No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Senin, 11 April 2016

Chapter 12

12
            Setelah dua bulan Ros membiarkanku meratap, secara tak sengaja kami bertemu. Aku yang sama terkejutnya dengan Ros bertemu disebuah ruang tunggu rumahsakit dimana ayah Ros bekerja. Suatu pagi, Ibuku dilanda panik setelah dia menemukan benjolan sebesar kacang polong dibelakang telinganya yang sudah beberapa hari tidak hilang, “Apa aku kena tumor? ayo kita cek kerumah sakit” katanya dan menggemparkan seisi rumah. Kami memeriksanya di rumah sakit, namun setelah diperiksa oleh dokter, baru beberapa pertanyaan ibuku diberi beberapa obat dan diminta pulang dan diminta sering – sering membersihkan telinga, ibuku protes dan sang dokter bilang, “itu akan hilang sendiri, bersihkan saja telinganya secara rutin dan minum obatnya”, ibuku malu bukan main. Ketika aku akan duduk diruang tunggu, disana ada kepala Ros, rambut yang sama milik Ros, ketika dia menoleh, itu adalah hidung mungil Ros, mata yang terlihat lebih besar itu adalah mata ramah Ros. Aku menghampirinya dan dia menyapaku dengan senyum yang ditahan. Itu adalah kecanggungan sejati, aku terpana melihatnya, senang dan kesal malandaku, keluh kesahku yang sebelumnya kupersiapkan sebelum pergi ke rumah Ros muncul dalam kepalaku, namun narasinya berantakan. Ternyata, rasa canggung mencegahku untuk mengatakanya, Ros juga sedang terlalu cantik untuk dihujani keluh kesah.
Aku bisa salah dan bisa benar, mungkin ini adegan dimana Lili menerima kembali Tomi sebagai kekasihnya. Pengharum ruangan mencoba mengusir bau medis, seorang suster menatap kami berdua layaknya dia pikir kami sedang membicarakannya sembari lewat dari kejauhan, dan Ros melempar senyum pasi padanya. Jika kalian seorang pasangan, mata dunia akan tertuju padamu, jika kelak aku mati dikubur disamping Ros, hantu seisi makam akan menatap kami berdua. Ya ampun! Tolong beri ruang untuk privasi sepasang kekasih.
Aku salah, Ros menanyakan hal – hal sepele sebagai perintang waktu, seperti dia bertanya kenapa aku dirumah sakit dan rencanaku setelah lulus  SMA. Aku belum tahu, kemana aku akan pergi kuliah setelah lulus SMA, jurusan apa yang aku ambil, masih gelap. Sementara itu, Ros dengan percaya diri ingin kuliah di bidang politik. Ya, Ros kadang unik, dia yang hanya gemar membaca ramalan zodiak kini ingin mempelajari politik. Mungkin aku salah sangka, dibalik topeng zodiaknya, dibawah tumpukan majalah remaja Ros, ada buku – buku tebal yang hanya orang botak yang membacanya (jangan Ros, nanti kau botak). Mungkin Ros mengabaikanku berbulan – bulan karena dia sedang menyelesaikan enam volume buku Perang dunia II Churchill atau Marx (percaya atau tidak, pada abad 21 Marx adalah bacaan wajib para hipster sejati). Sebenarnya bukan kali ini saja Ros mengejutkanku, sebelumnya Ros kudapati memiliki poster Muhammad Ali besar sekali dikamarnya (berdasarkan hasil celingukanku dirumahnya), Ros juga pernah mengaku terobsesi pada pisau dan benda yang menyerupainya (Ros, kau ... mungkinkah ...). Saat aku bertanya alasanya ingin kuliah politik dengan santainya dia menjawab, “Entahlah, hanya saja itu sepertinya menarik” dan ketika aku menjawab belum tau tentang apa yang akan kulakukan setelah lulus, dia tidak perduli.
Setelah percakapan itu dan percakapan kecil lainya, ibuku muncul. Dia bertanya apakah Ros temanku dan sebagainya, ibuku memandangnya layaknya Ros adalah adik kecil yang mungil dan memujinya didepanku “cantik sekali mbak, mirip Nana Wardoyo” (Entahlah, mungkin dia aktris atau penyanyi dangdut, oh seandainya Ibu tahu, dia kekasihku yang kucinta) dan Ros hanya senyam senyum seperti bocah. Setelah itu kami berpamitan, itu adalah perpisahan yang membuatku sedih, hatiku menangis, dan Ros, diujung genggaman tanganku menghela nafas, aku seperti diculik alien atau semacamnya, aku tak tau kapan lagi akan bertemu Ros karena ketika itu sekolah telah berakhir.
Aku dan para pembaca yang baik kecewa karena tidak terjadi apa – apa dalam pertemuan itu, dan aku yakin Ros menyoraki dirinya sendiri lantaran selamat dari ratapan depresi seorang kekasih. Dalam lamunanku yang sunyi aku merenungi pertemuan singkat kami, aku mencoba menyocokan wujud Ros saat itu dan saat terakhir kami bertemu sebelumnya, Ros masih sama, namun auranya berbeda. Ros seperti tiga tahun lebih tua dari Ros yang kukenal (masih berdasarkan aura), itu adalah aura dimana Lo yang bersuami bertemu dengan H H terakhir kalinya, aura dimana Nick Carraway merasa jijik akan New York. Jika kutarik benang merah, baik Lo, Nick, maupun Rosku, auranya berubah lantaran badai perasaan telah terjadi dalam hati yang dianutnya selama ini dan mengubah keputusan mereka untuk selamanya.
Aku terpuruk lagi, langit biru di musim penghujan tak mampu membuat hariku bersinar, aku terus saja dihantui oleh Ros, kenangan menyiksaku saat aku mencoba berangan – angan. Aku bermimpi memiliki kekasih seorang selebriti dan kemudian, oh tidak, dia lebih menggoda daripada Ros tapi dia pasti lebih bejat. Ada lagi seorang gadis super jenius, dan oh tidak, aku akan hidup dengan rasa malu dan merasa tak berdaya selamanya, tak seperti saat dengan Ros. Kenangan Ros menghancurkan segalanya, keriangan semu yang selalu coba kubangun hancur olehnya. Dilain waktu, dan lebih biru, aku membayangkan diriku terkena kanker (seperti dalam cerita chiclit, bagi seorang depresi rendahan, kanker dengan sentuhan bumbu melankolia akan menjadi penyakit yang keren), lalu Ros mengetahuinya tanpa sengaja dan drama dimulai, bahkan aku membayangkan ayah atau ibuku meninggal, dan Ros yang turut berduka memeluku sambil berurai air mata berbisik, “tidak apa – apa aku ada untukmu” (oh bukankah itu membahagiakan sekali?). Ros, jangan kau tanggapi orang gila ini, dan untuk pembaca, kuharap memoar ini dibaca setelah Evan yang abnormal mati (kuharap karena kanker).
Beberapa waktu telah berlalu setelah pertemuanku dengan Ros, aku sudah mulai menerimanya, Ros lenyap dari rengkuhanku, seperti Lis yang lenyap dari dunia, tak ada gunanya, cintaku terlalu menggebu dan Ros sekarat. Selamat tinggal Ros— bukan— selamat tinggal Pan, aku akan melanjutkan hidupku, kuharap begitu juga denganmu, jangan bermuram durja, segeralah bangkit dan raih cita – citamu kalau kau memang punya, atau setidaknya hiduplah dengan baik, makan tiga kali sehari, jangan begadang, jangan merokok, itu tidak sehat, dan belajarlah dengan rajin di bangku kuliah, kencanilah seorang gadis, tidak perlu muluk – muluk asal dia seorang penyayang, dan sayangilah dia dan keluargamu, bye.
Tidak, jangan, tunggu Ros! Lihatlah ini betapa Evan mancintaimu, aku pernah sekali mencoba melukismu, itu adalah salah satu foto 4x6 yang kau berikan padakau pada bulan ke empat kita pacaran, aku pelukis yang payah tapi aku melukisnya dengan teliti, aku membuat skala, jika bibirmu selebar 5 mm, lukisan bibirmu selebar 1,5 cm, dan seterusnya, aku menghabiskan satu minggu untuk membuat kedua matamu nampak serupa, aku dibuat gila menggambar bagian rahang, luas wajahmu, dan bentuk kepala, aku belum menujukannya padamu karena aku malu, lukisan itu adalah bencana. Aku menyimpan semua karcis nonton kita. Aku membuat lima puluh lebih puisi tentangmu, tapi tentu saja itu hanya kusimpan untuku karena kau lebih baik dalam menulis puisi, ya, maafkan aku karena terlalu berkompetisi. Ini lihat, aku juga menulis ulang semua puisimu dalam buku khusus yang cantik. Aku menulis surat untukmu dalam resahku, tak akan kubacakan karena menyedihkan. Ini juga, aku menabung untuk membeli sepatu kulit mahal untukmu, tiga minggu lagi tabunganku akan cukup. Aku menulis semua daftar lagu yang pernah kau dengankan Ros. Oh Ros, aku punya keju banyak sekali, aku membelinya karena dulu katanya kau ingin membuat pasta yang lezat.
          Sudahlah lupakan, aku mengerti, aku akan mencoba melepaskanmu. oh Ros, ya ampun.

0 critic:

Posting Komentar