No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Selasa, 13 Oktober 2015

Diary as Tool in Writing



Artikel ini adalah summary dari tugas mata kuliah Bahasa Indonesia untuk pembuatan PKM (GT)

Paul Engle, penyelenggara Internasional Creative Writing di Universitas Iowa Amerika Serikat sebagaimana yang dikutip Ismail Marahimin, pernah berkata menulis itu sama sekali tidak dapat diajarkan. Hal itu mungkin tak sepenuhnya benar, karena dorongan menulis seseorang dalam hal ini menulis fiksi, selain bakat dan minat juga diperlukan motivasi dari luar dirinya. Apalagi bila diingat dalam dua decade, semua itu juga didukung oleh gencarnya penerbitan fiksi sebagai motivator yang lain dan amat membantu. Diyakini bahwa gencarnya penulisan fiksi tersebut berambivalensi dengan meningkatnya jumlah pembaca.
Sesuai teori ekonomi, jika ada konsumen, tentulah ada produsen. Dengan kata lain, menulis merupakan pekerjaan produktif dan memiliki prospek masa depan yang cerah. Persaingan diantara sesama penulis untuk berebut tempat melalui penerbit yang berupah besar dan berbobot semakin kentara, karena semakin tinggi dan berbobot  suatu penerbit yang memerlukan karya fiksi baru, semakin tinggi pula bayaran untuk penulis. Dengan demikian, penerbit pun bersaing dalam memilih karya yang bagus dari penulis-penulis andal. Semakin mahal bayaran yang diberikan penerbit kepada penulis, biasanya semakin dapat diandalkan mutu karya fiksi yang diterbitkan.
Diterbitkanya suatu karya fiksi, baik puisi, cerpen, maupun novel, mau tidak mau harus melalui proses seleksi oleh suatu tangan yang bertanggungjawab. Banyak karya-karya yang dikirim tidak diterbitkan dengan alasan tidak layak terbit setelah melalui pertimbangan (seleksi) editornya.
Satu hal yang amat penting yang menjadi dasar pertimbangan penerbit untuk memuat atau tidak suatu karya fiksi adalah konsumen pembaca. Jika suatu karya yang dikirim dianggap memenuhi selera pembaca, maka karya tersebut layak disajikan kepada pembaca. Dari uraian tersebut didapat kesimpulan bahwa pertimbangan penerbit mengandung nilai komersial disamping nilai-nilai estetika. Bahkan nilai komersial dapat mengalahkan nilai estetika suatu karya fiksi. Karena itu, banyak para pakar yang mengatakan bahwa saat ini, karya-karya yang terbit dengan  mengutamakan nilai komersial “berbeda” dengan karya fiksi yang bermutu sastra. Hal ini  diperkuat oleh pendapat Sapardi Djoko Darmono (1983: 58) tentang cerpen yang dimuat dimedia masa terselip diantara artikel-artikel tentang “resep dapur” atau “menata rambut” dan tak lebih dari bacaan perintang waktu.
Saat ini, buku yang membahas teori dan aplikasi dalam menulis keratif untuk menghasilkan karya yang bagus dan memiliki nilai estetika tinggi masih dirasakan kurang, dan kebanyakan hanya memberi penjelasan teori dan kurang praktis. Untuk itu, melalui karya tulis ini, penulis berusaha memberikan alternatif untuk mendukung proses kreatif dalam menulis untuk menghasilkan karya yang memiliki nilai estetika tinggi.
Karya fiksi yang baik adalah yang dapat menggambarkan sebuah peristiwa, cerita, tokoh, latar, dan karakter tokoh menjadi begitu hidup. Fiksi yang baik juga harus mampu menyentuh dunia kedalaman, peristiwa yang dilukiskan harus memiliki makna yang mendalam. Puisi, mengutip dari T.S. Eliot, mengatakan bahwa puisi yang bagus adalah yang dapat terhubung dengan pembaca bahkan sebelum maknanya dimengerti.
Keterlibatan diary dengan penulisan fiksi tak terlepas dari bagaimana sebuah fiksi dapat menggambarkan suasana menjadi hidup dan terasa nyata bagi pembaca sehingga mereka dapat terhanyut didalamnya. Penulis besar Tom Clancy berpendapat bahwa, perbedaan fiksi dan kenyataan adalah dimana fiksi harus masuk akal. Maka dari itu, fiksi harus menjulurkan fakta-fakta, lebih benar faktanya, maka akan lebih baik fiksinya (Woolf: 1989). Banyak ahli sastra lain yang berpendapat bahwa logika peristiwa dan yang terjadi dalam sebuah karya fiksi harus mencerminkan keadaan nyata atau realita, teori tersebut bertolak dari paham mimesis yang menyatakan bahwa karya seni merupakan tiruan dari alam (fakta). Namun, teori itu seharusnya tidak diterima mentah – mentah, karena bagaimanapun, karya seni— termasuk karya sastra— memang berangkat dari fakta yang kemudian dipadu dengan imajinasi pengarang hingga menghasilkan fakta “baru” (Thahar: 1999). Untuk dapat melakukan hal ini, penulis harus dapat melakukan observasi mendalam tentang apa yang akan dituliskanya. Salah satunya, hal itu dapat dilatih melaluli penulisan diary yang baik secara rutin. Kebiasaan menulis diary akan menghantarkan penulis untuk  menuju kepekaan estetis, secara sepintas akan terpikirkan juga ide cerita yang berkelebat dalam pikiranya. Masalahnya sekarang, bagaimana cara memulainya, mengekspresikan dirinya melalui media tertulis.
Diary telah lama digunakan sebagai alat refleksi dalam pembelajaran bahasa (Eton 2008; Parkinson, Benson, & Jenkins. 2003). “Kau ingin menulis, kau harus tetap jujur, sebuah jurnal yang tidak dipublikasikan, yang tidak pernah dibaca oleh siapapun kecuali kau seorang” Madeleine L’Engle (2006) memberi tuturan melalui nasihatnya dalam mendukung cita-cita menjadi penulis. W.H. Auden (2011) menggambarkan jurnalnya sendiri sebagai “Kedisiplinan untuk mengatasi kemalasan dan kekurangan observasi dalam dirinya”. Menulis diary adalah pembelajaran praktis untuk seseorang secara sadar hadir sebagai dirinya sendiri, menjadi saksi atas pengalaman-pengalaman, dan benar-benar mendiami kehidupan dalam dirinya (Papova: 2013). Di dalam diary, penulis menuangkan kenyataan dengan jujur dan apa adanya sesuai fakta yang terjadi, semakin intens sebuah diary, maka akan semakin dalam juga observasi yang dilakukanya.
Anaïs Nin mungkin adalah salah satu penulis diary yang paling lama dalam sejarah, dia menulis diary pada umur sebelas tahun dan tetap melanjutkan kebiasaanya itu hingga kematianya pada umur 74 dengan menghasilkan 16 volume jurnal. Ketika memberikan kuliahnya di Darthmouth pada tahun 1946, dia berbicara tentang peran diary sebagai pembelajaran yang tak ternilai harganya dalam mengasah kemampuan menulis. Menulis diary seumur hidup membantu untuk menemukan elemen dasar sebagai kekuatan dalam menulis, menggali  penemuan dari kebiasaan-kebiasaan tertentu dan ditransformasikan kedalam jenis penulisan tertentu dengan kewajaran dan spontanitasnya, selain itu yang sebenarnya menarik adalah apa yang dirasakan oleh penulis paling kuat pada momen itu, yang kemudian akan memberikan suatu semangat, antusiasme yang menghasilkan gambaran hidup, improvisasi, kestabilan mood, gambaran, potret, deskripsi, sketsa, dan eksperimen yang mendukung materi penulisan, (Anais Nin: 1946).  Selain itu, dalam kuliahnya, dia berpendapat menulis diary juga berfungsi untuk menterjemahkan dari subjectivitas ke universal.
Selain berguna untuk memberi gambaran yang jelas mengenai keterjadian, diary juga melatih observasi dalam hal pemikiran. Buku diary berguna secara sadar dan disengaja dalam perkembangan spiritual yang menyakitkan, kemudian penulis akan tau keberadaanya dan diary yang intim akan menarik saat merekam kebangkitan sebuah ide, atau kebangkitan pemikiran ketika masa pubertas, maupun perasaan diri saat sedang sekarat (Gide: 1948). Dengan menulis diary penulis lebih dapat melatih penglihatanya untuk melihat lebih jelas tentang apa yang terjadi dalam diri seseorang dan dunia sekitar. Penulis yang baik terlihat seperti menulis tentang dirinya sendiri, tetapi matanya selalu tertuju pada kehidupan semesta yang terjadi melintasi dirinya dan segala hal (Emerson: 1982).
Lebih dari itu, menulis diary dapat digunakan sebagai alat disiplin diri dan pembentuk kebiasaan dalam menulis. Dasar dari penulisan adalah kedisiplinan seseorang dalam menulis, baik itu disiplin dalam materi maupun bahasa, jika disiplin hilang maka penulisan akan rusak, juga dalam menulis, kebiasaan dapat menjadi kekuatan yang lebih hebat daripada tekad maupun inspirasi (Steinbeck: 1989 ).
Kegunaan lain diary yang tak kalah penting adalah membantu proses pemikiran. Dengan kontinuitas menulis, proses pemikiran akan sangat terbantu. Rapley (2007: 25) meringkaskan dalam bentuk umum peran krusial menulis dalam proses berfikir:
Menulis adalah berfikir. Hal yang alami untuk percaya bahwa kau perlu menjernihkan pikiran tentang apa yang akan diungkapkan pertama kali sebelum menuliskanya. Bagaimana pun juga, kebalikanya memang benar. Kau mungkin berfikir kau punya ide yang segar, tapi hanya dengan menuliskanya kau bisa yakin bahwa kau benar-benar memilikinya.
Lebih jauh lagi, John Steinbeck, penulis besar Amerika adalah salah satu contoh konkret penggunaan diary sebagai alat disiplin dalam penulisanya. Disamping penerbitan novel The Grapes of Wrath yang menghantarkanya meraih Pulitzer Prize di bidang sastra pada tahun 1940, juga diterbitkan Working Days: The Journal of The Grapes of Wrath, sebuah catatan jurnal penting yang merekam perjalanan kreatifnya. Ini menujukan bahwa faktanya, jurnal harianya menjadi praktek yang menunjang karyanya meraih penghagaan tertinggi dalam bidang sastra.

Langkah-langkah  yang perlu dilakukan dalam menulis diary adalah:
1.      Kesendirian dan bebas dari gangguan
Seseorang tak akan pernah cukup sendiri untuk menulis (Sontag: 2008). Hal-hal yang dirasakan saat seseorang sedang sendiri lebih kuat dan segar (Delacroix: 1995). Urusi saja urusan yang benar-benar bertatapan muka. libatkan diri hanya dengan perasaan yang terpanggil oleh kegunaan yang efektif dan dibutuhkan oleh pikiran untuk kepentingan inspirasi (Weil: 1970). Menulis dibutuhkan ketenangan untuk mendapatkan konsentrasi dan fokus menulis, namun tentu saja hal ini berbeda untuk setiap orang. Namun dikhawatirkan gangguan yang datang dari orang-orang sekitar dapat berpengaruh dalam penulisan. Seorang penulis butuh kesendirian, kemungkinan atau ekspektasi konstan  untuk terganggu adalah awal dari melemahnya tekad untuk menulis, pikiran akan dipenuhi skema yang tidak terlalu berguna dan banyak ide-ide yang gugur karena hilangnya kontinuitas pikiran yang disebabkan oleh gangguan-gangguan tersebut (Delacroix: 1995).
2.      Jaga Rutinitas
Tulis diary secara rutin setiap hari, apapun kondisinya, seberapapun tidak sempat, sehari sekali harus menulis diary, tidak ada alasan untuk tidak menulisnya. Sebaiknya tidak menunda apapun yang telah diputuskan untuk dilakukan. Seorang penulis yang menunggu waktu ideal untuk menulis akan berakhir tanpa satupun kata yang tertulis diatas kertas (White: 2006). Gunakan diary sebagai mekanisme untuk melangkah menulis, tetapkan jumlah tertentu dalam penulisan setiap harinya. Konsekuensinya, pasti akan ada tulisan yang berkualitas ketika pola kebiasaan dari jumlah tertentu kata-kata telah ditulis.
3.      Format diary
Pilih format yang akan digunakan untuk menulis diary yang nantinya praktis dan dapat diatur. Baik itu di computer, buku tulis, atau binder.

Kemudian prinsip-prinsip dalam menulis diary adalah:
1.      Apa yang terjadi
          Gambaran tentang kejadian, pengalaman, situasi, atau pengetahuan baru. Tulis dengan teliti, dalam setiap kalimat setidaknya tanyakan pada diri sendiri empat pertanyaan: 1. Apa yang sedang saya coba katakan? 2. Kata-kata apa yang menyertakanya? 3. Apa foto atau idiom akan membuatnya lebih jelas? 4. Apa gambar ini cukup jelas untuk berpengaruh? (Orwell: 2006).
2.      Perasaan dan reaksi
          Apa yang dirasakan mengenai sesuatu, dan bagaimana reaksinya. Curahkan keputus-asaan dan patah hati namun juga tuliskan sikap pertanggungjawaban dan motivasi diri untuk mengatasinya. Ceritakan tentang diri sendiri sedalam mungkin, terutama hal yang memberikan perasaan yang paling kuat. Ditulis dalam jurnalnya The Moments of Being, Virginia Woolf (1985: 65) menuliskan, “aku harus bilang bahwa aku mendapat keberuntungan untuk menulis apa yang harus ditulis (novel) saat menggambarkan diriku sendiri”
3.      Evaluasi
          Salah satu aspek penting dari menulis diary adalah catatan atas kesalahan-kesalahan kecil yang terulang, dan diikuti evaluasi ulang untuk menjadinya lebih disiplin (Steinbeck: 1989). Tuliskan percakapan positif dengan diri sendiri didalam diary untuk menghadapi keraguan. Sebagai penulis akan ada keraguan apakah dirinya sudah cukup baik dalam hal yang ditulisnya, dengan menulis percakapan dengan diri sendiri, akan membuat penulis merefleksikan keraguanya dan memotivasi diri untuk mengatasinya dan membuatnya menjadi lebih percaya diri. Serta putusan antara mana yang baik dan berguna, dan yang buruk dan tak terlalu berguna.
4.      Analisis
          Pertanyakan pada diri apa yang bisa dilakukan mengenai suatu informasi.  Mana yang harus disimpan dalam pikiran dan mana yang perlu diacuhkan. Perhatikan sekitar, tanpa gangguan dan lamunan, tapi juga tidak boleh terobsesi, tetap pada prespektif yang independen. Gunakan imajinasi dan refleksi untuk mendukung obsevasi saat menulis diary.
5.      Kesimpulan
          Pemberian kesimpulan dari satu periode (satu hari) menulis diary, apakah ada kemungkinan lain yang dilakukan saat menghadapi situasi yang sama dimasa datang, apakah ada yang terlewat, dan apakah ada yang perlu dilakukan selanjutnya.

            Hal-hal yang perlu diisikan dalam diary adalah:
a.    Apa yang dilakukan sehari-hari, tuliskan secara praktis;
b.    Hal-hal faktual mengenai apa yang dilakukan, orang-orang yang ditemui dan dikatakanya, buku atau tulisan yang dibaca, tempat-tempat yang dituju;
c.     Tuliskan percakapan yang berguna dan berpengaruh;
d.   Ide-ide yang ingin diingat atau ingin diikuti;
e.    Pertanyaan-pertanyaan yang ingin diperiksa dan diselidiki lebih lanjut;
f.     Saran dan anjuran tentang bacaan, rujukan informasi, cara-cara mengatasi masalah;
g.    Laporan hasil observasi, eksperimen, atau keterjadian;
h.    Kepingan-kepingan ide atau arahan;
i.      Catatan tentang Brainstorming;
j.      Renccana strategi untuk mengembangkan ide;
k.    Pandangan dan pendapat personal mengenai sesuatu;
l.      Analisis tentang masalah;
m.  ‘To do’ lists dan eksekusi dari rencana-rencana.

REFERENCE:
Woolf, Virginia. A Room of One's Own. New York: Harcourt Brace & Co., 1989
Steinbeck, John. Working Days: The Journals of The Grapes of Wrath. New
York: Penguin Books, 1989
Woolf, Virginia. Moments of Being: Autobiographical Writings. New York:
Mariner Books, 1985
Weil, Simone (1970). First and Last Notebook. London: Oxford University Press

Sontag, Susan. Reborn: Journals and Notebooks, 1947-1963. New York: Farrar,

Straus and Giroux, 2008

Gide, Andre, O'Brien, Justin (penj). The Journal of Andre Gide Volume II: 1914-
               1927. New York: Alfred A. Knopf (1948)

Orwell, George (2006). Politics and the English Language. Peterborough:

Broadview Press

Nin, Anais, Stuhlmann, Gunther (ed). The Diary of Anaïs Nin: Volume VI 1955-

1966. New York: Harcourt Brace Jovanovich (1976)

Waldo E., Ralph. Journals and Miscellaneous Notebooks of Ralph Waldo

Emerson. Boston: Harvard University Press (1982)

Delacroix, Eugene, Lucy N. (penj), Wellington H. (ed). The Journal of Eugene
Delacroix (Phaidon Arts and Letters). London: Phaidon Press London (1995)
Auden, W.H. Diary of W H Auden. London: British Library (2013)

Kent, Richard. A Guide to Creating Student-staffed Writing Centers, Grades 6-12.

Brussel: Peter Lang, 2006

Rosenberg, Aaron. Biography: Madeleine L'Engel. New York: Rosen Classroom,

2006

Parkinson, B., Benson, C., & Jenkins, M. (2003). Learner diary research with
‘Cambridge’ examination candidates. Edinburgh working papers in applied linguistics, n. 12, 45-63.
Rapley, T. (2007). Doing conversation, discourse and document analysis. Los
Angeles: Sage Publications
Engin, Marion (2011).  Research Diary: A Tool for Scaffolding. International
Journal of Qualitative Methods 10(3), Dubai
 Brainpickings.org

Kamis, 09 April 2015

Chapter 10



10
Mari beralih ke gulungan pita film selanjutnya, kubalikan halaman lain dari kehidupan masa laluku (Kuharap pembaca masih tahan dengan tulisanku yang penuh metafora berlebihan). Aku mencoba menyelipkan tangan-tangan rampingku untuk mengakses gambar-gambar secara keseluruhan, menelusur kabel-kabel memoriku yang sudah ruwet untuk memunculkan kembali saga familiku yang mulai ditelan usia. Dari neneku yang berdagang di pasar, kakeku yang mantan lurah berserta sawah berpetak-petaknya, dan berlanjut ke keturunanya, hingga aku dan Lis, sepupu-sepupu dan seterusnya. Juga Keluarga ayahku yang tak terlacak jejak darah yang mengalir dalam dirinya. Diantara rayapan-rayapan tanganku, penemuan-penemuan tertentu yang masih lumayan utuh akan kujabarkan melalui prosaku.
Aku menggali-nggali lagi lebih dalam variable-variabel independen yang memungkinkan untuk mempengaruhi transformasiku. Yang selanjutnya akan kuceritakan adalah suatu guncangan keluarga yang puluhan tahun mendatang tetap akan kuhujat dalam setiap pemikiran mengenai pasangan suami istri maupun pacar-pacaran, sebuah perselingkuhan.
Pertama. Penghujung 1996, bibi termudaku yang chubby dan manis terlibat suatu perselingkuhan ganas (aku tahu, agak berlebihan) ketika suaminya baru menjadi pamanku selama lima tahun. Namanya Joko, melihat kecanggunganya, aku bisa mengatakan bahwa dia masih Joko saat mempersunting bibiku, Suci. Meski wajahnya tambun, namun pinggang bibiku normal, pantatnya tidak bahenol dan dadanya hanya seukuran buah pir. Pamanku yang penurut (dilihat dari permukaan) berkulit gelap, rambutnya seperti serabut kulit kelapa, matanaya besar, tampangnya agak menyeramkan namun baik hati dan kadang kekanak-kanakan (menghindari percakapan dengan tetua keluarga besar dan memilih bergaul dengan keponakan-keponakanya).
Setelah kelahiran putra mereka yang hiperaktif, mereka sering cekcok. Sebagian besar pertikaian mereka bersumber dari perbedaan perspektif merawat anak laki-laki berusia empat tahun. Dibalik tampang seram dan kelemah lembutanya didepan keluarga lain (termasuk didepanku) Joko orang tua yang keras, teguran-teguran pada anaknya menyerupai pelatih basketku saat SMP (pasing yang benar bodoh! Lihat temanmu! Dimana matamu? Tidak masuk, Push up!). Bibiku yang juga keras, tapi tidak sekaras itu, memincingkan matanya pada suami gelapnya saat Joko mempraktikan kediktatoranya pada anaknya, Rio, zodiaknya Leo, menurut catalog Ros edisi minggu ketiga bulan Oktober, dia keras kepala dan sinting (iya, ingatanku setajam itu, hardisknya kelas satu).
Bibiku memiliki kios pakaian di pasar grosir Gladak Solo, Rukonya memiliki dua pintu, tempatnya strategis disudut perempatan gang, namun arah barat adalah arah ke Toilet, jadi jarang ada yang lewat sisi kiri mulut rukonya. Suaminya adalah petugas PAM, dia hanya bekerja pada waktu waktu tertentu untuk memeriksa kran air atau semacamnya, aku tak begitu mengerti. Namun perkerjaan utama mereka adalah merawat Rio, pertumbuhan sel-sel dan hormon-hormon pembentuk karakternya menghukum orang tuanya dengan tingkah gilanya. Dia lari kesana kemari seperti lempengan karambol, melompat-lompat bagai anak kanguru, dan berteriak tidak jelas. Dia tak mendengar perintah orang, satu-satunya yang diturutinya adalah saraf-sarafnya yang super hiper. Suatu ketika, dia menyusur kamarku dan bermain dengan miniatur biola pemberian Ros yang dibelinya di Malioboro setelah menawar selama 6 jam. Dia mengoyaknya seperti kertas, senarnya putus, lengan biolanya patah dan aku membencinya seumur hidupku. Rio adalah kata lain dari onar, Joko dan Suci adalah sepasang pawang gagal.
Jika ingatanku tak menyesatkanku, kala itu adalah malam Sabtu yang sunyi ketia Joko mendatangi Ibuku yang dianggap bijak untuk meminta pertolongan. Dia melaporkan perselingkuhan bibiku secara gamblang. Menurut kesaksian pesaing dagangnya, Parti, bibiku berselingkuh dengan seorang penarik setoran sewa kios bulanan. Dia tinggi, gelap juga, namun wajahnya dipahat dengan baik, hidungnya mancung dan raut matanya menawan.
(sebelum kulanjutkan, aku akan melenceng pada sebuah gambaran yang kudaur ulang dari karangan Flaubert. Diantara pohon-pohon yang menjulang, Emma Bovary menyerahkan dirinya pada sebuah kereta kencana yang ditarik kuda emas. Didalam kuil, yang menantinya adalah seorang pria kaya yang kedinginan karena kesendirian merajut dalam benaknya selama bertahun-tahun. Sang Madame melepaskan sepatunya, berlari kearah sang pria dengan liar dan melahapnya tanpa rasa malu. Roknya diangkat, korsetnya dilepas—kupercepat—tubuhnya tergoleh diatas ranjang berumbai, bergerak-gerak seperti kupu-kupu yang meronta-ronta  merobek kepompongnya dan merintih-rintih lantaran senang. Kemudian kembali ke pelukan Monsiour Bovary yang dingin tanpa rasa bersalah yang berarti.)
Tidak seromantis itu—ya, walau adegan perselingkuhan, itu lumayan romantis—kejadianya lebih menyedihkan. Kelakuan yang membuat Parti yakin untuk melaporkan penyelidikanya pada Joko adalah sebuah perbuatan bejat bibiku didalam ruang Toilet. Parti dengan mata kepala udangnya meyakinkan dirinya bahwa kegilaan sedang terjadi, Toilet itu hanya bisa dihuni satu orang saja, beberapa saat setelah penadah itu masuk, bibiku menyusulnya sambil celingukan. Setelah beberapa menit, mereka keluar, secara bergantian dan berjeda juga tentunya. Parti mual, dia tak sanggup melihatnya, memikirkanya membuat darah tingginya kambuh, dia meminum satu gelas penuh es teh dalam satu kali upaya.
Menurut pertimbangan Joko, istrinya tak akan melakukan perbuatan seronok itu. Ketidakpercayaanya akan fakta kebejatan istrinya menyeretnya kedalam “Logika Mistika”. Aku tak menangkap dengan jelas rapat yang digelar paman Joko dengan Ayah Ibuku diruang tamu bercahayakan bolam itu. Putusan mereka sudah bulat, mereka akan mendatangi orang pintar, mendakwa kegaiban dibalik penyelewengan bibiku.
Singkat cerita, secara mengejutkan pernikahanya selamat, aku tak tau apakah orang pintar memang benar-benar bisa diandalkan atau karena sebab lain. Perselingkuhanya berhenti, setelah gossip memalukan itu dibisik-bisikan didalam keluarga besarku dan pengasingan bibi dan pamanku lantaran malu, situasi kembali normal. Kami berkumpul saat lebaran tanpa bekas yang kasat mata. Rio masih tetap keranjingan dan percekcokan rutin mereka berlanjut.
Kedua. Anak perempuan tertua—kakak perempuan ibuku, Anik—melakukan hal yang sama, namun tidak dengan cara menyedihkan seperti bibiku. Dulunya dia adalah wanita paling berkelas dikeluarga, gemar membaca buku-buku bagus, pakaianya selalu mahal dan bermerek, tidak menertawakan lelucon murahan, dan menolak keras pergunjingan. Tapi setelah menikah dengan lelaki super tampan, lelaki kembang desa (lebih rinci, karakternya mirip denganku) yang malas, dia menjadi wanita penggerutu dan berteriak kapada semua orang. Dia menjadi Istri superior yang menakutkan mentang-mentang pendapatanya dua kali lebih besar daripada suaminya. Anak-anaknya adalah pembangkang yang sukses, hubungan keluarga ini begitu jauh, mereka tak pernah makan pada meja yang sama dan bercakap-cakap dalam ruangan bersama. Suaminya yang penyabar tak pernah mengetahui perselingkuhan istrinya sendiri hingga akhir hayat. Pengetahuan mengenai perselingkuhan yang satu ini dating langsung dari mulut tante Anik ketika membuat pengakuan kepada Ibuku setelah sepeninggal suaminya karena terseret truk. Setelah suaminya meninggal, dia tak pernah menikah lagi karena masalah restu dari kedua putra-putrinya. Meski demikian, hubungan gelapnya jalan terus, tak pernah terkuak lelaki macam apa yang mampu menculik hatinya dari genggaman suaminya yang tampan.
Setelah cerita tragis dalam sejarah keluargaku ini, bibit-bibit kebencianku terhadap wanita secara umum mulai tumbuh subur. Dalam sebuah hubungan, kecintaan terhadap lawan jenis tidaklah cukup, bahkan sebuah ikatan suci tak mampu merekatkanya selamanya. Mereka menginginkan lebih, yang beresiko, dan selalu panas—sebuah kebersamaan illegal yang terkutuk. Godaan murahan dan rayu-rayuan gombal mengambil keuntungan melalui kegelisahan seorang istri dan dengan sukarela tante-tanteku tertarik oleh gravitasinya keluar dari orbitnya. Membangun lorong-lorong tersembunyi yang menaunginya menuju tempat-tempat dimana jiwanya yang terluka dapat bergembira dibawah selubung perselingkuhan
Seiring dengan itu, kepercayaanku pada Ros goyah, pikiran-pikiran negatif dimalam kelabu menimbulkan segumpal kegelisahan baru. Mungkinkah, diluar pengawasanku yang longgar, Ros membuka dirinya untuk lelaki lain, didalam bus udik saat pulang sekolah, matanya mengkhianatiku dengan menatap remaja ganteng yang memberikan tempat duduknya. Skenario-skenario itu perlahan-lahan menimbun hal-hal lain dalam kepalaku yang biasanya diisi oleh: keanggunan Ros, kebaikanya, perhatianya yang kaku namun tulus, lekuk pinggul Ros yang indah, rekaman adegan-adegan romantic, raut ramahnya, dan kata-kata manisnya. Dimasa dimana kehangatan dan keramahan Ros keluar dari parimeternya dan murung padaku (PMS, lelah karena urusan sekolah, masalah pribadi), aku menjadi menyedihkan, mulai terus-menerus memplotnya sebagai seorang antagonis, aku lepas kendali, hal itu keluar dari kepalaku dan menular ke mulutku, kemudian keluar mentersangkakan Ros tanpa sebab berarti. Ros manjauh dariku.