No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Jumat, 03 April 2015

Chapter 9


9
Aku akan mencoba menterjemahkan betapa aku mencintainya kedalam sastraku yang kacau balau. Setelah puluhan tahun, kediamanya hampir tak terusik dalam relung kedalaman diriku. Didalam sana, diriku yang sudah tak bisa kumpanggil lagi bersorak ria menikmati dirinya yang bagiku masih seorang wanita belasan tahun yang anggun dan menawan hatiku, corak wajahnya beberapa kali masih bisa muncul dengan efek kabur yang berlebihan. Beberapa yang masih tersisa darinya dengan jelas masih mampu menusuku dengan duri-duri mawarnya.
Kaki-kakinya yang seindah menara eifel. Pinggul menekuk kedalam, dada tegapnya. Tanganya yang seperti lambaian daun kelapa. Pergerakanya yang seanggun pengantin (aku membayangkan: janur melengkung, sanggul merepotkanya, lipstick di bibirku, kebaya yang membuat kami lamban, keringat dingin pengucapan janji, dan seterusnya). Pancaran wajahnya yang membuatku menghormatinya seperti apapun juga. Senyumnya yang membuat lututku gemetaran. Aromanya yang membuatku mengabaikan surgawi.
            Kecantikanya adalah kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan di musim gugur, oh, hati macam apa yang mampu meniupkan angin dan melayangkanya dalam rengkuhanya. Di penghujung tahun kedua SMA, aku mampu meresap kedalam kulitnya seperti matahari pertama penghujung musim hujan. Humorku yang pas-pasan mampu menyeret sudut bibirnya melebar dan memperlihatkan gigi-giginya yang berantakan (namun samasekali tak membuatnya kurang cantik). Sejarahku yang menawan(tak terlalu banyak berhubungan dengan wanita) memutar bola matanya padaku. Ujung jarinya dipandu oleh usaha-usaha pendekatanku yang kikuk tepat kearahku. Ekspresi wajahnya melebur dan berubah menjadi rangkaian alfabetis bersayap yang melayang-layang, “Ayo, kita tindak lanjuti sayang!”. Aku menyadarinya ditengah percakapan-percakapan kami, sesekali wajahnya yang dilekati observasi bercampur pandangan seorang ibunya menenggelamkanku kedalam dirinya. Ditengah kekhawatiranku akan keberanianya untuk menuruti perasaanya, terlihat tatapan kosongnya yang meladeni kepingan keraguanya yang kubenci. Namun sihirku terlalu kuat, sungainya bermuara dan larut dalam lautanku.
Pada suatu sore diguyur gerimis yang mampu menggenangi selokan kecil penuh pasir dan sisa sisa mendung yang memperburuk penampilan rerumputan dan bunga-bunga, aku terdampar, terjebak diantara emperan kelas yang basah kuyup dan dinginya ruang kelas yang mampu membuatku berkeringat tak karuan. Teman-temanku yang baik hati (yang sebelumnya telah kuorganisir untuk prosesi lamaranku) telah menempatkan Rosaku didalam kelas, sendiri tanpa pendamping. Aku melangkahkan kaki-kaki mungilku seperti sang singa mengintai mangsanya yang celingukan dan asik makan rumput sorenya untuk masuk. Pemanduku pergi dan menyerahkan segalanya padaku, mungkin dia sempat mendengar detak jantungu yang semakin kencang. Seseorang menutup pintu, hanya kami berdua ada didalam ruangan dingin itu. Sudut kelas seolah mengambil peran sebagai hakim agung dan jaksa penuntut yang siap membimbingku ke tiang gantungan. Suara gerimis yang tak begitu berpengaruh membuat suasana semakin tegang. Aku berhenti tepat diseberang meja dimana Rosa duduk. Aku berdiri seperti patung yang pondasinya dihantam akar beringin, Rosa memandangiku seolah dia membawa enamratus gram ganja didalam tas kumalnya dan ketakutan akan diringkus pak polisi. Kami terdiam beberapa saat, secara bergantian aku mengganti tumpuan badanku ke kaki kiri dan kananku (yang akan menjadi tarian konyol jika kupercepat tempo pergantianya). Sesekali kupandangi wajah Rosa yang dalam beberapa momen terlihat seperti jeruk, namun wajahnya sewarna delima.
Adegan tak-tau-harus-berbuat-apa-selanjutnya kami akhirnya dihentikan oleh hentakan kata Rosa, “ada apa?” (Tolong! Aku terkena serangan jantung). Segera aku meminta Rosa untuk menjadi kekasihku (aku tak sempat membuat puisi). Suasana segera sesenyap gurun. Pandanganya lepas dariku (yang tak pernah kumengerti) dia membuang pandanganya ke jendela dengan tatapan seseorang yang sedang mengagumi laut, mungkin dia tenggelam dalam pikiranya. Rosa tau, pertimbangan apapun yang sedang dia lakukan sepanjang yang diberikan oleh waktu tak akan merubah perasaanya, meskipun dia bisa mengubah jawabanya menjadi drama yang sangat bisa kuterima. “Baiklah”, dia menjawabnya dengan nada yang ingin membuatku puas.
            Suatu sore yang lain, saat matahari menguapkan sisa-sisa air hujan, dalam ruang kelas yang sunyi kami berduaan ditemani bangku dekil yang dicat ulang, udara ruangan yang lembab, dan kabel-kabel yang merambat didinding disamarkan dengan cat tembok warna putih tulang. Keromantisan itu menggeser kilauan dalam hatiku menjadi api-api berbahaya yang mebakar sulbiku dibawah selimut dingin udara. Pandangan kami berpapasan dalam pencarian-pencarian pertanda, beberapa saat, dewi asmara menepuk tengkuk kami dan menyentuhkan bibir bisuku dan miliknya, pengekangku terlepas, duniaku dalam radius tak terhingga lenyap ditelan gairah, angin berhenti bertiup dan waktu bergerak seperti awan. Tangan-tangan amatirku menyusuri tempat-tempat tak terduga secara sembunyi-sembunyi, tubuhku bergerak seperti ranting-ranting pohon. Di akhir adegan, kedua remaja ini mampu bekerja sama dengan baik untuk menghentikanya dan melanjutkan sore dengan kasual—walau agak kaku. Suara yang paling bisa kudengar hingga kini adalah nafas kami yang diusik oleh suara bangku yang berdecit karena gerakan erotis kami. Peninggalan bersejarah lain adalah ketika kami gagal mereplika adegan serupa di dalam gedung bioskop karena lampunya menyala secara tiba-tiba (padahal posisinya sudah strategis).
            Saat keadaan-keadaan sekolah yang tak memungkinkan bagi kami untuk bermesraan, dari kejauhan teropongku bisa menangkap dirinya beraksi dipermukaan layar yang tersorot cahaya proyektor kepalaku yang kotor. Gambar-gambar ketika dia berjalan dengan anggun, cara rambutnya jatuh ke wajahnya, dan rekaman adegan ciuman kami yang diambil dari sudut paling strategis ruang kelas itu mengambil alih otaku. Diatas kasur dinginku, peragaan Le Reve-ku kumodali dengan rentangan imajinasiku yang menyusur setiap permukaan privasinya. Cara berpakaianya yang penuh sopan santun memberikanku kesempatan untuk menjelajahi setiap pola-pola dan bentuk-bentuk sesuka hatiku. Namun karenanya, foto-foto yang bisa kupandangi tidak pernah konsisten dan palsu. Ekspresinya juga hanya kubuat-buat.
            Lihat betapa normalnya diriku, aku mencintai wanita, tolong jangan kesampingkan hal ini hingga akhir cerita.
Jauh sebelum aku mencumbu Rosku, peristiwa lain yang menyebabkanya gagal menjadi ciuman pertama kemi diungkapkan Ros dengan linangan air mata. Petani miskin paruh baya bernama Parjo (sebenarnya aku lupa namanya siapa) merebutnya dariku secara paksa. Hari Minggu ketika matahari merangkak keatas pohon rambutan sisi timur rumah Ros, lelaki itu datang menemui ayah Ros dengan luka gigitan ular. Dengan sigap ayah Ros memeriksanya, sebelum menyuntiknya dengan antitoxin, Ramli (aku beru ingat namanya) menanyakan padanya apakah dia pernah mengalami bilur-bilur, gatal, bengkak, sukar bernafas setelah mendapat suntikan penisilin. Dia menjawab ya sambil terisak-isak. Selanjutnya—yang dia lakukan dengan tergesa-gesa—dia mengambil sebotol promethazin dan menyedotnya mnggunakan suntikan sebanyak 3 ml dan dimasukanya melalui pantat hitam Parjo 15 menit sebelum dia memberinya antitoxin. Ramli menyuruh Parjo rileks dan menunggu reaksi antitoxin. Selanjutnya, semuanya tergantung pada kondisi usus besar ayah Ros. Itu adalah ketiga kalinya Ramli pergi ketoilet pagi itu, sebelum dia meluncur kesana, dia meminta Ros menunggui pasienya dan meminta segera memanggilnya jika pasienya sesak nafas atau pingsan.
Kemudian kejadian biadap itu terjadi, setelah tubuh petani keparat itu mulai segar kembali, dia mengangkat kepalanya dari bantal dan menyusuri tubuh Ros dengan mata cabulnya. Dia mendekati Ros yang sedang mencari ampul adrenalin—terletak di lemari dinding nomer dua sebelah kiri cermin—atas perintah ayah mantrinya. Dia membelai rambut Ros, memegang belakang kepalanya, mendorongnya kearah wajah kumalnya dan bibir berdebunya menyapu milik Ros. Ros memberontak dengan dahsyatnya, mendorong dagu keparat itu kuat kuat dan meloloskan dirinya seraya melempar adrenalin kearah lelaki itu—meleset dan menggelinding diantara kaki tempat tidur. Dia menangis dan berlari. Ayah Ros kalap, dia memukulnya hingga roboh, ambruk, dan hidungnya dibanjiri darah. Ditengah erangan kesakitanya, lelaki itu mengalami asma, Ramli tercangang dan segera menggerayangi  adrenalin. Dia menyuntikanya padanya dilanjutkan dengan pemberian antihistamin dan menyuruhnya pulang dengan kasar. Semurka apapun, jiwa kedokternya terlalu melekat, hal itulah yang juga menyembuhkan sakit hati dan kemarahan Ros akan kejadian itu lantaran bangga. Semenjak kejadian itu, Parjo menghilang dari kehidupan keluarga mereka selamanya karena malu.
Namun diriku, setelah dongeng pilu itu darahku naik lantaran tidak terima. Parjo mendapat pengobatan gratis, ciuman pertama Rosa dan hanya diganjar dengan satu pukulan dan sumpah serapah kurang kasar ala ayah Ros yang lemah lembut. Meski aku sadar bahwa ini tidak logis, aku membayangkan liur berdebu petani sialan itu menempel dibibirku melalui ciumanku dengan Ros. Dalam pikiranku, aku melayang-layang dalam lorong waktu, muncul disana, lalu menghabisi lelaki itu secara brutal.
Singkat cerita, dalam sebuah perjalanan singkat dari ruang kelas menuju trotoar depan sekolahan, aku menyesali hujatanku pada Penciptaku ketika Rosku: dengan senyum mentarinya menggandeng lenganku; menumpukan beberapa persen beban tubuhnya disana; menatap cinta pertamanya dengan mata ramahnya, lalu menarik nafas dalam-dalam seraya menaruh pelipisnya kembali keatas pundaku—matanya menatap kejahuan tanpa berkedip. Tak kusangka-sangka (penbaca pasti juga tak akan percaya), itu adalah ujung terjauhku dalam mencari kebahagiaan, tak akan ada duanya, melalui upaya manapun dari yang pernah terlewat dan akan kutemui. Bukan cumbuan, adegan Picasso, pengalaman seksual terhebat manapun yang telah dan akan terjadi dalam dunia Evan ini menandingi menakjubkanya. Sebuah kebersamaan sepele yang menjelaskan pada Evan kecil sebuah cinta sejati nonsurgawi.

Namun setelah beberapa bulan jalinan kasih kami bergulir, rodanya hancur ditengah jalan dan tilas yang ditinggalkanya membentuk legokan berliku dimana air mataku mengalir. Antisipasiku atas kepergianya benar-benar buruk, kepala siputku kalah berpacu dengan gejala mencemaskan yang menghanguskan taman-taman cantik yang telah kubangun dalam mimpiku. Kesempurnaanya terlalu kupaksakan pada indraku hingga mereka sukar menolaknya, dan duka mendalam saat kehilanganya.
Kehidupan kami masa itu banyak berubah, budaya-budaya anak suburban(Ros gadis suburban yang kucinta) menyusup dan bercampur, pada tingkat akhir SMA, dulunya mereka yang menahan dirinya untuk terlibat karena kurang berpengalaman, hitam putihnya meleleh menjadi satu dan gradasinya lebur. Teman-teman urbanya memperkenalkanya dengan lampu-lampu remang kota, budaya-budaya masa lalu kolotnya yang membuatnya malu tertimbun dengan gaya sosialita yang baru dimulainya. Ketertarikanya akan segala hal didasari motivasi-motivasi yang semakin dangkal, dia menjadi periang dan menyedihkan. Tentu saja, begitu juga rantai pengait cinta kami, mulai karatan karena reaksi kimia hormone kecantikan yang begitu dibanggakanya, juga hidup baru yang diperkenalkan padanya.
Aku terbunuh dibawah tiang gantung yang talinya diikatkanya pada alasan-alasannya memutuskan hubungan kami yang kurang bisa kuterima, dia memperlihatkan padaku gambaran-gambaran buram yang mengapung diatas pembelaan-pembelaanku yang tak berpengaruh. Dalam penjelasanya yang sok pengacara, percobaan-percobaan diplomatiku dimuntahkanya dengan sinis. Setelah palunya diketuk, hidupnya berlanjut dan aku terjaga diatas kasur duriku berbulan-bulan.

0 critic:

Posting Komentar