No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Minggu, 27 Oktober 2013

Not Women I Fall Continually


Not Women I Fall Continually

May them stole my eyes, desire, attention, time, daydream.
But none of them stole my brave, truth, honest, my deepest enquire.
None of them but my woman, the woman I love, the woman seen the truth of mine.

Like them fall to me, like them fall to men, but not my waman alike.
Like I said to them, like I looked at them, but not my woman alike.
Like I treated them, like I thouched them, but not my woman alike.
Not kind of short term joy, not kind a glimpse, it’s a gaze for the rest of life                                  
She fall like star, fall once, once for entire time.
She fall burned, she’s through the wind, rain, strom, through the air I breathe in.

She desire me, she desire my heart, my soul, my body, my mind, the whole lot remain in me.
I desire her, like I desire water, like I desire air, like a wildest creature, as the same as her.
She waited for me as she waited her death, as the same as me.
Through the birth, through the history, through the blindness, none of this poem could define our love.

O yes, I think of her as I wrote this poem, it just a matter of time she came to my life:
like a twilight, born child, rainbow, vision, dream, wave, idea, tickle, disease.
Unashamed, pure, and wild.
She’s my woman, the woman I love: danced by the wind, murmured by the grass, chanted by birds; the air I inhale, the land I stand, the sun touching my skin.

May the Lord be the witness of my poem: let my word forever unchanged,
as my faith forever untouched, like my soul forever unharmed.
Let her out in the rain, let her barefoot in  winter, let her fall in the spring, let her spring in autumn, let her inside the house in summer, I’ll close my eyes like I’ve been blind.

Belenggu


Belenggu

            Ini adalah minggu malam, dan peristiwa paling sering muncul dalam kepalaku sepanjang hari minggu ini adalah penghujung sore saat rerumputan dan dedaunan menguning dengan iring-iringan bunyi serangga musim panas, ketika aku membuka pintu rumah dan seekor burung pipit  yang mungkin sudah seharian terperangkap didalam rumahku (bagaimana dia bisa masuk kedalam rumah adalah misteri) mengagetkanku dan menerobos keluar seiring aku menginjakan kakiku kedalam rumah yang lantainya lebih tinggi lima juta centimeter daripada lantai di emperan rumah (membuatku beberapa kali tersandung dan mengutuknya dengan kata-kata paling biadab).
            Aku memutar alarm jamku sebelum tidur: jarum panjang menunjuk angka duabelas, dan jarum pendek menunjuk angka enam. Dengan begitu aku masih memiliki waktu satu setengah jam sebelum masuk kerja, aku akan menggunakan waktu paling berharga dalam hidupku itu untuk: berbaring di tempat tidur, pergi menggosok gigi dan mencuci muka sembari minum kopi pagi, dan jika beruntung sedang bersemangat aku akan benar-benar mandi dan dengan sengaja mengambil resiko sedikit telat masuk kantor (mereka tak akan menggantungku). Alarm jamku mempunyai bunyi paling nyaring dari bunyi apapun didunia yang mempunyai jangkauan semilyar kilometer, dia nyaris tak pernah gagal membangunkanku. Aku meletakanya lima ratus kilometer dari tempat tidurku sehingga aku harus benar-benar bangun dari tempat tidur jika ingin membuatnya binasa sebelum kepalaku meledak berkeping-keping. Aku bahkan membuat jamku lima belas menit lebih cepat untuk menipuku, mencegahku dari penundaan-penundaan yang hampir bisa dipastikan kulakukan, namun sepertinya itu adalah usaha paling sia-sia yang pernah kulakukan sepanjang hidupku.
            Pagi hari tiba dan dia membangunkanku, lebih kejam dan tak kenal ampun daripada iblis manapun yang bisa dilahirkan neraka.Aku merangkak sekonyong-konyong untuk membunuhnya.Kemudian aku berbanring kembali ke tempat tidur dan memikirkan banyak hal. Dalam keadaan  setengah tidur, aku membayangkan hal-hal menyenangkan dengan harapan bisa melanjutkanya menjadi sebuah rentetan mimpi dalam tidur seakan aku bisa mengambil alih penciptaanya dan mengotak-atiknya sesuka hatiku. Aku membayangkan: berenang dibawah air terjun yang tak berbahaya, rumah yang nyaman dengan tetangga yang menyenangkan, wanita, keluarga yang bahagia,  berpergian ke paris, hal-hal menggairahkan dan seterusnya. Aku bisa mebayangkan satu jam berenang, tiga jam bersama wanita, dan berpergian ke paris berhari-hari, dan saat aku menengok kearah jam, jarumnya hanya bertambah lima menit. Mungkin itu adalah satu-satunya masa dalam hidupku aku dapat mengakali waktu. Nyatanya, jika melihat dalam buku-buku study mimpi atau jurnal-jurnal semacamnya yang ditulis oleh Dr. blah blah atau Prof. blah blah, akan ditemukan bahwa waktu dalam mimpi berjalan lebih lamban daripada di dunia nyata. Bahkan diantara dari mereka akan menjelaskan dengan tegas dan penuh percaya diri bahwa satu jam dalam mimpi adalah lima menit dalam dunia nyata.
            Kemudian, ingatan tentang burung itu datang lagi dan memancing otaku untuk mencari tau apakah ada celah dirumahku untuk dia bisa masuk, namun aku tak menemukanya. Kemudian ingatan itu hilang, pencarianku berhenti dan berganti dengan pikiran-pikiran lain.
            Waktu menunjukan pukul enam tigapuluh, dan biasanya aku sudah harus bangun dan bersiap untuk berangkat kerja.Tapi aku memutuskan untuk berbaring sedikit lebih lama, dan kupikir itu tak akan membuatku terlambat. Aku akan menggosok gigi lebih cepat, mencuci muka lebih cepat dan seterusnya dengan lebih cepat dari biasanya. Pukul tujuh lewat sepuluh menit dan aku masih tak ingin bangun.Lalu aku memperhitungkan sesuatu tentang pekerjaanku dikantor dan kupikir tak masalah jika aku membolos kerja.
            Kupikir aku akan tidur lagi hingga pukul Sembilan lalu bangun untuk membuat kopi untuk menemaniku membaca buku kumpulan cerpen yang ditulis oleh penuli-penulis yang tak kukenal yang beberapa hari yang lalu kubeli dari penjaga toko buku wanita yang mempunyai kuciran rambut menggelikan. Buku itu kira-kira setebal ibu jariku, dan mungkin berisi seratus tigapuluhan halaman, aku akan membaca limapuluh halaman pertama kemudian aku akan membuat sesuatu untuk dimakan lalu menyelesaikannya setelah perutku kenyang. Sebenarnya aku sudah membaca dua dari banyak cerpen sebelum aku memutusnkan untuk membacanya lain kali. Cerpen pertama tentang seorang lurah yang salah mengenali tamu pentingnya dalam sebuah acara yang dihadiri banyak orang dan dibawakan dengan gaya jenaka yang datar dan kurang menarik. Yang kedua tentang seorang gadis kecil yang mempunyai gaya bicara  penuh simbol dan mempunyai kebiasaan-kebiasaan ganjil, kemudian di akhir cerita sang narrator menjelaskan bahwa sang gadis kecil bukanlah manusia. Aku telah salah mengenali gadis kecil itu sepanjang cerita, seperti pak lurah.
            Puluhan kali aku mencoba untuk tidur namun tak berhasil, aku masih terbangun dan sesekali hampir tertidur dan tersadar dalam sekejap. Lalu aku berpikir tentang pekerjaanku dikantor, mungkin atasanku (perut sapi, dagu kodok) akan membebankan tugasku pada salah satu rekan kerjaku—Toni dikantor sebagai pekerjaan lembur, dan  dia akan diberikan gaji lembur hari itu juga. Kukira uang itu akan cukup menutupi pengeluaranya minggu lalu yang berlebihan. Dia mengeluarkan banyak uang untuk mendekati seorang wanita pramugari yang sedang libur atau semacamnya dengan hal-hal mewah untuk membuatnya terkesan. Aku sempat melihat wanita itu sekali, wanita cantik dengan tubuh ramping setinggi sekitar seratus delapanpuluh centimeter dan enam juta kilometer jauhnya dari pelukannya, wanita itu diluar jangkauan Toni, dia bahkan tak lebih tinggi dari wanita itu. Namun jika wanita itu tak memperdulikan hal-hal semacam itu dia akan tau betapa bodohnya temanku yang membuatnya terkesan dengan hal-hal mewah sementara dia tau bahwa temanku hanya seorang karyawan kantor.
            Aku mengingat tentang seorang wanita dikantor, aku sedikit menyesal tak akan melihatnya hari ini. Dia adalah wanita paling cantik yang tidak berungtung karena terjebak dalam kantormembosankan sementara dia mungkin bisa menjadi seorang penyanyi (aku belum pernah mendengar suaranya bernyanyi), model, aktris, atau pramugari sehingga dapat dipuja banyak lelaki berkelas. Namun sepanjang dia seorang karyawan sepertiku, dia tak akan mendapat banyak keberuntungan seperti yang didapat dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Dia adalah wanita cerdas namun tempat kami bekerja tak terlalu terkenal—tak akan membawa karirnya kemana-mana kecuali dia keluar dari sana. Dia adalah wanita anggun dan berbicara dengan sopan, dia memiliki garis-garis leher paling indah dari semua wanita yang pernah kutemui, aku seringkali melihatnya dengan sengaja dan sebisa mungkin tak tertangkap olehnya, aku lebih lihai daripada mata-mata paling licin manapun. Aku beberapa kali mencoba membuat percakapan denganya, dia tak terlalu berapi-api saat berbicara, dia berbicara pada semua orang dengan cara yang sama.
Dia adalah salah satu yang ada dalam daftar wanita yang bersedia kunikahi, saat berumur duapuluh tahun keatas seseorang mempunyai kemungkinan—mungkin delapan puluh persen lebih bahwa mereka telah pernah bertemu seseorang yang akan dinikahinya kelak. Mereka akan memiliki daftar orang yang bersedia dinikahi. Dengan pertimbangan paling rumit dan tak bisa dipahami—bahkan oleh pujangga paling genius sekalipun, mereka akan membuat daftarnya. Aku memiliki empat orang wanita dalam daftarku, dan rekan kantorku itu berhasil menempati urutan pertama dalam kurung waktu beberapa bulan terakhir karena dia begitu ramah denganku sebagaimana dia ramah dengan orang lain (kini kau tau betapa rumitnya). Tiga wanita lain—dua diantaranya adalah temanku semasa sekolah, dan satu lagi wanita yang bahkan tak begitu kukenal, kami hanya pernah bertemu dua kali, aku hanya mengenalnya dari mulut ke mulut, memujanya dalam mimpi dan melupakanya saat hari-hariku menyenangkan.
Pukul Sembilan lebih dan aku belum tidur seperti yang sudah kujanjikan setelah memutuskan membolos kerja. Aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku dan bangun dari tempat tidur, rasanya seperti aku ingin mati dengancara selembut mungkin (didalam pesawat, diracuni oleh seorang pramugari misalnya). Aku mencuci muka kemudian meluncur kedapur dan membuat secangkir kopi.Saat mencari sebuah cangkir, tak kutemukan cangkir yang bersih, semuanya kotor oleh sisa-sisa kopi, rasanya aku tak mencuci perabotanku seabad lamanya.Aku lalu mengambil buku cerpen yang kubicarakan sebelumnya lalu membuka dan membaca-baca kembali cerpen tentang pak lurah dan gadis kecil, baru kemudian kulanjutkan ke cerpen-cerpen berikutnya. Hanya beberapa cerpen dan aku tak terlalu bersemangat untuk melanjutkanya, aku sama sekali tak mengenal para penulisnya, mereka tak terlalu menarik, mungkin sang editor menyusunya untuk keuntungan komersial—untuk pembaca-pembaca yang menurut perhitungan ini dan itu menarik bagi pasaran, namun bukan pembaca sepertiku rupanya, selain itu buku ini memiliki sampul yang menarik: ada seorang gadis kartun berdiri di tepi danau, matanya tertutup poni rambutnya dan seekor anjing duduk disampingnya seakan gadis itu sedang menuangkan makan siangya dalam mangkuk makanya; kemudian ada sebuah pohon berdaun semacam daun bambu, dan judul cerpen ditulis dengan jenis huruf yang tak asing bagiku.Aku bahkan tak ingat mengapa aku membeli buku itu.Aku melemparkan buku itu ke tempat tidur dan kembali berbaring disampingnya, lalu aku tertidur, aku tak ingat kapan aku mulai tertidur, tapi aku benar-benar tidur.
Aku terbangun pukul dua siang, sepanjang ingatanku aku tak pernah tidur siang selama ini. Baru beberapa saat aku menyadari bahwa hari ini aku tidak masuk kantor, kepalaku pusing tak karuan hingga aku sulit membuka mataku. Aku memaksakan bangkit dari tempat tidur kemudian meminum kopi yang sudah dingin. Tiba-tiba aku mengingat tukang koran di lampu merah di jalan yang setiap hari kulewati untuk sampai dikantor, yang sudah milyaran kali menawariku untuk membeli koranya tapi tak pernah kulakukan. Mungkin dia bertanya-tanya kenapa aku tak lewat lampu merah, dia tak tau jika aku tak berangkat berkerja, kemudian dia akan berpikir “mungkin sudah lewat dan aku tak  melihatnya” tapi beberapa saat kemudian dia akan berpikir “biasanya aku melihatnya” lalu dia menyadari bahwa aku tidak berangkat bekerja.Aku memperkirakan jika aku keluar rumah dan pergi ke suatu tempat yang menyenangkan, tapi aku tak menemukan seorangpun yang menyenangkan yang kiranya bisa kuajak bepergian. Dan jika aku memaksakan untuk keluar pergi seorang diri, aku akan lebih merasa kesepian dibanding berbaring disamping bukuku yang terabaikan.
Kemudian aku berpikir seandainya aku masuk kantor, beberapa jam yang lalu aku berada disebuah rumah makan diseberang kantorku—tempat biasa aku makan siang bersama kedua temanku Anton dan Toni, kami selalu cocok saat berbincang-bincang. Anton adalah orang yang pintar, walaupun mungkin dia tidak terlalu pintar, setidaknya dia kritis dan mengetahui banyak hal. Dia pernah berkata padaku jika dia tidak menjadi seorang karyawan dan mempunyai sedikit keberuntungan, dia akan bergabung dalam sebuah partai polotik. Dia sudah menikah dan memiliki anak berusa empat tahun.Aku pernah beberapa kali bertemu dengan mereka.Mereka adalah keluarga sederhana yang bahagia, dan seandainya kelak aku tak dapat memiliki sebuah keluarga yang kuimpikan, aku samasekali tak keberatan memiliki keluarga seperti miliknya.Kemudia Toni—aku lebih baik mendengar suara bom atom meledak dalam kepalaku daripada mendengar kicauanya, meski seperti itu aku tak bisa mengabaikanya, ada rasa sungkan yang aneh saat aku mencoba mengabaikan apa yang dia bicarakan. Dia adalah tipe orang yang jika aku bercerita padanya tentang kelinci lucu, dia akan bercerita tentang kelinci milik teman dari teman sepupu tirinya yang memiliki tiga telinga. Ada pesakitan tersendiri dalam dirinya saat dia tak menjadi pembicara yang menonjol diantara pembicara lain dalam obrolan seringan apapun.
Aku membayangkan sebuah rangkaian perbincangan dengan mereka.Kami memasuki rumah makan dan menemukan tak ada kursi yang kosong untuk kami bertiga.Kemudian tak lama setelah itu, beberapa orang, dua atau tiga baru saja menyelesaikan makan siangnya, lalu kami duduk disana dan seorang pelayan datang membersihkan meja dan mengambil piring dan gelas kotor sisa pengunjung sebelumnya. Sesaat setelah pelayan itu pergi kami akan sedikit membicarakan penampilanya, meski aku juga tak terlalu memperhatikanya. Aku melihat ekspresi paling bodoh yang bisa ditimbulkan oleh Toni. Saat aku menanyakanya dia berkata, “Ibuk-ibuk disana memergokiku saat aku menatap pantat pelayan tadi dengan pandangan sinis, aku malu”
“kukira kau tak akan tertarik dengan pantat seorang pelayan” kataku, “katamu kau pernah punya pacar seorang model saat SMA”
“kau seharusnya melihatnya”, balas Toni.
“aku tidak tertarik, aku akan menikahi seorang aktris. Aktris memiliki pantat lebih indah daripada seorang pelayan.”
“milik istriku lebih baik daripada pelayan tadi”, sahut Anton seraya tertawa “mantanmu pasti hanya beruntung menjadi model, kalau kau benar-benar pernah memilikinya”
“istrimu akan menjadi model jika tak menikah denganmu” balas Toni yang agaknya mulai kesal, “dan kau, satu-satunya pantat yang kau lihat sepanjang hidupmu adalah milik Ita”, Ita adalah wanita di kantor yang menempati top listku.
Hari sudah sore, aku berjalan dan melihat melalui jendela, aku melihat anjing tetangga sebelah yang tengkurap dipinggir jalan sambil menghitung kendaraan yang sesekali lewat dan matanya melesat kekiri dan kekanan mengikuti anak-anak yang sedang bermain disana. Mereka sedang memainkan sebuah permainan, pertama aku tak mengerti permainan apa yang anak-anak itu mainkan, namun beberapa saat kemudian aku berhasil mengetahui bagaimana mereka memainkanya. Ada salah seorang anak menyebalkan yang bermain curang, aku harap anakku kelak tak seperti dirinya, aku akan mengambil sebilah parang dan membunuhnya jika itu legal dilakukan, seseorang akan melakukan hal yang sama jika melihat bagaimana dia bermain curang. Aku nyaris bisa merasakan dinding sebelah barat rumahku yang dibaliknya—sinar matahari sore menyengat setiap inci dinding dan perlahan hangatnya meresap dan menembusnya. Untuk sesaat aku merasa tenang dan senang, dan aku tak tau mengapa, tak hanya hangat matahari sore yang bisa menembus dinding-dinding rumah, tapi suara riang anak-anak sore bergumam diseluruh ruangan, begitu juga dengan burung kemarin sore, diapun bisa menembus dindingku.
Aku kembali mengingat burung itu, pikiranku sudah tau tak ada celah dalam rumahku yang bisa dilewatinya untuk masuk, kemudian aku memikirkan jika seandainya memang ada sebuah lubang atau semacamnya sehingga dia bisa masuk, aku tak mengerti mengapa dia mau memasuki rumahku, dan kurasa dia bisa menemukan jalan keluar jika dia bisa masuk kedalam. Kupikir—dia kira bisa membuat sarang didalam rumahku, lagipula ada tempat kosong di tempat tidurku, dia bisa berbagi dengan bukuku yang terabaikan. Aku tak tau, mungkin tak akan pernah tau, sama bingungnya dengan burung itu sebelum akhirnya aku masuk dan membuka pintu. Aku beranjak dari jendela, dan hanya beberapa langkah aku kembali ke jendela itu, melihat anak tadi bermain curang lagi tapi aku sudah tak begitu perduli, lalu aku benar-benar beranjak dari sana.
Sekeping kesenangan misterius yang seseaat yang lalu menghujamku, tiba-tiba berubah menjadi kesepian yang menyedihkan, kerinduan yang mengerikan, kemudian aku menangis, aku menangis dengan sangat memalukan, aku tak ingat kapan terakhir kali aku menangis tapi aku benar-benar menangis tak karuan, aku menangis seperti bayi, aku menangis seperti wanita. Aku tak bisa merasakan tubuhku, tangan dan kakiku terasa kaku dan dingin, pikiranku kosong dan tak bisa mengingat apapun. Aku hanya merasakan kerinduan yang gila, aku bahkan tak tau apa yang aku rindukan, sesaat kemudian semua ingatan-ingatan masa laluku terlintas dalam kepalaku dalam sekejap. Kemudian perlahan-lahan ingatanku kembali dengan sangat jelas, mereka terlihat nyata: aku mengingat semua yang kualami dimasa laluku, semua yang kulewatkan dalam hidupku, semua orang-orang dalam hidupku; keluargaku, sahabat-sahabatku, orang yang kucinta, orang-orang yang kubenci. Ingatanku tentang burung itu samar-samar terselip diantara mereka.Beberapa saat kemudian aku berhenti menangis, lalu aku mengambil sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam.Aku kembali merasakan ketenangan yang sangat, aku seperti terbebas dari segala selaksa sulur duri hidupku.Hari mulai gelap, jika aku berada di atas atap mungkin aku bisa melihat matahari terbenam dibalik pepohonan, dibalik rumah-rumah, gedung-gedung dan jalan-jalan yang rumit.
Diluar sudah gelap, begitupun dalam rumahku, aku berjalan kesana kemari menyalakan lampu-lampu dalam rumahku. Sementara itu tiba-tiba aku merasakan lapar yang luar biasa, seperti aku sudah tak makan lima ribu tahun, dan baru kuingat aku belum makan apa-apa seharian kecuali secangkir kopi (yang membuatku tetap hidup). Aku pergi kedapur dan membuat makanan seadanya, aku tak begitu ambil pusing tentang apa yang kumakan, aku memakan apapun, layaknya manusia.
Sementara aku makan malam, aku kembali mengingat Ita, aku memingat percakapan singkat yang beberapa hari yang lalu kami jalin. Aku mengingatnya dengan jelas, sangat jelas seperti makanan dihadapanku.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”, sapaku.
“aku cukup sibuk hari ini, bagaimana denganmu?”, jawabnya sambil sibuk dengan pekerjaanya.
“Begitu juga denganku, begitu juga dengan semua orang disini”
“yap, mereka membutuhkan lebih banyak orang disini”
“betul sekali, aku ingin membagi pekerjaanku untuk dua orang, kau terlihat lelah, kau perlu istirahat”
“Aku setuju denganmu, aku akan istirahat saat makan siang, sekarang aku harus melanjutkan pekerjaanku”
Aku sibuk dengan makanaku, aku makan seperti srigala, tak pernah kurasakan makanan senikmat ini.Sementara itu, jika saja aku dapat kembali kesana, aku akan memperbaiki pembicaraanku yang mengerikan dengan pembicaraan yang lebih ramah dan berani.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”
“Aku cukup sibuk hari ini, bagaimana denganmu?”
“begitu juga denganku—hey, kau mengubah potongan rambutmu (dia benar-benar melakukanya, dan aku tak melakukan apapun mengenai itu), kau terlihat berbeda, tak terlihat lebih buruk—maksudku—kau tampak lebih baik (kenapa sulit sekali menyebutnya cantik!)”.
“begitukah, terima kasih, Desi (temanya yang cerewet) juga mengatakan hal yang sama”, Dia menghentikan pekerjaanya dan menatapku.
“berarti itu memang benar dan kau harus mempercayainya. Hey, mungkin kau bisa bergabung denganku untuk makan siang, kau tau rumah makan di seberang gedung ini, aku melihatmu beberapa kali disana, aku selalu makan siang disana bersama Anton dan Toni. Kau bisa mengajak beberapa temanmu, kau bisa mengajak Desi”
“Kedengaranya menyenangkan, dia akan kesana bersamaku, pelayan disana akan butuh meja yang lebih besar sepertinya”
“Bagamanapun juga mereka akan menyediakanya, baiklah, sampai jumpa saat makan siang”, kemudian kami kembali pada pekerjaan kami masing-masing.
Malam semakin larut, semakin malam aku semakin merindukan Ita, aku merindukanya seperti seorang maniak. Bahkan aku merindukan kantor, jauh lebih merindukanya disbanding kerinduanku saat hari libur baling buruk sekalipun.Lalu aku memutuskan untuk berbaring ke tempat tidur, bukuku masih disana.Aku memungutnya dan membukanya, aku memutuskan untuk membacanya, aku membacanya hingga selesai dan melemparkanya kembali kesampingku.
Seiring dengan itu malam benar-benar sudah larut, mungkin aku akan memutuskan segera tidur. Aku mengingat kembali apa yang kulakukan seharian tadi, aku mengingat bagaimana aku mengingat tentang burung, Anton, Toni, Ita dan seterusnya. Baru aku sadar aku tak melakukan apa-apa seharian ini, kecuali membaca buku paling buruk seumur hidupku.Burung itu kembali terbang ke dalam ingatanku, saat kucoba kupikir-pikir kembali, mungkin itu bukanlah burung, mungkin hanya imajinasiku saja, atau dia adalah hantu atau sejenisnya.Mungkin aku sudah gila memikirkanya, atau terlalu mengantuk, tapi bagian otakku yang masih waras mengatakan itu adalah benar-benar seekor burung.Tak lama kemudian aku tertidur, aku tertidur sangat pulas, lebih pulas dari tidur manapun sepanjang hidupku.Dalam tidurku aku bermimpi tentang burung, aku bermimpi terbang seperti burung.

Sabtu, 12 Oktober 2013

on The Beach


on The Beach

In the wind, on the ocean
I feel you, the wind you in
Fly in the wind, drown in the ocean
I fly to you, I feel the wind
I drown in you , to you I fly
You, the wind, the ocean, my own
I drown, unfloatin not even dry
Ocean of love, o love wear the crown
Through the unseen, through our aching
You’ll be the queen, I’ll be the king

To My Crush


To My Crush

I’m a casual man, I’m a selfish, I’m desire to be loved by ye, I’m a ninja, its very animal
On the edge of the abyss, we shall hide, we shall avoid to prevent (well, I’m an idiot too)
My eyes thine eyes, Confess nor lurk, we love we sore
We a lover we a loner, our tail quiver as we saw each banner

Thus, I’m A Poet


Thus, I’m A Poet

Let the poet alone
I try to touch you, with my discovery of my soul
Because I’m a poet, shame on me

It’s a bull nor meaningfull
Because im a poet, shame on me

It’s truth nor lies
Because I’m a poet, shame on me

I dive, I wash my hands, thus I’m a poet

My Lady Won


My Lady Won

Throw away thine crown, leave the speaker on his knees
My strength crumbling on thine sight
I’m breathing ashes, choked by my worthless word

Foolish vow between the summer chant
our desperate soul sang the song those memories couldn’t hear
my blue cannot recall those bright red
red glance and feeling blue
red and blue, my fear finally shown

Only if ye see, dead man cannot burry the corpse
Dead man lay flowers on his funeral
Heart cannot burry the heart
Dead man cannot plant the good heart
Death steal my body, my soul, my mind, my heart, but not my existence

O what I miss that friend before the strange man
What I miss those band before we holding hand
O what I wish…

Come as nobody, came foreign lady
Meet me on the hill, shone beneath the sky
Lend me your love and bounce me high
Lend me your body and I believe in grace
Lend me your soul and I believe in gift
Lend me your life and I believe in God

I swallowed no harm
I swallowed no harm
I swallowed no harm
I see ye lurk

As ye missing in the crowd
As ye  colder in  the night
As my belly become greeder
As our feet lose its prop
I see the smile in thine corner lips
Ye saw my sin, I saw thine
My prejudice and judgements would be come in droves
Did I know ye, did ye know I
Is this I, is this all men

I learn more from my glory, instead of my grief
Some has lover, some has friends, some has child and blood, some are lover, some are friends, some are child and blood, I have this  poem
Filled my blood toward my head its about to burst
And the rest my lady, blowing in the wind, blowing in the wind my lady
O my lady, as ye become the new chanter for my follower
Whoever would become my follower, my lady, ye sing the song we sang
Vows after vows, we’re the human being, flesh and bones we’re all the deceiver, claimed as a lover, my lady a lover, I’m a lover, they’re a lover
I see ye lurk

The cloud cover the strange island, no one dive in the sea
This son’s Father already  gone, carry no arm walking on his toes
Stand on the edge of the porch, the house ready ruin back to the ground
rain down above the field, the beast spied through the trees, ready grap on my way run
 The lighthouse man said,  “I’m giving up trust”
(Let the ship sinking in my astray faith)

My lady laugh, “carry on son, carry on”
He said, “open your heart, open your heart for Me son”

Silver Moon


Silver Moon

Silver moon, blow her again to me
Thee come from the innocence
As the spring was no longer in bloom
At the summer with cheerful friends
Round and round try to seek for the old bee
But my garden smell sour still,
And the breeze dry swept the leaves

Steady numb, rest in low
Hang out the crowd, get high

Numb and low, numb and low
High and vague, high and vague
Walk on a wire, new season would overcome
believing in mother’s love
peaceful grass, no colour of flowers