No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Senin, 25 April 2016

Chapter 13



13
            “Buatlah Perabotanmu Sendiri” sebuah judul buku menjadi awal kebangkitanku. Di hari yang biasa – biasa saja aku menggerayangi tumpukan kertas – kertas undangan pernikahan di meja ruang keluarga, Dewi&Agus, W&V, P&S, Margono&Sulastri, hampir semuanya masih dalam keadaan terbungkus karena orang tuaku hanya perlu melihat nama, tempat dan tanggal yang sudah ada di muka undangan. Aku membuka salah satunya, tulisanya menguap dan kuganti dengan: Kami nikahkan putra putri kami, Rosa Nurfadila binti Ramli dan Evan Hanafi bin Himawan, bertempat di kediaman Pak Ramli dan Ibu Endang, resepsi Ahad Pahing 23 November 2006. Namun nyatanya takdir berkata lain, Rosa telah mencampakan Evan. Dibawah undangan – undangan sebuah buku panduan membuat perkakas rumah tangga dari kayu memamerkan diri “manfaatkan bahan yang ada, artistik, beragam, sederhana, dan mudah, seorang wanita pun akan dapat melakukanya”. Aku melihat gambar – gambar bermacam lemari, rak dinding dan rak – rak lain, meja ruang tamu berbentuk kotak, meja ruang tamu berbentuk lingkaran dan bentuk – bentuk unik lain, pot bunga indoor aneh, macam – macam hiasan, tempat lampu, dan puluham macam gambar dan panduan manual lain.
            Jari-jariku yang dengan bosan melipat halaman demi halaman terhenti pada gambar rak dinding berbentuk grafik kardiograf, diatasnya empat atau lima buku tertata. Inilah saatnya Evan menjadi brilian sebagai tukang kayu, aku teringat meja tidur bekas Lis yang teronggok digudang, aku akan membongkarnya. Aku akan memiliki rak buku kardiograf dalam kamarku, layaknya grafik cintaku pada Ros yang tak pernah berhenti berdetak, pikirku (mulai alay ya?).
            Aku membutuhkan waktu tiga hari sebelum bisa membongkar meja tidur Lis, aku sedang dalam perjalanan menjadi seorang tukang kayu mutakhir, otot-otot lenganku membesar, telapak tanganku mengeras, kulitku menghitam, menjadi terbiasa dengan debu, dan kabel-kabel venaku yang sebelumnya hanya nampak hijau, mulai timbul kepermukaan, dan hebatnya kesibukan keras ini mengenyahkan Ros dari dalam kepalaku. Suara kayu yang patah karena aku membongkarnya secara paksa membuat suara-suara tertentu Ros tak terdengar, butir debu serbuk kayu menyerap wewangian Ros. Dentangan palu meyakinkanku bahwa aku berhenti meratapi Ros.
            Ayahku cekikikan melihat caraku menggorok kayu-kayu. “membuat rak?” katanya, “kau ingat yang kau lakukan pada sikring yang rusak minggu lalu?” (aku membuatnya meledak). Meski begitu dia mendukungku secara penuh, dia gembira melihatku bermanfaat, membelikanku paku-paku mengkilap, memberitahuku dimana dia menyimpan alat-alat tukang, dan sebagainya. Aku merentangkan halaman buku, gambar rak itu memandangku seolah mengolok-olok, aku memotong balok-balok kayu menjadi berukuran tertentu, mereplika dan merangkainya menjadi grafik kardiograf dan bersiap merekatkan mereka dengan paku. Aku menyingkirkan beberapa paku cacat, ujungnya seperti tertempel upil metalik atau semacamnya, tak bisa digunakan memaku. Karena amatir aku mengutuk perbuatanku sendiri, “tangan sialan! kenapa jariku kau pukul” dan aku melakukanya lagi, “paku sialan!”. Lagi-lagi karena amatir, hentakan paku-pakuku membuat beberapa balok kayu retak, seperti retakan pada bibir Ros yang pernah kucumbu, oh, suara desiran itu, ombak tepian menyapu pasir pantai yang kering kerontang, bergerak lunglai dan menghanyutkan pasir kedalam lautan yang bergairah.
            Aku sukses membuat rak buku kardiograf, aku menaruhnya di tempat tertentu dan memandangnya dari kejahuan, seperti saat Picasso baru saja menyelesaikan Le Reve-nya yang cabul itu. Burung-burung yang tadinya terusik karena dentangan palu bertengger dipepohonan, ikut menikmati karya kayu pertamaku, debu mulai mengendap karena hari sudah sore, angin beristirahat diawan dan matahari mulai ditenggelamkan oleh rotasi. Aku berbaring disamping rumah mendengarkan radio, mereka memutar Iwan Fals, sembari mendengarkan kritiknya, awan dan langit yang terbakar menyilaukan mataku, aku terpejam dan bisa melihat merah darah didalam kelopak mataku, aku tidak mengingat Ros, Lis atau siapapun, hanya berbaring disana dan membuat pinggangku senyaman mungkin. Diujung Radio lain: seorang pria paruh baya ikut bernyanyi sambil menggebuk bantalnya diluar jendela; seorang kakek-kakek sedang mencoba membunuh seorang ratu dengan kudanya, lawan mainya menggaruk-garuk kepala; seorang ibu resah menunggu anaknya pulang bermain. Aku lupa judul lagunya, membuat seakan-akan kami menderita sekali dan penguasa bejat sekali. Itu adalah jam dimana para pekerja pabrik selesai bekerja, jalanan semping rumahku dipenuhi para karyawan lelaki menggoda gadis-gadis centil sepulang bekerja, “kujemput sehabis isya ya, dipertigaan” kata seorang lelaki. “jangan disitu banyak bapak-bapak, dijembatan saja disana sepi” jawab seorang gadis pendek dengan pantat semangkanya. “kalian enak sekali tidak ada sif”, yang lain tidak terima. Tak lama kemudian malam tiba, aku bisa melihat lampu diperempatan jalan dikerumuni asap rokok bercampur asap tungku yang keluar dari warung hik dibawahnya, aku tidur lebih awal dari biasanya malam itu.
            Pagi harinya ibuku protes, “buatkan ibu lemari, untuk P3K, yang menempel didinding seperti milik bu Har, aku pernah melihatnya, bagus sekali” katanya. Aku membuatnya, aku mereplika lemari tempel berbentuk rumah. Lebih sulit dari yang kukira, bentuknya tidak karuan, tapi seorang balita masih bisa mengenali bahwa itu berbentuk rumah. “Meja kecil juga ya” pinta ibuku. Karena aku paranoid, aku menempatkan paku tiga kali lebih banyak dari yang dianjurkan dalam buku: Meja cap Evan, bentuknya tidak karuan, tapi tidak separah itu, untuk menaruh gelas tidak tumpah, juga kokoh, tahan gempa dan tak hancur jika dijatuhi meteor.
            Sudah sebulan aku menukang, aku menghasilkan dua rak, satu lemari, dan dua meja, kecil dan agak besar, nyaris tanpa Ros, tolong garis bawahi, nyaris tanpa Ros, bukankah itu hebat? Beberapa hari setelah aku cuci tangan dari dunia pertukangan aku mencoba untuk meratapi Ros namun gagal. Tak kusangka aku bisa merindu tanpa harus bersedih, apakah aku berhenti mencintai Ros? Tentu tidak, aku rela menukar semua hasil menukangku agar Ros kembali ke pelukanku, aku bahkan nyaris sepakat untuk memilih Ros daripada Lis, yang tak kalah gila aku bertanya-tanya apakah ada dukun paling ampuh sedunia yang dapat membuat Ros jatuh hati padaku lagi. Tapi Evan kecil, delapan belas tahun, telah mengerti bahwa seorang pecinta—dalam kasusku Ros—dapat berhenti mencintai dan pasangan yang baik harus merelakanya.

0 critic:

Posting Komentar