No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Senin, 09 Maret 2015

Chapter 4

4
              Pada musim penghujan saat kelas satu SMP aku dilanda musibah terbesar dalam hidupku. Setelah perang dunia ke dua yang mereduksi secara massive populasi didunia, buntutnya tak berakhir pada perjanjian San Fransisco karena morat-maritnya jepang. Pengurangan populasi masih terus berlanjut karena masalah-masalah lain yang tak kalah kompleks, misalnya oleh sekumpulan hewan amoral, kecil, dan bising yang mengangkut—jika dilihat seksama dengan microskop oleh para professional akan ditemukan berbagai  macam virus yang salah satunya pertamakali digambarkan pada tahun 1779 yang kemudian seiring dengan kemajuan jaman dan riset-riset serius yang dilakukan ilmuan-ilmuan dikenal dengan virus dengue. Lisa termasuk dalam orang sial diantara 50-100 juta orang didunia yang terjangkit demam berdarah setiap tahunya, dan dia kembali masuk seleksi diantara 5 persen penderita yang terkena infeksi berat dan mengancam jiwa.
              Hewan terkutuk itu menghuni sebuah kolam ikan kecil dibawah pohon beringin ditengah tegalan yang kukunjungi bersama Lisa karena pamanku tak berhasil membuat kami terhibur dengan rumahnya yang setengah jadi dan masih jelek, juga sepupu-sepupu kami yang kaku saat Ibuku mengajak kami pergi ke rumah salah satu adiknya itu karena ada acara syukuran untuk rumah yang baru selesai dibangunya setelah empat tahun beristri. Aku, Lisa, sepupuku, dan saudara bibiku yang sok akrab dan tak kenal putus asa untuk membuat kami terhibur, melewati sekitar 400 meter kebun  yang berisi pohon kapas dan rerumputan liar yang membentang dikaki pohon untuk sampai ke kolam itu. Dia, Ardi, lelaki 25 tahunan yang berwajah bulat namun dengan sudut-sudut yang maskulin, tubuhnya tidak terlalu tinggi namun padat, dan kakinya pendek yang akan menghasilkan potret menggelikan saat dia mencoba melompat melewati sesuatu. Kami sampai disana dengan keringat bercucuran dan hendak menangkap ikan atau semacamnya.
              Aku dengan cekatan menggunakan jaring yang lebih terlihat seperti raket badminton yang dirakit dengan jaring ring basket yang disimpul, menggerayangi ikan-ikan yang tidak terlihat kasat mata dari permukaan namun gagal menangkap satupun. Kali keempat percobaanku berhasil mendapat ikan seukuran ibu jari kaki Lisa yang kemudian kubawa pulang dan mati beberapa hari kemudian. Sepupuku yang lebih bodoh berusaha menangkap ikan dengan cara yang digunakan orang pedalaman yang mendiami muara-muara sungai dengan menusukan semacam tombak, namun sepupuku yang tak kalah udik menggunakan ranting yang panjang— yang ketika dia mendorongnya terlalu kuat kedalam air yang dangkal, ranting itu patah dan melukai lenganya hingga dia kesakitan dan dengan susah payah menahan tangis karena malu padaku. Sementara itu Lisa tidak begitu tertarik dengan ikan, dia lebih memperhatikan hal yang lebih langka, dia mengamati pohon-pohon kapas besar yang buahnya bergelantungan seperti kepompong dan duri-duri di pohon yang menyerupai jerawat salah satu fan Lisa. Aku melihat Lisa mengangkat-angkat kaki kananya untuk menggaruk belakang betisnya yang telah menerima sengatan nyamuk, dan di lengan tanganya sudah membekas tiga garis merah muda bertumpuk-tumpuk tilas garukan Lisa, begitu juga denganku, sepupuku, dan Ardi.
              Beberapa hari setelah kunjungan kami ke rumah paman, Lisa mengalami demam hebat. Ibuku sambil mengerutkan kening menyuruhku mengambil thermometer yang kutemukan bersembunyi dibalik tasbih-tasbih yang bergelantungan setelah pencarian paniku. Sementara kami berdua dilanda panic, Lisa tergeletak dipojokan kasur menggigil tak karuan sambil mengeluhkan nyeri pada sendinya yang menurut igauanya mau meledak. Lalu ibuku yang bergotong royong dengan bi Ratmi (tak pernah kusinggung sebelumnya) membuat kompres untuk Lisa dan membuatkanya minuman hangat yang oleh Lisa tak di hiraukan.
              Setelah ayahku pulang, dengan hampa dia memeriksa keadaan Lisa bagai seorang dokter kawakan yang tak lagi butuh peralatanya karena sudah terlalu pengalaman. Dia langsung merujuk Lisa ke dokter Bambang yang juga pernah mengkonsultasikan penyakit cacarku dan Lisa sewaktu kecil dengan memberikan resep macam-macam obat dan larangan makan ini dan itu. Dia adalah dokter terhormat yang juga aktif dalam organisasi amal dimana ayahku pernah menghabiskan satu setengah juta rupiah sebagai sumbangan untuk anak-anak timur yang terserang polio. Dia dokter tua berbadan gempal, sedikit albino dan berambut hitam pekat dengan warna semburat putih dipangkalnya karena sudah dua bulan tidak menyemir.
              Dia lalu memeriksa Lisa dengan kedokteranya yang sudah tersohor, dia memeriksa detah jantung Lisa, tekanan darahnya dan prosedur standar lainya, tepat seperti yang pernah Lisa mainkan dalam drama fantasinya. Dia melihat seksama ada bintik-bintik merah seperti campak dikulit Lisa (yang juga baru kami sadari) dan menghilang jika ditekan dan disana Lisa hanya terkulai Lemas seperti boneka bekas. Setelah pertimbangan ini dan itu dokter bambang merujuk Lisa untuk kerumahsakit karena dia membutuhkan infus dan lain-lain. Setelah debat kecil, Ayahku memutuskan untuk langsung membawa Lisa keumah sakit bersama Ibu yang matanya sembab karena gugup dan dengan kejam menyuruhku pulang seorang diri untuk meminta bantuan pada bi Ratmi untuk membawakan pakaian dan keperluan Lisa karena mungkin dia akan dirawat disana beberapa hari. Beruntung dokter tua itu menawarkan anaknya yang tak kalah gempal darinya untuk memberiku servis penuh dan mengantarkanku pulang.
              Setelah sampai dirumah dan menemui bi Ratmi yang tak kalah berantakan dari ibuku, dia menghujaniku dengan pertanyaan tentang keadaan Lisa, dan segera setelah kuutarakan alasanku pulang kerumah, dia langsung menuju kamar Lisa dan memberantakan lemali Lisa, mengambil beberapa pasang pakaian dan melesak ke kamar mandi untuk peralatan mandi Lisa yang sia-sia, orang sakit tidak mandi.
              Sesampainya dihalaman rumahsakit, kami berjalan menuju gedung rumahsakit secepat peluru dan menemui petugas resepsionis yang cantik seperti dalam majalah Lisa, hanya dia berpakaian lengkap dan memakai kardus putih kecil yang terbalik dikepalanya dan rambut yang disanggul dengan sumpit mie ayam seperti wanita jepang. Menyadari nafas kami secepat kelinci dan sedang terburu-buru dan terlalu malas memberikan peta, dia mengantar kami keruangan Lisa. Dia berjalan didepan kami, melenggak-lenggok layaknya sedang ada seorang lelaki kaya dan tampan dibelakangnya. Aku bisa mencium bau alcohol sangat kuat saat kami memasuki lorong bangsal tempat ruangan dihuni 5 hingga 8 pasien, saat aku menengok kesana para keluarga pasien berceceran disana-sini dengan pakaian lusuh, wajah berminyak dan memegang benda seadanya untuk mengkipas-kipas lehernya. Keluar dari lorong kami melintasi koridor yang ditengah keliling gedung tingat 3 terdapat taman seadanya, dan tepat disudut terdapat pintu ruangan dekil dengan gembok karatan yang mungkin tempat tinggal hantu tukang kebun yang mati tidak wajar seperti dalam film-film horror konvensional. Semua tentang rumahsakit sudah dibuat sedemikian rupa untuk membuat penghuninya tidak krasan.
              Kami tiba didepan pintu kaca berbingkai alumunium yang bertuliskan VIP (dokter lebih ramah, biaya kamar hotel berbintang) dan saat aku hendak membuka pintu, pembimbing kami berpamitan dan mendoakan agar Lisa lekas sembuh dengan gaya seorang salesnya (terimakasih cantik, sampai jumpa didepan). Lisa terbenam dalam tidur saat kami tiba disana, mungkin dokter memberinya suntikan parasetamol dosis dinosaurus hingga dia bisa beristirahat dengan nyaman mengingat igauan Lisa sebelumnya menyerupai orang kesurupan. Dua orang pengangguran yang menanti lotre menungguinya disampingnya dengan wajah harap-harap cemas. Lisa memiliki lemari pendingin dan kipas angin sendiri, dan jendela sedikit usang yang sulit dibuka karena musim penghujan. Di pojok, diatas meja, tergeletak koran kadaluarsa bekas penghuni sebelumnya yang dengan ceroboh pengurus kamar lupa menyingkirkanya. Ibuku dan bi Ratmi lantas mengobrol berdua dan ayahku keluar ruang untuk menhindari percakapan mereka, dan aku bergentayangan disana menebak-nebak apa yang ada dalam mimpi Lisa.
              Dua kali dalam sehari Lisa diperiksa Ibu dokter, kali ini dia mirip dengan dokter gigi yang memeriksa gigi bagian atasku yang rontok ke genggaman tanganku secara misterius dalam mimpi yang kualami sehari yang lalu (setelah kutelusuri, itu adalah alarm kematian). Dia memberi pertanyaan ala dokternya yang sok bersahabat dan menulis catatan rahasia tanpa menggunakan meja. Beberapa jam sehari perawat datang untuk melihat keadaan Lisa berdasar jadwal giliran yang sudah diatur. Pagi hari Lisa dikunjungi Perawat jelek berjilbab, berkerudung dan berpakaian kedodoran yang membuatnya terlihat lebih tua sepuluh tahun. Menjelang sore aku melewatkan kunjungan perawat berikutnya karena kelaparan dan kamar Lisa yang membosankan. Sekitar pukul setengah Sembilan Lisa mendapat giliran perawat laki-laki yang dengan gaya robotnya memberikan Lisa suntikan di pantatnya (untung Lisa sedang tidak berdaya). Serobot apapun dia saat melakukan pekerjaan terlarang itu, diluar pintu VIP bibirnya menyeringai karena sulbinya tersulut (dasar brengsek!). Lisa mendapat jatah makan teratur: pagi hari, bubur ayam dengan sayuran kurang menarik yang menghiasinya, kerupuk, plus susu apek yang biasa membuat ibu hamil muntah-muntah; Siang hari segugus nasi, tempe, daging giling yang dicetak seperti batu, dan soup sayur hambar (sebenarnya semua hambar bagi Lisa); Malam hari—aku lupa apa menu makan malam Lisa dari rumahsakit, dia lebih memilih makanan pembelian Ibuku dari warung warung illegal di sekitar rumahsakit yang tidak lebih sehat.
              Hari pemeriksaan berikutnya, saat bu dokter menggerayangi Lisa, ekspresi wajah keriputnya berubah dari ramah yang dipaksakan menjadi murung, serius dan menyebalkan. Lisa mengalami keadaan kritis dan dipindahkan ke ruang ICU yang sesenyap lautan (malaikat sudah bersiap-siap). Dia teronggok lemas sampai-sampai tak sanggup mengekspresikan penderitaanya, jika seseorang melempar bola tenis kemukanya dia tak akan bergerak kurasa. Ibuku menangis lagi seperti Evan kecil, dan ayahku sama cemasnya dengan semua orang. Dia mengajaku ke masjid untuk berdoa untuk Lisa, sepanjang perjalanan kami ke masjid dia tak mengatakan sepatah katapun, diam seperti pohon.
            Ketika kami berdoa menengadah kearah langit-langit masjid yang jamuran karena atapnya bocor, mungkin malaikat yang budiman akan menimbang-nimbang perintah Tuanya untuk mengeksekusi Lisa. Tapi yang terjadi bukanlah seperti itu, mereka selalu skeptis dengan  doa-doa macam yang kami panjatkan, tak lama, malaikat mengasah sabit ulungnya dan menukik ke ruangan Lisaku, (tuan algojo yang berpengalaman, tolong prosesinya lebih cepat dan sebisa mungkin tak disadari oleh Lisa).
Saat kami dua laki-laki lontang-lantung ini kembali ke ruangan Lisa, teriak tangis terdengar di sana-sini, Lisa mati ditangan penyakit sialanya, mati seperti orang-orang lain mati, mati seperti ikan yang kubawa dari kolam keparat tempat asal mula kematianya. Aku terkoyak, seperti terjatuh, ambruk dan tergeletak, tapi kenyataanya aku berdiri disana, keringat dingin keluar dari sekujur tubuhku, mulutku kering dan pahit dan pita suaraku membeku, jantungku mau pecah, kepalaku kosong seperti bola pingpong, tubuhku mematung, dan pelukan manapun tak kuasa membuatnya tergerak.

Lisaku, pengasuhku, sahabatku, cintaku, idolaku, meninggalkanku disamping rak buku, membiru dan membatu.

0 critic:

Posting Komentar