami menyapu ruang kelas pagi hari. Aku dan Ros berada dalam regu piket yang sama, kari kamis (aku lupa memberitahu, aku dan Ros satu kelas). Rosku yang rajin tiba dikelas 2400 detik sebelum bel masuk, melepaskan jaket merah polkadotnya yang pasaran (ada 3 sisiwi lain disekolah yang memakainya), melesak kesudut kelas dimana sapu-sapu yang sudah tak layak pakai teronggok lalu menyapu sela-sela deretan bangku sembari mengangkat bajunya untuk menutupi hidung kecil berbulu lembutnya dari debu. Seperti debu, aku melayang-layang disana menikmati pekerjaan Ros, menempel pada Ros seharian, dan terbawa setiap hembus nafas Ros. Harus kuakui, Ros lebih unggul dari tukang sapu manapun, sepertinya dia terlahir untuk menyapu ruang kelas.
            Satu-satunya privasi yang bisa kami dapatkan adalah sepetak ruang kelas berbau keringat khas anak sekolahan berbaur dengan debu dan serbuk kapur tulis. Bel pulang sekolah akan menyisihkan sepasang sejoli, duduk di deretan bangku lalu merajut tirai keintiman didalam kelas. Percakapan kami terdengar lebih intens, romantic dan manja. Jika beruntung, pintu ruangan akan tertutup dengan cara tak terduga dan memberikan kami kebebasan untuk menjalin asmara muda yang menggebu-gebu. Guru-guru tak mendukung apa yang dinamakan pacaran. Dalam kamus mereka, pacaran adalah hal menghawatirkan yang mereka gambarkan terlalu liar (meski sebagian besar mereka benar).
Namun, kejadian tragis tak terduga meruntuhkan bilik privasiku dengan Ros. Teman kami, Anita, seorang gadis polos mengandung anak orang. Beritanya menyebar disekolah seperti gulma. Isu-isu pacaran yang terlalu panas akan membuat pengawasan diperketat: pintu-pintu kelas digembok setelah semua siswa pulang, pengawasan ekstrakulikuler diperketat, dan ceramah-ceramah menakutkan tentang pergaulan muda dari guru-guru. Nama gadis murahan  melekat selamanya pada temanku, cemoohan tak hentinya bergulir selama berbulan-bulan, temanku yang sering bergaul dengannya turut merasakan imbasnya, dijejali petanyaan-pertanyaan kejam dan gossip murahan yang hanya menyisakan sedikit sekali simpati.
Kecuali Ros, lantaran jiwa ibunya, dia tatap berhubungan denganya. Satu-satunya orang hidup yang diajak Nita bicara adalah Ros, itupun harus tanpa ada yang tau, Nita tak ingin menghancurkan Ros karena telah berbicara denganya—yang sebenarnya Ros tak perduli kecuali untuk menghindari kesan sok pahlawan. Begitulah Ros, hatinya seperti warna putih.