No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Senin, 09 Maret 2015

Chapter 7


7
            Di tengah kerumunan sekenario-sekenario buruk pikiranku yang mematikan, aku mencoba menyelimutinya dengan imajinasi-imajinasi indah untuk mencegahku menjadi seorang bipolar atau semacamnya. Aku membayangkan rumah dengan halaman yang besar dan dipenuhi flora-flora yang cantik, secantik gadis impian yang kumunculkan menjadi pendamping hidupku. Rambutnya tebal, panjang atau pendek tidak masalah, sedikit berkilau dan hidungnya kecil dan mancung, putih dan sangat menyayangi anak-anak kami dan diriku. Kuharap dia juga punya selera yang bagus dalam hal seni dan tidak bodoh. Pada suatu hari kami akan merencanakan piknik namun batal karena aku tiba-tiba terkena flu dan demam hebat, istriku tercinta akan merawatku seharian dikamar dengan penuh kasih sayang, dia mengambil cuti dan menyuruh anak-anak kami yang masih kecil untuk tidak berisik dan mengusik kami—maksudku mengusiku.
            Bebeapa tahun setelah sepeninggal Lis, gambar-gambar bergerak dirinya yang dulunya bisa kutampilkan melalui pemutar ingatanku dengan mudah dan jelas semakin sulit kulakukan. Optik memoriku mulai aus dan kepingan-kepingan kenangan perlahan tertimbun oleh dunia remaja yang dangkal seperti cinta monyet, patah hati, hal-hal mengenai sekolah, dan masa depan yang mendatangiku seperti tinju seorang amatir.
            Aku memulai sekolah menengahku dengan penuh percaya diri. Dalam pandangan mereka—anak-anak sekolahan tak berpengalaman yang kurang percaya diri—aku dapat menangkap potretku sebagai remaja tionghoa kaya, pelit, dan menyombongkan diriku dengan kemahsyuranku. Penghormatan yang diberikan padaku, semata karena filosofi kuno mereka tentang seorang kaya raya angkuh—seseorang menyerupaiku yang mereka kenal jauh sebelumku. Aku dihibur oleh teman-teman kayaku dengan permainan dangkal mereka. Gemerlap-gemerlap mereka membuatku silau, hingga saat moralku mulai ranum, disudut pedesaan dimana sepupu-sepupuku mengajaku berkebun—ketidak beruntungan mereka menutup sinar-sinar kotaku yang fana. Kerenggangan social membuat mereka kalangan menengah kebawah tak pernah melewatkan kesempatanya untuk menghindariku dari segala jenis kontak pertemanan dengan kami. Keadaan ini mulai tak terkendali karena perlakuan guru-guru yang memanjakan beberapa kalangan murid saja.
Aku dianugrahi IQ diatas 120, kekayaan ayahku, wajah yang manis dan tampan, juga postur yang ideal. Dalam peringkat parallel aku hanya kalah dari seorang gadis gila berambut keriting mengerikan yang hampir mempunyai nilai sempurna di semua bidang mata pelajaran, otaknya adalah idola sepanjang masa. Ayahku bukan orang kaya yang bisa membeli beberapa rumah mewah dengan mudah, namun cukup untuk mobil, perabotan-perabotan mahal, serta uang jajan melimpah. Berkat pertolongan gen ibuku, meski dengan ayah tionghoa, aku tak mewarisi badan gempal dengan pipi raksasa dan mata yang tenggelam dalam wajahku. Sebenarnya mataku sedikit tenggelam—sedikit— tapi sudut dan relief wajahku lebih tegas, alisku tajam, bibirku pendek dan tak terlalu tebal. Bentuk kepalaku tercipta untuk fleksibel terhadap segala macam model rambut. Dengan penyokong seperti itu, masalah yang hanya akan mungkin muncul adalah—sebut saja bencana alam. Aku bisa saja merangkap kencan dengan beberapa gadis murahan yang mereka kira akan kumanjakan mereka dengan cinta, tapi kukatakan dengan lirih, aku bukan keparat macam itu.
Biar kutekankan lagi tanpa suara: Aku adalah lelaki tampan, lemah lembut, dan berpostur menarik dengan perilaku penuh ketrampilan menyembunyikan sesuatu yang pantas tak kasat mata, namun tetap menggoda. Sikap-sikap dinamis karena proses pendewasaan menimbulkan semacam profil misterius yang membuat orang-orang salah tangkap pada kesan pertama, yang terlihat dari kekhawatiran-kekhawatiran mereka yang enggan melakukan sesuatu berhubungan denganku.
Sikapku terhadap wanita cenderung praktis, lugas dan getir tanpa mengabaikan kesenangan tersendiri. Aku tau, aku bisa mendapatkan wanita pendamping manapun tanpa harus berdandan, membuat puisi, dan berperilaku teatris. Mungkin untuk beberapa alasan sudah menjadi kewajibanku untuk tak memberikan perhatian berlebih pada wanita, kecuali mereka mau datang bertaruh ke pelukanku yang beku. Namun kenyataanya, tak pernah aku menghindar saat cinta-cinta yang polos itu datang mendekat dengan bergelimangan harapan. Alih-alih aku akan memberikan perlakuan yang setimpal, bongkahan es itu tak meleleh dengan godaan-godaan muram yang berbalik memberikan kesan semu berdasar sambutan-sambutan dangkalku.
Pada dasarnya, menurut pengalaman-pengalaman, polanya selalu sama saja: datang dengan sensasi luar biasa, menikmati jatuh cinta semu, dan saat mereka tak menemukan apa-apa dibalik keramahanku, mereka pergi berbekal sakit hati yang mendalam dan penyesalan saat matahari terbit, lalu kehidupan berlanjut.
Seorang wanita periang telah menjadi korban kegetiranku. Dia Rita: agak gelap, ceria, memiliki selera klub sepakbola yang sama denganku dan tak pernah kulihat ada kerutan yang berarti diwajahnya. Aku tak begitu mengenalnya, tapi dia seperti kebanyakan wanita, tak sulit mengenalnya. Pada awalnya itu hanya sekedar percakapan sederhana mengenai jadwal latihan basket dan pertandingan bola yang dilanjutkan dengan kedekatan yang tak diharapkan.
Dia mengingatkanku setiap minggunya tentang pertandingan sepak bola di televisi. Dan beberapa waktu kemudian menjadi keseringan yang diluar hari Sabtu dan Munggu dimana pertandingan bola di televisi disiarkan, dia mulai berani mengobrol denganku dengan basa-basi yang tak kukira dia cakap melakukanya. Tak ada  kesengajaanku untuk meneruskan perbincanganya dengan segala sesuatu yang membuatnya berlanjut. Tanggapanku hanya datar dan tak menarik (tidak berbalik bertanya mengenai umpanya yang sejelas pelangi). Sehambar apapun aku membalas percakapan-percakapan yang diusahakanya, aku tetap meladeninya.
Aku tak tau, namun yang pasti karena aku tetap menanggapinya, dia memulai dengan percakapan yang mendalam, bersemangat, dan bingung—mungkin dia bingung. Dia semakin mengakrabkan dirinya dengan ketepatan berbahasa, membuat perbincangan berjalan secara rutin. Bahkan dia mulai menjadi sangat perhatian padaku: Aku terjatuh saat bermain sepakbola pada suatu siang saat pelajaran olah raga, malamnya dia menanyakan keadaanku dengan nada yang tak mencurigakan (ah, dia masih malu-malu dan tak ingin terlalu percaya diri). Tak ada hal lain yang kulakukan selain berterima kasih saat itu juga dan pendekatanya berlanjut. Aku mulai bisa melihat pola saat seseorang mencoba menggaet hati orang lain. Ah, kenapa aku sulit menulis kata “cinta” seperti para kekasih!
Pertama  mereka akan sekonyong-konyong mencoba melakukan komunikasi dengan upaya mengerikan dalam bentuk apapun. Lalu membuatnya menjadi rutinitas atau kebiasaan atau sebangsanya, yang kemudian dibuatnya semakin menarik, dan berlanjut dengan rekaan-rekaan abu-abu. Ah, mereka mahir membaca pertanda (beberapa payah melakukanya, mengabaikan, dan tak mau tau tentang kebenaranya dan terus saja dengan hal yang dipercayainya). Selagi aku mencari istilah yang tepat untuknya, aku berpikir betapa teganya aku bermain dengan mimpi-mimpinya yang semakin suram: mulai turut menikmati keramahtamahannya, dan tak perduli seruncing apa ujung yang akan ditemuinya. Tolong diingat-ingat, sifatku yang seperti itu bukan suatu pembawaan yang berwujud peringai bangsat, hanya usaha mati-matian dan penantian yang menjemukan.
Mari lebih jauh lagi. Senin pagi yang berarti aku sudah tak bertemu dengan orang-orang yang kutemui setiap harinya selama sehari, aku berpapasan dengan Rita (sering terjadi kasus seperti ini: komunikasi secara langsung dan tak langsung terdapat perbedaan yang mencolok) dan ada yang berbeda darinya. Sebelumnya dia adalah atlit yang mengagumkan, memakai celana kolor pendek dan kaos kedodoran, namun karena kondisi fisik yang menurun (aku tak tau mengapa) dia mengurangi rutinitasnya. Dan pagi itu, dia memasang tampang seceria anak burung yang hendak mencabik cacing dari mulut induknya, matanya hitam karena celak yang digoreskan jemari terampil, bibirnya mengkilap seperti sabun mandi oles yang baru saja digunakan, dan wajahnya serupa gerhana. Bukanya aku justru terpana dengan wujud barunya, hal itu malah menimbulkan kecemasan tersendiri untuku (ujungnya semakin runcing).
Percakapan-percakapan berikutnya yang semakin menggigil, selain pertanyaan aktifitas, pilihan acara televisi, dan pelajaran sekolahan, pembicaraanya mulai terbenam dalam keputusasaan, curahan-curahan hati penuh kegelisahan, dan sindiran-sindiran mengenaiku yang seperti batu (dia yang bilang seperti itu), seiring dengan merebaknya rumorku dengan Rosa (cinta pertamaku)—kami diisukan berpacaran oleh hampir siswa satu sekolah dengan alas an yang misterius. Dan lama-kelamaan aku menjadi seorang dokter yang menyembuhkan sakit hati, atau lebih tepatnya dokter yang memperbaiki mal praktiknya: aku menasihatinya, memberi kalimat-kalimat manis seperti oprah, seraya menjauhkanya dariku. Dia mulai mengirimiku dengan puisi-puisi membabi buta hingga aku mendengar ketidak sabaranya menanti segenap kepastian yang sudah seharusnya diharapkanya. Aku juga tau, dia ketakutan dengan rumorku dengan Rosa, seperti ini dia menunjukanya padaku: dia mengutip kalimat dari Charlie brown, “tidak ada yang sanggup menghilangkan lezatnya selai kacang, kecuali cinta yang bertepuk sebelah tangan”. Aku tak ingat, tapi kurasa dia memaparkanya padaku lebih dari sekali. Seperti yang lain, harapan-harapan muram yang diutarakanya lewat kiasan-kiasanya padaku semakin murung tak karuan.
Baiklah, aku akan lebih terang-terangan, begini aku membayangkan pikirannya yang remang. Katakanlah aku mendapat sebuah surat yang ditulis dengan darah dan air mata. Aku membacanya dengan jelas diatas ranjang tidurku yang berhias tirai krem sambil melompat-lompat seperti burung jalak.
“Dengarkan aku! Kumohon, tak taukah kau aku mencintaimu, Aku rela menelan bisa untukmu. Sudah seperti itu semenjak aku melihat matamu yang tajam dan penuh misteri itu. Ketika kau membalas ketidak berdayaanku mengendalikan bunga-bunga cintaku padamu oh, pangeran impianku. Kapankah, kapankah aku bisa mengatakanya seperti Romeo. Tak bisakan kau hanya melihat dan tau (dasar bodoh, aku pura-pura tidak tau), ayo mengertilah, tunjukan sesuatu padaku.”
Tak usah kau gali-gali lagi semua pengorbananku padamu untuk bahan pertimbanganmu. Bawa  saja semuanya pergi menghilang, supaya aku bisa merana dan melanjutkan hidupku. Jika hanya harapan-harapan palsu itu, sudahlah hentikan sekarang juga. Ah, tapi aku menikmatinya. Bukan, bukan itu yang aku inginkan!”
Rabu sore sehabis asar, aku melihatmu pulang sekolah dibalik pagar berkarat sisi timur sekolah dengan senyum seperti orang gila. Malam minggu, aku malu-malu menyimpan fotomu di dompetku, jadi langsung saja aku sembunyikan dari sana supaya tak lebih memalukan lagi setelah kupandangi hampir setengah malam. Senin pagi, hatiku yang kering dan layu tersiram kehangatan selembut madu dan menyingkirkan kerinduan yang membuatku sekarat. Selasa siang, aku berubah menjadi sang naga merah, tubuhku terbakar, terbasuh hawa neraka saat kau berbicara dan tertawa dengan wanita itu, aku menutup mulutku supaya tak keluar api dari sana.”
Aku tau, bagimu aku bukan siapa-siapa, hanya seperti  orang lain. Tapi tak bisa kau pungkiri, kau juga menikmati keramahtamahanku. Serta perlakuan-perlakuan istimewaku yang kadang terlalu bergairah, senyumku yang mutlak tulus padamu, juga perubahan-perubahan baruku yang semrawut. Benar-benar tak berada, sebenarnya siapa aku ini, beraninya. Kau mungkin jijik padaku, tapi tolong maklumilah, aku tak terkendali, mengertilah. Aku rela menekan rasa maluku sampai titik terbawah, jadi jangan kau hujat aku dengan seringai pahitmu.”
Jika memang kau bersungguh-sungguh tentang sambutan-sambutanmu yang membahagianku, kuharap itu hanya berarti satu hal: kau sungguh-sungguh menginginkanku sebesar aku menginginkanmu. Mari kita tindak lanjuti, libatkan kehidupanmu masuk dalam kehidupanku, dan mari berbagi semua hal. Jujurlah padaku, taruh hatimu dalam mulutmu saat kau bicara dan tersenyum padaku, taruh hatimu di matamu saat kau menatapku. Berhentilah main-main dengan perasaan sayang! Lupakan saja, sana pergi! “kuharap suatu saat nanti kau akan menyadari, siapa orang yang akan selalu mencintaimu dengan cara apapun, lebih dari siapapun yang kau tau”. “Maafkan aku, aku tak bisa memberikan sesuatu yang kau harapkan, masih banyak lelaki diluar sana yang mau menerimamu dengan senang hati, lanjutkan hidupmu, bersemangatlah”. Tidak, bukan seperti itu, itu opera sabun.”
Mungkin terlalu lancang aku memasuki pikiran-pikirannya yang rapuh kemudian mengutarakanya tanpa rasa bersalah yang berarti. Aku bisa merobohkannya dengan satu pukulan jika kumau. Dia tak pernah mengatakanya padaku, jadi untuk apa aku harus memperjelasnya dengan hati luluh lantah karena perasaan bersalah yang menelikungku dengan pangakuan bahwa faktanya aku adalah iblis tak berperasaan. Tak bisakah kuperkeruh saja keputusasaannya dengan penolakan penuh tata kramaku.

Chapter 6

6
            Menurut cerita historical Ibuku saat aku berbuat kurang ajar terhadap bi Ratmi, dia adalah salahsatu orang yang pertamakali mendengan tangisanku dan lisa mergema di rumahku. Saat itu, ibuku yang sedang membutuhkan pembantu rumah tangga,direkomendasikan oleh pembantu tetangga yang tidak lain adalah saudara tertua bi Ratmi yang meninggal karena digigit laba-laba beracun yang langka untuk memperkerjakanya yang saat itu dia masih pengangguran dan menjadi primadona di kampungnya.Satu lagi adik perempuanya, Lasmi, dipekerjakan di toko ayahku. Tiga bersaudara itu sama-sama memiliki wajah cembung dengan dahi lebar dan rambut hitam lurus dengan gaya ikal kampungan, dan untuk bi Ratmi, dia disokong perpaduan dagu dan hidung yang berpotensi untuk membuatnya lebih cantik jika dia mau menambah berat badanya sekitar delapan kilo.
            Dia menikahi seorang pak tukang bangunan yang terkenal dengan kepiawanya mengolah batubata, mendirikan rumah, dan memasang berbagai macam keramik.Secara sarkastik bi Ratmi pernah bercerita, pernikahanya berawal dari penolakan suaminya terhadap wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya karena dia memiliki tahi lalat sebesar biji kacang diatas bibir kirinya. Jika bukan karena tahi lalat itu, mungkin transformasi abnormalku yang kelak menimpaku akan terganggu dan mengubah keseluruhan ceritaku. Namun dengan pernikahanya dan kemudian pak tukang—pak Harjo memberi istrinya restu untuk bekerja dirumahku setelah observasinya pada keluargaku saat merenofasi atap rumahku. Keluarga kami lulus menjadi calon majikan yang akan menampung istrinya dengan sangat layak. Jika kupikir-pikir, saat itu mengingat ibuku dan dia masih amatir dalam hal menjadi majikan dan pembantu, dan kecenderungan mereka yang pendiam, pasti lucu.
            Dengan cara pembantunya, dia menyayangiku: seperti saat dia membuntutiku yang sedang bermain petak umpet untuk menyuapiku setelah dia putus asa membuatku berhenti bermain dan menyuruhku makan siang di meja makan; juga saat dia dengan lemah lembut membersihkan aspal setengah kering dari kedua lenganku yang kuperoleh dari—betapa idiotnya diriku bermain denganya saat kontruksi pembetulan jalan; dan saat dia dengan kakunya memarahi temanku yang kepergok memanggilku Evanya yang menyerupai gadis ini.
            Jika kuputar lebih jauh mesin waktuku, sebelum muka cembung ini memutuskan untuk membantu mengurus keluargaku, dia pernah memiliki sejarah ganjil yang menurut mitos, saat umurnya duabelas tahun, dia pernah menghilang secara misterius selama tiga hari karena diculik makhluk halus berpayudara sebesar bola basket wewe gombel.. Saat dia kembali—dengan misterius juga tentunya—dia menjadi orang bodoh, IQnya turun dari 117 menjadi 72 (tentu saja hanya berdasar perhitungan sok tauku), dan dua kali tidak naik kelas karenanya.Aku senang saat bercerita tentang hal ini pada teman-teman SDku (nama bi Ratmi kusamarkan menjadi tokoh fiksi), mereka begitu antusias dan menganggapinya secara berlebihan, seperti dodi yang merinding, Eli yang menangis, dan Roni yang dengan kebohonganya mengarang cerita serupa. Semitos-mitosnya cerita ini bagi para pendengar, cerita ini berhasil menakutiku untuk tidak keluyuran saat adzan maghrib berkumandang, dan membuat tempat-tempat strategis dirumahku seperti toilet dan dapur menjadi horror saat malam hari selama berbulan-bulan.Namun seberapa bodoh dan mitosnya bi Ratmi, dia mengemban tugasnya sebaik-baiknya.
            Coba kuingat dulu, apa lagi yang kutahu. Pada awal tahun delapan puluhan, setelah kelahiranku, dia mulai kerepotan merawatku dan Lisa, dengan didukung iming-iming tetangganya yang berhasil membangun rumah dengan pergi bekerja merantau ke batam, dia ingin melakukan hal serupa.Ayahku yang mendengar berita ini karena bi Ratmi bertanya-tanya tentang passport padanya, menurutnya pergi ke tempat yang jauh butuh pasport (apa kubilang: 72). Namun dengan rencana licik ayahku yang tak mau kehilanganya, dengan rutin dia meminta bi Ratmi membacakan Grapes of Wrathnya Steinbeck padaku sebelum tidur, dia langsung mengurungkan niatnya bertepatan  dengan kematian si mantan pendeta dan Joad yang babak belur.Sebenarnya mungkin wanita kampong ini tak tau dimana sebenarnya Oklahama atau California, dia hanya tau kampungnya, jalan dari kampungnya kerumahku dan wilayah dalam radius 9 kilometer dari rumahku (termasuk pasar). Tapi dia merasakan hal sama bahwa perjalanan yang jauh bisa sangat berbahaya dan orang-orang diluar sana mungkin akan memperlakukanya seperti kotoran walet.



Chapter 5

5
            Pemakaman Lisa berjalan meriah, orang-orang berbondong-bondong berpartisipasi mengasihani Lis yang mati muda dan rumahku masih diselimuti gelak tangis mengerikan, dan Lisa melewatkan pemakamanya karena dia mati, dia di alam lain yang misterius—yang menurut Kitab Suci dia berada di alam kubur yang katanya menyeramkan itu (seperti khotbah Joyce, misalnya), dan ditanya ini itu (jawab dengan tenang dan percaya diri Lis). Menurut parimaterku, tak ada instrumen penyiksa selembut apapun yang dapat—dengan persidangan seadil-adilnya oleh hakim agung di tempat gelap itu—menjatuhi lisa ganjaran atas hidup singkatnya bersamaku dan orang-orang ini. Dalam rekayasa bayanganku yang kurang masuk akal, sembari menunggu dunia berakhir, mereka mungkin—Lisa diperbolehkan menempati ruang gelap dengan penerangan remang dan peristirahatan seadanya dengan jaminan kelayakan yang memadai dan Lisa hanya perlu membalasnya dengan melayani penjaga makam seperti bi Ratmi melayani keluargaku.
            Paska kematianya, ingatan fotografik paling jelas yang terpatri dikepalaku adalah gambar-gambar memilukan saat-saat terakhir Lisa meregang maut dan riuhnya prosesi pemakaman. Suatu saat ketika hal-hal itu muncul dan melayang-layang dalam ruang ingatanku yang masih dilanda duka mendalam, aku tumbang dan memanifestasikan ketidak-karuanku dengan melesat ke kamar Lisa dan membuka mantan lemari bajunya (beberapa minggu kemudian menjadi milik toko barang bekas) menyeret sebisaku yang bisa terjangkau oleh kepalan tanganku dan kulempar pakaian-pakaianya keluar jendela (hampir aku tersungkur keluar jendela bersama pakaian-pakaian itu dan menyusul Lisa), meronta-ronta dan menjatuhkan semua barang diatas meja belajar Lisa sebelum akhirnya bi Ratmi mencengkeramku sebelum aku menghancurkan dunia.
            Aku berubah menjadi anak mengkhawatirkan menurut reka-reka analisis psikologis dangkal ayahku yang kemudian memunculkan opini bahwa aku memerlukan bantuan professional. Namun karena keliahaianku mencegah penguntit dengan kedok psikolog yang nantinya akan mengorek-orek informasi rahasiaku seraya menerapkan teori dari gelar sarjananya padaku dengan gaya Fraud-nya—maksudku Freud—aku mulai menjadi normal kembali seiring berjalanya waktu dan kekhawatiranku akan perhatian orang tua paranoidku.
            Ibuku masih rutin menangis setiap malam berminggu-minggu setelah Lisa mati, dia mungkin mewakili tangis Lisa disudut kegelapan peristirahatanya         yang baru mulai beradaptasi dengan kengerianya. Ayahku yang lebih tahan banting, membasuh airmata kami dengan segenap dukacitanya yang dipaksakan diendapkan untuk membuat Ibuku memiliki tempat bersandar selain pada batu nisan Lisa yang bisu.
            Dalam kerinduanku, mimpi yang kuusahakan untuk mendatangkan Lis kesana dalam tidur-tidur kucingku—memeras keringat aku dibuatnya dengan segala upaya menurut pengetahuan rendahanku—membuat rentetan imaginasi visual dalam bayangan pikiranku tepat sebelum aku masuk tahap setengah tidur dan berharap bisa meneruskanya dalam tidur yang sepenuhnya seperti chapter-chapter dalam cerita fiksi. Usaha-usaha itu selalu berujung pada runtuhnya kesadaranku dan terputusnya rangkaian imajinasiku yang beralih menjadi mimpi-mimpi absurd. Misalnya aku yang mengendarai sepeda onthel diatas salahsatu dari dua jalan bercabang dan berpangkal di sebuah trowongan yang sebelum masuk trowongan terdapat sebuah menara pemancar mencurigakan dan dalam kegelapan trowongan aku terjatuh hingga kepalaku benjol tiga tempat, yang mungkin mampu dianalisis melalui buku General Introduction to Psychoanalysis(tolong jangan dilakukan).
            Percobaanku yang lain adalah dengan rutin—sebelum tidur atau saatku kesepian—aku menghirup parfum Lisa aroma floral campuran mawar dan vanilla yang kadang membuatku sakit kepala karena terlena menciumnya terlalu lama. Parfum itu kucuri dari sisa-sisa barang Lisa yang masih selamat (tidak termasuk majalahnya)sebelum dihibahkan kemana-mana. Barang lain yang masih selamat adalah meja belajar yang sudah tercorat-coret, cermin gantung menakutkan, lampu belajar (kuwarisi), dan seperangkat tempat tidur yang dionggokan di gudang, selain itu semuanya lenyap, termasuk bukti sejarah ketenaran Lisa dari penggemar-penggemarnya, semua raib bersama kepergianya.
            Hal-hal berikutnya yang membuatku menyesali kematian Lisa muda adalah hal-hal yang kelak dialaminya dan lenyap karena kematianya. Sejalan dengan masa pensiun menjadi anak-anak praremaja yang penuh gelombang tak terduga dia belum pernah diantar pulang pergi sekolah oleh Jono atau Yono, atau hubungan-hubungan terlarang seperti teman-temannya yang berandalan, aku juga belum pernah mendeteksi adanya jatuh cinta gila-gilaan dialaminya (dimana kau sembunyikan Lis?). Atau mungkinkah aku hanya tak berhasil mengetahuinya, mungkin dibalik surat-surat penggemarnya ada sepercik harapan nama seorang pangeran impian Lisa tertulis di identitas pengirim (yang Lis sudah menyiapkan jawabanya dengan matang dan meyakinkan) yang biasanya diletakan oleh remaja-remaja itu di bagian kiri bawah depan amplop.
Seketika bayanganku tentang kakak ipar impian hilang, padahal aku sudah membayangkan hal-hal menyenangkan denganya seperti menggunjing rahasia istri-istri kami, mendiskusikan otomotif, atau mengeluhkan superioritas makhluk perempuan. Belum lagi hilangnya kesempatan untuk mengarungi runyamnya bahtera rumahtangga yang mungkin akan disertai keponakan-keponakanku yang lucu, dan aku, paman mereka yang berkumis saat akhir pekan yang panjang akan mengajak mereka bertamasya ke kebun binatang atau pergi ke pasar malam hingga Lis akan memarahiku karena pulang terlalu larut. Namun semuanya sia-sia Lis telah tiada, hanya tinggal aku dan dia yang selalu kukenang.


Chapter 4

4
              Pada musim penghujan saat kelas satu SMP aku dilanda musibah terbesar dalam hidupku. Setelah perang dunia ke dua yang mereduksi secara massive populasi didunia, buntutnya tak berakhir pada perjanjian San Fransisco karena morat-maritnya jepang. Pengurangan populasi masih terus berlanjut karena masalah-masalah lain yang tak kalah kompleks, misalnya oleh sekumpulan hewan amoral, kecil, dan bising yang mengangkut—jika dilihat seksama dengan microskop oleh para professional akan ditemukan berbagai  macam virus yang salah satunya pertamakali digambarkan pada tahun 1779 yang kemudian seiring dengan kemajuan jaman dan riset-riset serius yang dilakukan ilmuan-ilmuan dikenal dengan virus dengue. Lisa termasuk dalam orang sial diantara 50-100 juta orang didunia yang terjangkit demam berdarah setiap tahunya, dan dia kembali masuk seleksi diantara 5 persen penderita yang terkena infeksi berat dan mengancam jiwa.
              Hewan terkutuk itu menghuni sebuah kolam ikan kecil dibawah pohon beringin ditengah tegalan yang kukunjungi bersama Lisa karena pamanku tak berhasil membuat kami terhibur dengan rumahnya yang setengah jadi dan masih jelek, juga sepupu-sepupu kami yang kaku saat Ibuku mengajak kami pergi ke rumah salah satu adiknya itu karena ada acara syukuran untuk rumah yang baru selesai dibangunya setelah empat tahun beristri. Aku, Lisa, sepupuku, dan saudara bibiku yang sok akrab dan tak kenal putus asa untuk membuat kami terhibur, melewati sekitar 400 meter kebun  yang berisi pohon kapas dan rerumputan liar yang membentang dikaki pohon untuk sampai ke kolam itu. Dia, Ardi, lelaki 25 tahunan yang berwajah bulat namun dengan sudut-sudut yang maskulin, tubuhnya tidak terlalu tinggi namun padat, dan kakinya pendek yang akan menghasilkan potret menggelikan saat dia mencoba melompat melewati sesuatu. Kami sampai disana dengan keringat bercucuran dan hendak menangkap ikan atau semacamnya.
              Aku dengan cekatan menggunakan jaring yang lebih terlihat seperti raket badminton yang dirakit dengan jaring ring basket yang disimpul, menggerayangi ikan-ikan yang tidak terlihat kasat mata dari permukaan namun gagal menangkap satupun. Kali keempat percobaanku berhasil mendapat ikan seukuran ibu jari kaki Lisa yang kemudian kubawa pulang dan mati beberapa hari kemudian. Sepupuku yang lebih bodoh berusaha menangkap ikan dengan cara yang digunakan orang pedalaman yang mendiami muara-muara sungai dengan menusukan semacam tombak, namun sepupuku yang tak kalah udik menggunakan ranting yang panjang— yang ketika dia mendorongnya terlalu kuat kedalam air yang dangkal, ranting itu patah dan melukai lenganya hingga dia kesakitan dan dengan susah payah menahan tangis karena malu padaku. Sementara itu Lisa tidak begitu tertarik dengan ikan, dia lebih memperhatikan hal yang lebih langka, dia mengamati pohon-pohon kapas besar yang buahnya bergelantungan seperti kepompong dan duri-duri di pohon yang menyerupai jerawat salah satu fan Lisa. Aku melihat Lisa mengangkat-angkat kaki kananya untuk menggaruk belakang betisnya yang telah menerima sengatan nyamuk, dan di lengan tanganya sudah membekas tiga garis merah muda bertumpuk-tumpuk tilas garukan Lisa, begitu juga denganku, sepupuku, dan Ardi.
              Beberapa hari setelah kunjungan kami ke rumah paman, Lisa mengalami demam hebat. Ibuku sambil mengerutkan kening menyuruhku mengambil thermometer yang kutemukan bersembunyi dibalik tasbih-tasbih yang bergelantungan setelah pencarian paniku. Sementara kami berdua dilanda panic, Lisa tergeletak dipojokan kasur menggigil tak karuan sambil mengeluhkan nyeri pada sendinya yang menurut igauanya mau meledak. Lalu ibuku yang bergotong royong dengan bi Ratmi (tak pernah kusinggung sebelumnya) membuat kompres untuk Lisa dan membuatkanya minuman hangat yang oleh Lisa tak di hiraukan.
              Setelah ayahku pulang, dengan hampa dia memeriksa keadaan Lisa bagai seorang dokter kawakan yang tak lagi butuh peralatanya karena sudah terlalu pengalaman. Dia langsung merujuk Lisa ke dokter Bambang yang juga pernah mengkonsultasikan penyakit cacarku dan Lisa sewaktu kecil dengan memberikan resep macam-macam obat dan larangan makan ini dan itu. Dia adalah dokter terhormat yang juga aktif dalam organisasi amal dimana ayahku pernah menghabiskan satu setengah juta rupiah sebagai sumbangan untuk anak-anak timur yang terserang polio. Dia dokter tua berbadan gempal, sedikit albino dan berambut hitam pekat dengan warna semburat putih dipangkalnya karena sudah dua bulan tidak menyemir.
              Dia lalu memeriksa Lisa dengan kedokteranya yang sudah tersohor, dia memeriksa detah jantung Lisa, tekanan darahnya dan prosedur standar lainya, tepat seperti yang pernah Lisa mainkan dalam drama fantasinya. Dia melihat seksama ada bintik-bintik merah seperti campak dikulit Lisa (yang juga baru kami sadari) dan menghilang jika ditekan dan disana Lisa hanya terkulai Lemas seperti boneka bekas. Setelah pertimbangan ini dan itu dokter bambang merujuk Lisa untuk kerumahsakit karena dia membutuhkan infus dan lain-lain. Setelah debat kecil, Ayahku memutuskan untuk langsung membawa Lisa keumah sakit bersama Ibu yang matanya sembab karena gugup dan dengan kejam menyuruhku pulang seorang diri untuk meminta bantuan pada bi Ratmi untuk membawakan pakaian dan keperluan Lisa karena mungkin dia akan dirawat disana beberapa hari. Beruntung dokter tua itu menawarkan anaknya yang tak kalah gempal darinya untuk memberiku servis penuh dan mengantarkanku pulang.
              Setelah sampai dirumah dan menemui bi Ratmi yang tak kalah berantakan dari ibuku, dia menghujaniku dengan pertanyaan tentang keadaan Lisa, dan segera setelah kuutarakan alasanku pulang kerumah, dia langsung menuju kamar Lisa dan memberantakan lemali Lisa, mengambil beberapa pasang pakaian dan melesak ke kamar mandi untuk peralatan mandi Lisa yang sia-sia, orang sakit tidak mandi.
              Sesampainya dihalaman rumahsakit, kami berjalan menuju gedung rumahsakit secepat peluru dan menemui petugas resepsionis yang cantik seperti dalam majalah Lisa, hanya dia berpakaian lengkap dan memakai kardus putih kecil yang terbalik dikepalanya dan rambut yang disanggul dengan sumpit mie ayam seperti wanita jepang. Menyadari nafas kami secepat kelinci dan sedang terburu-buru dan terlalu malas memberikan peta, dia mengantar kami keruangan Lisa. Dia berjalan didepan kami, melenggak-lenggok layaknya sedang ada seorang lelaki kaya dan tampan dibelakangnya. Aku bisa mencium bau alcohol sangat kuat saat kami memasuki lorong bangsal tempat ruangan dihuni 5 hingga 8 pasien, saat aku menengok kesana para keluarga pasien berceceran disana-sini dengan pakaian lusuh, wajah berminyak dan memegang benda seadanya untuk mengkipas-kipas lehernya. Keluar dari lorong kami melintasi koridor yang ditengah keliling gedung tingat 3 terdapat taman seadanya, dan tepat disudut terdapat pintu ruangan dekil dengan gembok karatan yang mungkin tempat tinggal hantu tukang kebun yang mati tidak wajar seperti dalam film-film horror konvensional. Semua tentang rumahsakit sudah dibuat sedemikian rupa untuk membuat penghuninya tidak krasan.
              Kami tiba didepan pintu kaca berbingkai alumunium yang bertuliskan VIP (dokter lebih ramah, biaya kamar hotel berbintang) dan saat aku hendak membuka pintu, pembimbing kami berpamitan dan mendoakan agar Lisa lekas sembuh dengan gaya seorang salesnya (terimakasih cantik, sampai jumpa didepan). Lisa terbenam dalam tidur saat kami tiba disana, mungkin dokter memberinya suntikan parasetamol dosis dinosaurus hingga dia bisa beristirahat dengan nyaman mengingat igauan Lisa sebelumnya menyerupai orang kesurupan. Dua orang pengangguran yang menanti lotre menungguinya disampingnya dengan wajah harap-harap cemas. Lisa memiliki lemari pendingin dan kipas angin sendiri, dan jendela sedikit usang yang sulit dibuka karena musim penghujan. Di pojok, diatas meja, tergeletak koran kadaluarsa bekas penghuni sebelumnya yang dengan ceroboh pengurus kamar lupa menyingkirkanya. Ibuku dan bi Ratmi lantas mengobrol berdua dan ayahku keluar ruang untuk menhindari percakapan mereka, dan aku bergentayangan disana menebak-nebak apa yang ada dalam mimpi Lisa.
              Dua kali dalam sehari Lisa diperiksa Ibu dokter, kali ini dia mirip dengan dokter gigi yang memeriksa gigi bagian atasku yang rontok ke genggaman tanganku secara misterius dalam mimpi yang kualami sehari yang lalu (setelah kutelusuri, itu adalah alarm kematian). Dia memberi pertanyaan ala dokternya yang sok bersahabat dan menulis catatan rahasia tanpa menggunakan meja. Beberapa jam sehari perawat datang untuk melihat keadaan Lisa berdasar jadwal giliran yang sudah diatur. Pagi hari Lisa dikunjungi Perawat jelek berjilbab, berkerudung dan berpakaian kedodoran yang membuatnya terlihat lebih tua sepuluh tahun. Menjelang sore aku melewatkan kunjungan perawat berikutnya karena kelaparan dan kamar Lisa yang membosankan. Sekitar pukul setengah Sembilan Lisa mendapat giliran perawat laki-laki yang dengan gaya robotnya memberikan Lisa suntikan di pantatnya (untung Lisa sedang tidak berdaya). Serobot apapun dia saat melakukan pekerjaan terlarang itu, diluar pintu VIP bibirnya menyeringai karena sulbinya tersulut (dasar brengsek!). Lisa mendapat jatah makan teratur: pagi hari, bubur ayam dengan sayuran kurang menarik yang menghiasinya, kerupuk, plus susu apek yang biasa membuat ibu hamil muntah-muntah; Siang hari segugus nasi, tempe, daging giling yang dicetak seperti batu, dan soup sayur hambar (sebenarnya semua hambar bagi Lisa); Malam hari—aku lupa apa menu makan malam Lisa dari rumahsakit, dia lebih memilih makanan pembelian Ibuku dari warung warung illegal di sekitar rumahsakit yang tidak lebih sehat.
              Hari pemeriksaan berikutnya, saat bu dokter menggerayangi Lisa, ekspresi wajah keriputnya berubah dari ramah yang dipaksakan menjadi murung, serius dan menyebalkan. Lisa mengalami keadaan kritis dan dipindahkan ke ruang ICU yang sesenyap lautan (malaikat sudah bersiap-siap). Dia teronggok lemas sampai-sampai tak sanggup mengekspresikan penderitaanya, jika seseorang melempar bola tenis kemukanya dia tak akan bergerak kurasa. Ibuku menangis lagi seperti Evan kecil, dan ayahku sama cemasnya dengan semua orang. Dia mengajaku ke masjid untuk berdoa untuk Lisa, sepanjang perjalanan kami ke masjid dia tak mengatakan sepatah katapun, diam seperti pohon.
            Ketika kami berdoa menengadah kearah langit-langit masjid yang jamuran karena atapnya bocor, mungkin malaikat yang budiman akan menimbang-nimbang perintah Tuanya untuk mengeksekusi Lisa. Tapi yang terjadi bukanlah seperti itu, mereka selalu skeptis dengan  doa-doa macam yang kami panjatkan, tak lama, malaikat mengasah sabit ulungnya dan menukik ke ruangan Lisaku, (tuan algojo yang berpengalaman, tolong prosesinya lebih cepat dan sebisa mungkin tak disadari oleh Lisa).
Saat kami dua laki-laki lontang-lantung ini kembali ke ruangan Lisa, teriak tangis terdengar di sana-sini, Lisa mati ditangan penyakit sialanya, mati seperti orang-orang lain mati, mati seperti ikan yang kubawa dari kolam keparat tempat asal mula kematianya. Aku terkoyak, seperti terjatuh, ambruk dan tergeletak, tapi kenyataanya aku berdiri disana, keringat dingin keluar dari sekujur tubuhku, mulutku kering dan pahit dan pita suaraku membeku, jantungku mau pecah, kepalaku kosong seperti bola pingpong, tubuhku mematung, dan pelukan manapun tak kuasa membuatnya tergerak.

Lisaku, pengasuhku, sahabatku, cintaku, idolaku, meninggalkanku disamping rak buku, membiru dan membatu.

Chapter 3

3
            Aku mempunyai hubungan yang dekat dengan kakak perempuanku Lisa, jika kuhubung-hubungkan dengan transformasi abnormalku mungkin dialah yang kurang lebih mewariskan kefeminimanku. Dia mempunyai banyak majalah-majalah gadis (yang aku hanya gemar melihat gambarnya) yang disusun rapi disamping lampu belajar kekanak-kanakanya, berisi tips-tips kurang penting, ramalan bintang, gossip dan kegiatan-kegiatan artis tertentu yang menggelikan. Sewaktu kecil aku sering memergokinya sedang bermain acting dan bereksmerimen dengan rambut dan pakaiannya, sesekali dia berperan sebagai majikan kejam atau sesekali menjadi seorang putri melankolis yang menyedihkan, tapi bagian yang paling kusuka adalah ketika dia melihatku memergokinya lantas kemudian dia pura-pura tak perduli atas kehadiranku dan melanjutkan dramanya.
            Sedikit banyak aku kenal dengan teman-temanya, nama mereka ini dan itu, beberapa aku mengingatnya dan sisanya hanya lewat. Aku menjadi faforit mereka, semua dari mereka bermimpi merebutku dari pelukan Lisa—mengadopsiku menjadi adik kecilnya seperti mereka mengadopsi peliharaan anjing dan kucingnya yang kelak diperlakukan seperti obyek mainan yang layak disayang dan patut dibuang. Mereka sering bermain dirumah, membuat kebisingan ini dan itu, menjailiku dengan pertanyaan- pertanyaan konyol mereka dan memasukanku dalam permainan aneh-aneh mereka. Perlakuan Lisa saat mereka berada di rumah sering menunjukan protes atas perlakuan-perlakuan teman-temanya yang terlalu memanjakanku, tak seperti Ibuku yang selalu memamerkanku, Lisa tak terlalu ambil pusing dengan segala prestasiku (apa yang bisa membuatmu membanggakanku Lisa?), bukan iri, dia hanya lebih mengenalku daripada siapapun, dia apa adanya dan selalu memperhatikanku. Awal decade kehidupanku paling banyak kuhabiskan bersama Lisa, dia tak banyak menghakimiku, tak terlalu menyuruhku ini dan itu—jika dia melakukanya, itu selalu bisa kupersetujui tanpa keluhan. Dia sangat dekat denganku, tetapi tidak begitu dengan penghuni rumah yang lain, dia cenderung cuek dengan ayah dan ibuku. Sebagai adik aku mengukur-ukur—dia selusin kali lebih pintar dariku, apa yang dikatakanya selalu benar bagiku, seperti buku matematika.
            Tidak sepertiku, dia tidak menuruni tampang tionghoa dari ayahku, dia lebih mirip ibuku (kami bukan anak adopsi seperti Pip dan Estella), dia remaja tercantik yang pernah kutemui, berambut hitam panjang, tinggi, berat badan ideal, kulit sawo matang, mata indah dan bagian-bagian menarik lainya, dia adalah idola pada pandangan pertama, dia imajinasi liar pemuda-pemuda penuh semangat untuk menghasilkan reaksi-reaksi ajaib, Lisaku role idolku.
            Aku secara otomatis dijadikan koneksi oleh para penggemar-penggemarnya untuk bisa berhubungan dengan Lisa (aku diberi recehan), untuk mengirimkan surat-surat picisan, hadiah murahan, atau salam malu-malu mereka. Ada Fajar dengan rambut Elvis, Hafy dengan tubuh petinju dan wajah sopir truk, Jaya dengan jerawatnya yang serapat rintik hujan, dan lain-lain. Mereka selalu bisa menemuiku di tempat-tempat dimana kuberada secara mengejutkan, berbisik-bisik padaku seperti membaca mantra dan menyerahkan paketnya padaku, aku selalu dapat dipercaya, dan hari berikutnya mereka akan menayaiku dengan gaya reporter maniak (reporter majalah-majalah Lisa) tentang respon Lisa, sehingga memberiku tugas untuk mengarang-ngarang fiksi agar mereka tak terlalu patah hati, dan tanpa mengetahui tanggapan-tanggapan Lisa dibalik kebohonganku, mereka mendengarkan beritaku dengan senang hati dan melakukan hal yang sama beberapa hari kedepanya hingga tiga atau empat kali. Dengan ekspresi curiga Lisa bertanya padaku “dapat berapa?” tiap kali aku mengirim paketnya, semua hadiah diparkir dikamarnya—disana-sini, dimasukan kotak dan sebagian digantung. Sebagian surat benar-benar dibacanya, tapi sebagian tak digubris begitu melihat nama pengirimnya, tapi semuanya tak ada satupun yang dibuang—dimasukanya dalam kotak seperti nasi goreng dalam bekal makananku (mungkin dia ingin membuat rekor), dan tidak ada satupun yang menerima balasan setimpal, seperti sekerdar “terimakasih”, “aku juga” atau “benarkah?”. Seperti apapun mereka nampaknya tak ada laki-laki yang cukup baik baginya, dia menunggu kodok yang berubah menjadi pangeran, pangeran dengan kuda putihnya, pangeran yang mencium dalam tidurnya, pangeran yang menjelma menjadi monster, pangeran dengan sebelah sepatu kacanya, dan seterusnya.
            Waktu itu, seiring dengan pembatasan orang tuaku atas uang jajanku supaya aku tak berubah menjadi ratu belanja atau semacamnya, aku sering mencuri uang Lisa. Setelah pertimbangan mendalam antara baik dan buruk, dermawan dan pencuri, aku melakukan perjalanan paling menegangkan dari kamarku kekamar Lisa, mengendap-endap (meski aku tak didesain seperti Hobbit), dengan penuh waspada, menuju kotak celengan  Lisa yang terbuat dari kaleng bekas tempat biscuit. Suara sekecil apapun yang menyelaku saat melakukan pekerjaanku, terdengar seperti tsunami,   kemudian setelah setibanya disana, dengan susah payah dan penuh kerja keras aku membuka tutup kaleng yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk mencegah orang-orang sepertiku dan mengambil beberapa lembar dan kepingan rupiah, memberantakinya untuk meninggalkan kesan tak tersentuh, lalu kututup kembali (dengan susah payah juga) dan kuatur kaleng itu persis seperti  posisi yang oleh usaha terbaik ingatan fotografiku telah menangkap setiap detail sudut posisi semula kaleng itu.
            Lihat bagaimana aku mendramatisir kejadian pencurian. Itu juga turunan Lisa.
Tindak kriminalku itu kulakukan beberapa kali hingga akhirnya terakhir kali aku membuka kotak harta karun itu kutemukan secarik kertas peninggalan Lisa (yang telah diam-diam mencurigaiku) bertuliskan “Aku tau kau suka membaca majalahku”, dan seketika darahku menggumpal dijantungku, aku segera meninggalkan kotak itu dan melarikan diri kekamar, menjatuhkan wajahku ketempat tidur, dan nyaris membuat keputusan antara bunuh diri atau membunuh Lisa. Semenjak itu aku bersumpah demi apapun aku tak akan mengusik kekayaan Lisa. Apa lagi yang kau ketahui Lis? Ya ampun.

Aku sempat diliputi kecanggungan yang tak tertahankan karena ulah Lisa— maksudku ulahku. Dengan keusilan dari sisa-sisa rasa dendam Lisa, sesekali dia meledeku dengan melontarkan kata-kata menusuk yang terselubung dalam leluconya yang centil seperti “Ambil saja dikamarku, aku akan pura-pura tidak tau” atau “Sudah ada edisi terbaru lho”. Meski begitu, Lisa adalah penjaga rahasia paling mengagumkan, seperti dia menjaga kotak uangnya, dia tak pernah mengadukan kenakalan-kenakalanku pada orang tua kami. Setelah kejadian itu, Lisa justru terbuka padaku untuk membagikan sebagian hartanya saat aku terhimpit masalah ekonomi.

Chapter 2

2
Seingatku, aku mulai tertarik pada wanita sejak berada di taman kanak-kanak. Dia gadis berwajah boneka, rambutnya seleher, dan dia adalah putri dari seorang pemilik toko mainan terkenal di tempatku. Itu hanya pikiran anak-anak konyol yang masih menangis karena terpisah dari ibunya sejauh lima meter. Dan setelah aku bertemu kembali dengan gadis tadi saat dia masuk ke SMA dimana dia bersekolah sebagai adik kelasku, rasa suka itu tak tersisa samasekali. Lalu saat menginjak sekolah dasar, aku mulai berimajinasi dengan aku sebagai tokoh super hero yang menyelamatkan gadis-gadis.
            Saat kelas lima SD aku sudah digosipkan menjalani hubungan dengan beberapa gadis— kalau aku tidak salah ingat tiga atau empat gadis: mereka memakai rok tak tau aturan, kaus kaki dekil, dan sepatu dengan noda disana-sini. Saat itu gossip seperti itu adalah bahan olok-olok paling mengerikan yang bisa membuat anak seumuranku tidak bisa tidur, membuatku canggung dan terpinggirkan, dan dalam beberapa kasus yang lebih serius, dapat menyebabkan pertengkaran hebat dan adu mulut tak sopan, dan tak jarang menyebabkan tangisan menyedihkan. Aku pernah membuat salah seorang temanku menangis karena aku melempar lumpur kearah gadis kurang ajar yang secara bertubi-tubi menuduhku buang angin saat dia sedang makan (aku memang melakukanya, tapi tak kuduga dia akan bisa mendeteksi bahwa itu berasal dariku), dan seketika semua teman-temanku menyalahkanku, dunia seperti menyalahkanku, dan jika dia tak berhenti menangis saat pelajaran dimulai dan guru masuk kelas, aku harus menghadapi petanyaan-pertanyaan yang membuatku ingin bunuh diri tentang apa yang terjadi sehingga gadis malang itu menangis, dan tamatlah riwayatku. Itu pertamakalinya dalam seumur hidupku membuat seseorang menangis, salah satu ingatan masa kecil yang belum terlupakan olehku.
            Aku bersenang-senang disana, saat itu pula aku terkena penyakit cacar pertamaku, salah satu hal paling menyakitkan yang terjadi dalam hidupku, satu dari sepuluh anak-anak disekolahku terjangkit cacar hanya dengan kadar keparahan yang berbeda. Aku masih ingat betapa penyakit itu membuatku gila, aku terlihat seperti makhluk lain—seperti monster atau semacamnya. Ibuku diberitahu orang-orang mengenai cara pengobatan ini dan itu, semua dipraktikanya padaku (aku kelinci percobaan, dia perisetnya). Dan saat penerimaan rapor, semua orangtua datang ke sekolah dengan berdandan layaknya sinden dan memakai perhiasan— gelang emas (mungkin beli dari toko ayahku) dari pergelangan tangan hingga siku. Aku sering mendapat nilai bagus disana, itu sebabnya ibuku sangat senang ketika mengambil raporku, dia akan membangga-banggakanku seperti piala atau semacamnya. Aku sering dipamerkanya pada teman-temanya karena aku pintar dan penurut, menceritakan tentang kebrilian-kebrilianku pada mereka secara berlebihan seperti dalam komik dan aku tak bermasalah akan hal itu, itu membuatku menjadi idola dikalangan teman-temanya, jika mereka memarahi anak-anaknya karena kenakalan bodoh, mereka akan menyebut namaku sebagai acuan berperilaku baik dan benar seperti tuturan ibuku saat memamerkanku. oh jika mereka mempunyai seorang anak gadis aku tak akan menemui kesulitan untuk menjadi menantunya.
            Peristiwa sexual pertama yang menimpaku bukan datang dari gesekan-gesekan langsung dengan bentuk-bentuk fisik ramping para perawan-perawan. Hal itu terjadi, namun bukan secara langsung di tempat-tempat rahasia para pemuda-pemuda bejat biasa melakukan dosa keji pada masa pembentukan-pembentukan kepribadian gadis-gadis lugu yang beranjak menjadi wanita anggun dan bermoral kelak (harapan kita). Bagi kami anak-anak praremaja, pendidikan sex masih dianggap tabu, bahkan pembicaraan-pembicaraan tentang pendewasaan bagian-bagian tubuh tertentu manusia, sebisa mungkin dihindari agar tak menimbulkan pikiran neko-neko menodai pikiran-pikiran polos kami (apa kau bilang? Polos?Kau gila!). Pertama kami akan mendengar semacam kode-kode misterius yang dibawa angin sepoy yang akan memancing gairah keingintauan kami seperti: basah, keluar, bukan kencing, mimpi, klimaks dan istilah-istilah lain yang nuraniku mencegahku untuk berlanjut mengatakanya. Lalu dalam petualangan mengasyikan memecahkan kode-kode tersebut kami akan bertemu peristiwa dan hal-hal baru yang mendatangkan reaksi ajaib pada tubuh belia kami dengan meniru adegan pada lukisan Picasso La Reve.
            Pengetahuan-pengetahuan itu datang dari tempat misterius, dibawa angin dan burung-burung, tak ada malaikat paling mulia dapat mencegahnya masuk ke kuping-kuping menganga kami, bahkan bukan orang tua manapun yang mentabukanya. Jika para orang tua akan menyelidiki bocah-bocah ini tentang apa yang mereka ketahui tentang hal-hal tersebut, mereka akan menemui penyangkalan-penyangkalan paling bodoh yang dapat tercipta.

            Segala hal seperti itu tak akan didapat dari bangku sekolah manapun, mereka memusuhinya, tak ada seorangpun dari kami yang dapat dengan bebas mengulasnya secara blakblakan, kami dianggap kurang dewasa untuk mempelajarinya secara benar dan dibawah pengawasan yang serius seiring dengan batasan-batasan kesopanan yang ketat dari masyarakat (aku tumbuh di lingkungan seperti itu). Jika seorang periset melakukan penelusuran pada kami tentang darimana pengetahuan seperti itu didapatkan, mereka akan menemui cabang-cabang yang mengagumkan. Jika anak pada pra-belasan tahun seperti kami mengetahui tentang sejarah kemerdekaan atau dapat mengakarkan angka-angka yang rumit, dapat disimpulkan mereka mengetahuinya dari buku-buku sejarah sekolahan dan penjelasan para guru. Dan jika kami dapat bermain catur atau bermain kartu, tak perlu penjelasan panjang lebar kami akan bisa memainkanya dengan melihat orang lain bermain beberapa kali dan menjadi lebih ahli seiring jam terbang permainan kami. Mungkin penjelasan yang paling dekat dari penyampaianku yang penuh teka-teki adalah seperti ini: Aku pernah mengadopsi seekor anak kucing, dia kubesarkan tanpa ada induknya yang menaunginya, dan pada umur setahun kurang lebih, dia bisa berburu tikus dan membersihkan bulunya dengan lidahnya sendiri dan lain-lain. Dan dibandingkan menuntun kami dengan bijak dan canggung mengenai hal-hal itu, para orang tua cenderung membiarkan pengetahuan tentang hal seperti itu mengendap-endap seperti maling masuk ke sela-sela paling kering melalui celah paling putih bagian otak kami.

Chapter 1

PART 1
 LITTLE EVAN

1
**Writing..

PROLOG

PROLOG
Aku Evan Hanafi, namaku tidak pernah diubah karena membawa sial, sakit-sakitan atau kesalahan dalam penulisan akta kelahiran, teman-teman masa kanak-kanaku yang brengsek menambakan imbuhan -nya dibagian belakang sehingga menjadi Evanya untuk bahan ledekan yang mengubahku menjadi seorang gadis kecil tak berdaya.
Aku disulap oleh orang gila dengan rayuanya yang gaib dalam pengungsian menjadi seorang pecinta yang ganjil, dan hanya Tuhan yang tau bagaimana bisa. Aku dikutuk oleh agama dan norma dan bersembunyi dibalik sisa-sisa diriku yang masih bisa terlihat normal.
Aku bukan dia pria yang normal, atau dia wanita yang normal, aku juga bukan bintang porno yang dicekoki obat-obatan untuk adegan rangkap tiga. Aku mencintai dia dan dia, aku adalah Orlando dan Mrs. Dallowey dalam Curahan Woolf, Aku adalah Natalie sebagai angsa dan Gylenhall di belakang gunung pada layar lebar. Aku telah coba dibahas dalam artikel Demograpic of Sexual Orientation, Biology and Sexual Orientation, Evironment and Sexual Orientation, dan banyak lagi. Aku dikatakan oleh Freud sebuah kewajaran, aku disimbolkan dengan warna merah hati, ungu dan biru dalam bentuk persegi panjang, dua segitiga yang bersinggungan dan dua bulan sabit yang saling membelakangi.

Saat seseorang berbicara bahasa Jepang, kau tak akan tau sebuah kalimat berita atau tanya jika kau belum sampai pada suku kata terakhir. Sebelum orang ini menginjak kepala empat, ijinkan  kukupas terlebih dahulu seperti kulit jeruk, kukeluarkan isinya, dan sari-sarinya akan kulukiskan secara kronologis sejauh kapasitas usahaku mengingat masih bagus. Maka dari itu pembaca terhormat, simaklah dengan bijak cerita seorang berkelainan ini, bagaimana pribadi sepertiku yang benar adanya tercipta.