No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Kamis, 09 April 2015

Chapter 10



10
Mari beralih ke gulungan pita film selanjutnya, kubalikan halaman lain dari kehidupan masa laluku (Kuharap pembaca masih tahan dengan tulisanku yang penuh metafora berlebihan). Aku mencoba menyelipkan tangan-tangan rampingku untuk mengakses gambar-gambar secara keseluruhan, menelusur kabel-kabel memoriku yang sudah ruwet untuk memunculkan kembali saga familiku yang mulai ditelan usia. Dari neneku yang berdagang di pasar, kakeku yang mantan lurah berserta sawah berpetak-petaknya, dan berlanjut ke keturunanya, hingga aku dan Lis, sepupu-sepupu dan seterusnya. Juga Keluarga ayahku yang tak terlacak jejak darah yang mengalir dalam dirinya. Diantara rayapan-rayapan tanganku, penemuan-penemuan tertentu yang masih lumayan utuh akan kujabarkan melalui prosaku.
Aku menggali-nggali lagi lebih dalam variable-variabel independen yang memungkinkan untuk mempengaruhi transformasiku. Yang selanjutnya akan kuceritakan adalah suatu guncangan keluarga yang puluhan tahun mendatang tetap akan kuhujat dalam setiap pemikiran mengenai pasangan suami istri maupun pacar-pacaran, sebuah perselingkuhan.
Pertama. Penghujung 1996, bibi termudaku yang chubby dan manis terlibat suatu perselingkuhan ganas (aku tahu, agak berlebihan) ketika suaminya baru menjadi pamanku selama lima tahun. Namanya Joko, melihat kecanggunganya, aku bisa mengatakan bahwa dia masih Joko saat mempersunting bibiku, Suci. Meski wajahnya tambun, namun pinggang bibiku normal, pantatnya tidak bahenol dan dadanya hanya seukuran buah pir. Pamanku yang penurut (dilihat dari permukaan) berkulit gelap, rambutnya seperti serabut kulit kelapa, matanaya besar, tampangnya agak menyeramkan namun baik hati dan kadang kekanak-kanakan (menghindari percakapan dengan tetua keluarga besar dan memilih bergaul dengan keponakan-keponakanya).
Setelah kelahiran putra mereka yang hiperaktif, mereka sering cekcok. Sebagian besar pertikaian mereka bersumber dari perbedaan perspektif merawat anak laki-laki berusia empat tahun. Dibalik tampang seram dan kelemah lembutanya didepan keluarga lain (termasuk didepanku) Joko orang tua yang keras, teguran-teguran pada anaknya menyerupai pelatih basketku saat SMP (pasing yang benar bodoh! Lihat temanmu! Dimana matamu? Tidak masuk, Push up!). Bibiku yang juga keras, tapi tidak sekaras itu, memincingkan matanya pada suami gelapnya saat Joko mempraktikan kediktatoranya pada anaknya, Rio, zodiaknya Leo, menurut catalog Ros edisi minggu ketiga bulan Oktober, dia keras kepala dan sinting (iya, ingatanku setajam itu, hardisknya kelas satu).
Bibiku memiliki kios pakaian di pasar grosir Gladak Solo, Rukonya memiliki dua pintu, tempatnya strategis disudut perempatan gang, namun arah barat adalah arah ke Toilet, jadi jarang ada yang lewat sisi kiri mulut rukonya. Suaminya adalah petugas PAM, dia hanya bekerja pada waktu waktu tertentu untuk memeriksa kran air atau semacamnya, aku tak begitu mengerti. Namun perkerjaan utama mereka adalah merawat Rio, pertumbuhan sel-sel dan hormon-hormon pembentuk karakternya menghukum orang tuanya dengan tingkah gilanya. Dia lari kesana kemari seperti lempengan karambol, melompat-lompat bagai anak kanguru, dan berteriak tidak jelas. Dia tak mendengar perintah orang, satu-satunya yang diturutinya adalah saraf-sarafnya yang super hiper. Suatu ketika, dia menyusur kamarku dan bermain dengan miniatur biola pemberian Ros yang dibelinya di Malioboro setelah menawar selama 6 jam. Dia mengoyaknya seperti kertas, senarnya putus, lengan biolanya patah dan aku membencinya seumur hidupku. Rio adalah kata lain dari onar, Joko dan Suci adalah sepasang pawang gagal.
Jika ingatanku tak menyesatkanku, kala itu adalah malam Sabtu yang sunyi ketia Joko mendatangi Ibuku yang dianggap bijak untuk meminta pertolongan. Dia melaporkan perselingkuhan bibiku secara gamblang. Menurut kesaksian pesaing dagangnya, Parti, bibiku berselingkuh dengan seorang penarik setoran sewa kios bulanan. Dia tinggi, gelap juga, namun wajahnya dipahat dengan baik, hidungnya mancung dan raut matanya menawan.
(sebelum kulanjutkan, aku akan melenceng pada sebuah gambaran yang kudaur ulang dari karangan Flaubert. Diantara pohon-pohon yang menjulang, Emma Bovary menyerahkan dirinya pada sebuah kereta kencana yang ditarik kuda emas. Didalam kuil, yang menantinya adalah seorang pria kaya yang kedinginan karena kesendirian merajut dalam benaknya selama bertahun-tahun. Sang Madame melepaskan sepatunya, berlari kearah sang pria dengan liar dan melahapnya tanpa rasa malu. Roknya diangkat, korsetnya dilepas—kupercepat—tubuhnya tergoleh diatas ranjang berumbai, bergerak-gerak seperti kupu-kupu yang meronta-ronta  merobek kepompongnya dan merintih-rintih lantaran senang. Kemudian kembali ke pelukan Monsiour Bovary yang dingin tanpa rasa bersalah yang berarti.)
Tidak seromantis itu—ya, walau adegan perselingkuhan, itu lumayan romantis—kejadianya lebih menyedihkan. Kelakuan yang membuat Parti yakin untuk melaporkan penyelidikanya pada Joko adalah sebuah perbuatan bejat bibiku didalam ruang Toilet. Parti dengan mata kepala udangnya meyakinkan dirinya bahwa kegilaan sedang terjadi, Toilet itu hanya bisa dihuni satu orang saja, beberapa saat setelah penadah itu masuk, bibiku menyusulnya sambil celingukan. Setelah beberapa menit, mereka keluar, secara bergantian dan berjeda juga tentunya. Parti mual, dia tak sanggup melihatnya, memikirkanya membuat darah tingginya kambuh, dia meminum satu gelas penuh es teh dalam satu kali upaya.
Menurut pertimbangan Joko, istrinya tak akan melakukan perbuatan seronok itu. Ketidakpercayaanya akan fakta kebejatan istrinya menyeretnya kedalam “Logika Mistika”. Aku tak menangkap dengan jelas rapat yang digelar paman Joko dengan Ayah Ibuku diruang tamu bercahayakan bolam itu. Putusan mereka sudah bulat, mereka akan mendatangi orang pintar, mendakwa kegaiban dibalik penyelewengan bibiku.
Singkat cerita, secara mengejutkan pernikahanya selamat, aku tak tau apakah orang pintar memang benar-benar bisa diandalkan atau karena sebab lain. Perselingkuhanya berhenti, setelah gossip memalukan itu dibisik-bisikan didalam keluarga besarku dan pengasingan bibi dan pamanku lantaran malu, situasi kembali normal. Kami berkumpul saat lebaran tanpa bekas yang kasat mata. Rio masih tetap keranjingan dan percekcokan rutin mereka berlanjut.
Kedua. Anak perempuan tertua—kakak perempuan ibuku, Anik—melakukan hal yang sama, namun tidak dengan cara menyedihkan seperti bibiku. Dulunya dia adalah wanita paling berkelas dikeluarga, gemar membaca buku-buku bagus, pakaianya selalu mahal dan bermerek, tidak menertawakan lelucon murahan, dan menolak keras pergunjingan. Tapi setelah menikah dengan lelaki super tampan, lelaki kembang desa (lebih rinci, karakternya mirip denganku) yang malas, dia menjadi wanita penggerutu dan berteriak kapada semua orang. Dia menjadi Istri superior yang menakutkan mentang-mentang pendapatanya dua kali lebih besar daripada suaminya. Anak-anaknya adalah pembangkang yang sukses, hubungan keluarga ini begitu jauh, mereka tak pernah makan pada meja yang sama dan bercakap-cakap dalam ruangan bersama. Suaminya yang penyabar tak pernah mengetahui perselingkuhan istrinya sendiri hingga akhir hayat. Pengetahuan mengenai perselingkuhan yang satu ini dating langsung dari mulut tante Anik ketika membuat pengakuan kepada Ibuku setelah sepeninggal suaminya karena terseret truk. Setelah suaminya meninggal, dia tak pernah menikah lagi karena masalah restu dari kedua putra-putrinya. Meski demikian, hubungan gelapnya jalan terus, tak pernah terkuak lelaki macam apa yang mampu menculik hatinya dari genggaman suaminya yang tampan.
Setelah cerita tragis dalam sejarah keluargaku ini, bibit-bibit kebencianku terhadap wanita secara umum mulai tumbuh subur. Dalam sebuah hubungan, kecintaan terhadap lawan jenis tidaklah cukup, bahkan sebuah ikatan suci tak mampu merekatkanya selamanya. Mereka menginginkan lebih, yang beresiko, dan selalu panas—sebuah kebersamaan illegal yang terkutuk. Godaan murahan dan rayu-rayuan gombal mengambil keuntungan melalui kegelisahan seorang istri dan dengan sukarela tante-tanteku tertarik oleh gravitasinya keluar dari orbitnya. Membangun lorong-lorong tersembunyi yang menaunginya menuju tempat-tempat dimana jiwanya yang terluka dapat bergembira dibawah selubung perselingkuhan
Seiring dengan itu, kepercayaanku pada Ros goyah, pikiran-pikiran negatif dimalam kelabu menimbulkan segumpal kegelisahan baru. Mungkinkah, diluar pengawasanku yang longgar, Ros membuka dirinya untuk lelaki lain, didalam bus udik saat pulang sekolah, matanya mengkhianatiku dengan menatap remaja ganteng yang memberikan tempat duduknya. Skenario-skenario itu perlahan-lahan menimbun hal-hal lain dalam kepalaku yang biasanya diisi oleh: keanggunan Ros, kebaikanya, perhatianya yang kaku namun tulus, lekuk pinggul Ros yang indah, rekaman adegan-adegan romantic, raut ramahnya, dan kata-kata manisnya. Dimasa dimana kehangatan dan keramahan Ros keluar dari parimeternya dan murung padaku (PMS, lelah karena urusan sekolah, masalah pribadi), aku menjadi menyedihkan, mulai terus-menerus memplotnya sebagai seorang antagonis, aku lepas kendali, hal itu keluar dari kepalaku dan menular ke mulutku, kemudian keluar mentersangkakan Ros tanpa sebab berarti. Ros manjauh dariku.

0 critic:

Posting Komentar