No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Rabu, 09 Maret 2016

Chapter 11

11
            Aku akan menegaskan lagi cintaku pada Rosku, supaya dimengerti bagaimana duka yang membelitku saat dia menjauh begitu menyakitkan. Aku mencintainya—dibalik kepungan  kabut setebal apapun aku tak membencinya dalam suatu hal (termasuk ketika hati kami mulai berjarak)— dari yang terlihat maupun tak terlihat, aku mencintainya, saat cuaca sedang buruk maupun matahari bersinar terang, aku mencintainya. Iya aku melankolis, mari jadi satir lagi. Seperti pasangan lain aku selalu mempertanyakanya: apakah dia bersungguh sungguh padaku? Apakah aku akan masuk lebih dalam, menyerahkan diriku sepenuhnya? Menjalin keintiman yang lebih lanjut? Bagaimana dia akan bereaksi? Bagamana sosok yang diinginkanya, apa aku harus menyesuiakan atau tetap seperti ini? Kenyataanya, Ros bukan wanita seperti itu, dia menerimaku seperti dia memeluk kucing-kucing kampung kudisan. Aku hanya perlu menunjukan diriku dengan kulit terkelupas, menyerahkan hatiku dan menjulurkan tanganku untuk menuntunya dijalan-jalan yang akan kami tempuh kelak, menjajarinya bahu ke bahu setiap saat dan tak banyak bicara hal yang tak perlu. Lelaki mana yang akan menelantarkanya? Bukan aku tentu saja. Dimanapun Ros berada, kuharap suatu saat dia membaca curahan hatiku melalui memoirku, yang sejujurnya dan tak berujung.
Saat ini Ros sedang mengingatku, kepalanya tergeletak dimeja, tanganya memegang pena terlentang menggapai lamunanya, dan matanya, mata seseorang yang sedang mengagumi teluk dari atas perahu dayung. Didalam ingatannya, sebelum kami menjadi pasangan aku meminjaminya payung karena dia kerap terhadang oleh hujan sepulang sekolah, dengan teledornya dia tidak pernah membawanya sendiri (dia tak bermaksud memberikanku kode). Kemudian ingatanya akan beralih ketika dimana aku memakinya karena dia sangat sulit kutemui. Dia melempar penanya dan pergi keluar kamar untuk membuat teh atau mengambil cemilan, dia melupakanku lagi. Begitulah diriku kiranya, hanya muncul sesekali, tak begitu berarti, bahkan mungkin dibenci.
            Sementara itu, aku sendiri seperti pecinta sejati lainya, kurator menyedihkan yang tak henti-hentinya mengagumi masa lalu dan berharap sejarah hidup dimasa kini. Sejarah Ros tak bisa dibengkokan oleh kejadian serupa dimasa sesudahnya. Wanita-wanita lain yang berpotensi kutaksir untuk melarikan diri dari Ros tak mendekati Ros sedikitpun, Ros aman tak tersentuh, Ros adalah Ros dan wanita-wanita lain adalah wanita-wanita lain. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu aku menggerutu pada diriku sendiri, kenapa wanita ini tidak secantik Ros, kenapa ayunan rambutnya tidak seperti Ros, kenapa dia bicaranya keras sekali, kenapa tahi lalatnya ada di bawah bibir, bukan dileher seperti Ros, kenapa Ros sempurna sekali. Tunggu, pasti ada yang cacat dari Ros, pasti akan kutemukan, tapi apa kira-kira, tak ada, oh Ros yang anggun. Ya, ada kegilaan kambuhan seperti itu kala aku sangat merindukannya. Sudah lima minggu Ros mengabaikanku, kegilaan-kegilaan itu mulai menjadi kebiasaan, aku menghibur diriku dengan cerpen, tenlit dan lagu-lagu untuk meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri. Aku dihibur Carver, meski Ed hampir psikopat, setidaknya Terri masih menganggap perbuatan bengisnya adalah bentuk cinta (apa kau setuju dengan Terri Ros? semoga iya). Kemudian ada Lili yang masih mau menerima kembali Tomi setelah berselingkuh dengan sepupunya, Amanda (dalam karya Giska, pujian disampul bukunya “kisah anak muda yang menghibur, memecah imajinasi sekaligus menyayat hati” oleh majalah terkenal Luv). Oh Lili yang bodoh, Lili yang malang sekali. Lebih parah lagi, dengan sebegitu melankolisnya, Go Go Dolls membuatku merasa seperti seorang pahlawan dan saat sedang percaya diri, aku merambah Nirvana “...no I don’t have a gun, no I don’t have a gun..”.
            Didalam sebuah kesempatan, aku pergi ke rumah Ros. Kunjungan itu bukan tanpa kupikir panjang terlebih dahulu, aku dibuat kalut karena dituntut untuk membuat pidato sebaik dan semeyakinkan mungkin, bukan hanya kepada Ros, tapi juga kedua orang tuanya yang mungkin tak tahu menahu bahwa anaknya sedang menelantarkanku. Putusan telah dibuat, aku pergi menemuinya dan mencoba mengambil simpati Ros dengan bermuram durja.
            Aku tiba disana tengah hari, matahari membakar wajah halaman rumah Ros, rerumputannya menguning dan dedaunan berguguran, hanya anggrek ibunya yang terllihat masih selamat dari kemarau. Aku disambut oleh kucing kampung Ros, terdengar namun tak terlihat, aku celingukan namun tak menemukannya, hanya suaranya nyaring. Semua pintu tertutup, aku mengetuknya namun tak ada yang keluar. Aku melihat melalui jendela dan didalamnya terlihat senyap. Ayah dan ibunya mungkin sedang ada acara, adiknya mungkin sedang bermain layang-layang karena anginnya sedang bagus, tapi Ros, apa yang dilakukannya diluar pada hari libur? Dia bukan seorang yang datang bermain kesana-sini dengan mudah, dia tak terlalu tahan dengan hal semacam itu. Apa dia menemui seseorang? Aku mulai gila lagi, aku resah bukan main. Aku berdiri didepan pintu rumahnya seraya memikirkan tindakanku selanjutnya. Angin kemarau menggerak-gerakan dedaunan dihalaman rumah Ros, kadang membuat miniatur tornado disana dan disini, hal ini sedikit membuatku lebih tenang.
Tidak lama kemudian, aku beranjak dari beranda sambil mengernyitkan mata karena debu. Suara kucing Ros masih terdengar, aku mencarinya dan akhirnya kutemukan dia berada diatas atap, sedang resah sepertiku. Aku menyeret kursi dari beranda dan mencoba untuk menurunkannya, tapi tanganku tidak sampai dan suaranya semakin menggila. Aku menambahkan meja dibawah kursi untuk bisa meraihnya. Namun dengan sombongnya kucing kampung ini menolak pertolonganku, sesaat sebelum aku dapat meraihnya, dia mengacuhkanku dan nekat melompat. Sebelum aku berhasil turun, dia sudah enyah dari hadapanku, baik Ros maupun kucingnya enggan meraih tanganku pikirku, aku semakin gila saja. Saat aku turun, tetangga Ros melihatku dengan curiga, aku melempar senyum padanya dan berkata dengan sedikit berteriak, “saya temannya Rosa”. “Mereka sedang tidak ada dirumah sepertinya, kucing tadi milikku, sudah sejak pagi ada disana, terimakasih”, dia menjawab. Karena dia bilang seperti itu,  aku tak akan bilang padanya kalau kucing tadi turun dengan sendirinya, gagal merebut hati Ros kembali, setidaknya aku mendapat hati tetangganya, dia: paruh baya, wanita, gemuk, dan mungkin beranak lima karena menikah umur sembilan belas tahun. Dia menawarkan padaku jika mungkin aku ingin menitipkan beberapa kata tapi aku tidak memerlukannya, lalu dia masuk kedalam rumahnya. Beberapa saat kemudian, kucing Ros yang sesungguhnya muncul, warnanya coklat dan tambun seperti babi, melenggak-lenggok bak ratu kemudian berbaring dihalaman. Setelah sedikit perkenalanku dengan kucing Ros (kalau aku tidak salah ingat, namanya menyerupai nama kapal, Peni, Pelni atau semancamnya), aku pergi dari rumah Ros.
Sesampaiku dirumah dan lebih tenang, aku bersyukur Ros tak ada dirumah, setelah kupikir-pikir usahaku dengan bermuram durja untuk mengambil simpati Ros bodoh sekali. Dibalik mantel beludrunya, Ros adalah wanita yang tegas, pendiriannya terbungkus dibalik batu, tak akan goyah dengan derai air mata seperti yang baru saja kuusahakan.

Aku tahu, pembaca yang baik mulai membenci Ros karena dia terlalu sempurna. Tapi biar kukatakan, bukankah seperti itulah sewajarnya? Semua itu terjadi karena aku mencintai Ros, cinta yang gila-gilaan dan tak berujung, jadi mengertilah