No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Jumat, 03 April 2015

Chapter 8


8
Wanita pertama yang mencium mahkotaku adalah wanita setinggi hidungku dengan rambut panjang seolah punggungnya adalah misteri. Saat pilihanku jatuh pada wanita berwajah mentari dengan senyum yang diatur (sebelum jatuh hati padaku) ini, aku mencari-cari jawaban atas pertanyaan “mengapa” untuk keingintahuan nalar rendahanku, dan bertemu dengan alasan-alasan konyol yang pada dasarnya merupakan ketidakperdulian akan alasan-alasan itu sendiri serta diskusi-diskusi tak berujung dari dalam kepalaku.
            Ros adalah wanita pinggiran dimana hari-harinya dijalani dengan ceria. Bermain dengan kucing kampung diantara pepohonan rindang pekarangan rumahnya yang luas dan meneriaki balita-balita nakal yang mengusik bunga anggrek ibunya. Ayahnya adalah seorang mantri berwibawa dan ibunya seorang guru budiman yang tempatnya mengajar berpindah-pindah. Ayahnya penggemar berat Elton John, album faforit ibunya  adalah Blue-nya Joni Mitchel, dan Rosku tergila-gila pada imutnya Paul berkat pertolonganya melalui Let It Be paska neneknya yang tinggal serumah meninggal karena gagal ginjal. Dia pernah tinggal dikaki gunung, pedesaan, dan pinggiran kota lain. Masa muda ayahnya banyak digunakan untuk pengabdianya disebuah Puskesmas Tawangmangu yang banyak melayani penyakit tipus, rematik, dan gondong. Setelah umur 36 dia menjadi perawat di rumah sakit umum di Solo, berangkat setiap pagi dari Karanganyar seraya mengantar gadisku bersekolah. Sepulang kerja, dia akan menerima pasien desanya dengan keluhan: sakit kepala, masuk angin, cacar, yang berhubungan dengan serangga, dan luka luar ringan atau mengganti perban luka serius.
Saat pertama kali aku bertemu dengan mereka, sebisa mungkin aku tak dibuatnya canggung dengan keorangtuaanya yang sok berkuasa. Rumahnya berbau medis, asap rokok kretek dan campuran parfum melati dan musk, dibeberapa saat tercium juga aroma Tancho yang kuat. Dinding dibelakang tempatku duduk menghadapi mereka, terpampang foto silsilah keluarga, termasuk foto masa kecilnya saat memakai gaun cantik dipenuhi renda, rambut bob seleher dan poninya nyaris menyentuh mata besarnya. Dia tersenyum kearah kamera dengan riang sambil memegang telephon mainan. Ayahnya menawarkan kopi dan menceritakanku burung kepodangnya yang hanya berbunyi saat senja dan makan siang. Dia bilang, meski dia bersiul hingga paru-parunya kering, ocehan burung itu terlalu mahal untuk benyanyi kepada tuanya. Ibunya menyuguhiku singkong goreng gurih dan makanan ringan pasar yang baru dibelinya beberapa jam sebelum aku tiba atas permintaan Rosku. Dari dapur aku bisa mendengar ibunya menyanyikan River, memainkan intronya yang mirip Jingle Bell, dan bagian “fly..”  keras-keras menggunakan falsetto merdunya (juga diwarisi Ros, aku mengetahuinya saat dia mendendangkan Yesterday dikelas sejarah). Mereka bertanya alamat rumahku, pekerjaan orang tuaku dan kenalanya yang tinggal di lingkunganku yang mereka harap aku kenal namun tidak. Rosa disudut meradang saat ayahnya menceritakan padaku hal-hal memalukanya: porsi makanya yang berlebihan, panggilan masa kecilnya (kepang, bukan karena rambutnya dikepang, namun kebiasaanya menirukan suara penjual kepang, rajutan bambu yang biasa digunakan orang desa untuk menjemur gabah atau jagung, “pang kepaaang…”), dan sejarah penyakit kulitnya beberapa tahun silam (tenang Ros, cintaku apa adanya).
Keanggunan dan kelemah lembutanya membuatnya terkenal diantara anak laki-laki, ditambah kulitnya yang bagus, cantik dan rambutnya indah. Dia memiliki adik perempuan yang gemar bermain dengan anak laki-laki, dia menyerupai kakak perempuanya tapi tidak lebih cantik. Pertama kali aku melihatnya, dia sedang ancang-ancang untuk permainan lompat tali di halaman rumah dan rok kumalnya diangkat hingga pinggul hingga celana dalamnya (hijau tosca) mengintip keluar.
Dibawah remang emperan karena sinar matahari terhalang pepohonan, Ros menghinaku dengan menulis puisi. Saat aku masih gagal merekayasa gaya Danarto kedalam cerpen-cerpen mengecewakanku, dia sudah ahli dalam menulis cinta-cintaan kelam, kematian, dan perpisahan (untuk ukuran anak SMA). Kemampuanya mendapat pengakuan dari guru bahasa Indonesiaku yang  semasa kuliah pernah bertemu W.S Rendra di Monas saat study tour bersama teman-temanya, dia menceritakanya pada semua siswa yang pernah diajarnya pada pertemuan bab puisi. Terbalut rasa tercemooh, aku mengingat-ingat bait kelamnya.
Dijalan yang panjang: aku merangkak, berlari, terbang, dan menari;
Jalanan kurasa asing dan aku terasing bagimu.
Matahari tenggelam dibalik punggungku, aku harus berhenti.
Diantara iring-iringan, berbincanglah kau dengan teman-temanku.
Gelap dan sunyi kan kutuju, tapi aku tak lagi asing bagimu.
            Percintaan kami tumbuh selayaknya pemuda-pemudi lain, kami saling memanggil “sayang” tapi menolak untuk dipanggil “yang”. Bercakap-cakap dengan canggung di episode awal dan menjadi sarkastik (tapi tanpa menyinggung) setelah roll pita film kami terputar lebih jauh. Diantara sambungan pita itu, titik kecil yang muncul pada sudut layar beberapa kali menggangu gambar-gambar Evan dan Ros, namun kami menyamarkanya dengan baik, kami mengalihkan titik-titik dengan adegan roman meyakinkan: membuat surat melankilos, memohon-mohon, rayu-rayuan, dan sentuhan-sentuhan lembut.
            Ros memiliki tata karma yang mengagumkan, dia tak memanfaatkan keunggulanya untuk mempermainkanku dengan trik-trik konyol untuk mendapat keuntungan apapun dariku. Satu-satunya dusta yang mungkin dia perbuat adalah menutupi kekecewaan dan kerisauanya dibawah pose wajahnya yang kucinta. Tatapan kosongnya akan berubah dari kosong menjadi senyum gila yang membuatku tak tahan untuk memujanya. Dia mendapat pendidikan yang baik dari orang tuanya: dari ayahnya; aku dilarang merokok, selalu sarapan sebelum berangkat sekolah, jangan minum teh atau kopi setelah makan, pergi cek up ke dokter sesekali; dari ibunya; jangan lupa belajar, PRnya jangan ditunda, jangan telat masuk sekolah, review materi pelajaran setelah pulang sekolah. Rosku wanita yang pintar, dia dua kali lipat lebih rajin dariku, tangan-tanganya diciptakan untuk bekerja, pakaianya selalu rapi dan rambutnya wangi seorang putri. Saat bau stroberi tertangkap oleh penciumanku, jaraknya ti dak akan lebih dari lima meter dariku.
            Dalam bentuk dan dengan balutan sarkasme apapun, dia tak pernah mendapat olok-olok, dia terlalu baik dan tak perduli jika ada yang melakukanya. Lelaki-lelaki brengsek tak akan mengganggunya karena dia terlalu anggun, teman-teman cerewetnya memperlakukanya seperti anak bungsu karena sikap pendiamnya, dan para guru berharap Rosku menjadi menantunya yang penurut. Karena kefemininanya yang brilian (tidak termasuk seleranya), dia tak banyak bergaul dengan anak laki-laki, dia selalu memakai rok dan sangat jago memadukanya dengan sepatu. Dibawah ledakan Britpop. untuk ukuran perempuan, selera music phsycadelia miliknya membuatnya terlihat lebih pintar. Setelah berbulan-bulan kematian neneknya, dia tak menyentuh satupun lagu pop, hingga akhirnya dia meleleh saat melihat Jack tenggelam diantara reruntuhan kayu-kayu Titanic. My Heart Will Go On dia nyanyikan seratus kali dalam sehari, intronya yang evergreen menghatuinya, senandung chorusnya dinyanyikan tanpa mengambil modulasi karena falsetnya pun tak akan sampai. Kesamaan antara Rose dan Rosku—selain namanya yang hampir sama—adalah pemberontakan Rose pada orangtua ningratnya, dan pelarian diri Rosku dari selera feminim yang sudah seharusnya ada dalam DNAnya.
            Diluar selera musiknya yang mengesankan, Ros mempercayai ramalan bintang, mood dan perilaku-perilaku asmaranya dipengaruhi catalog mingguan diperpustakaan. Saat guru-guru mencari berita pergolakan politik dan teman-temanku memperbaharui berita bola dan otomotif, Rosku berbagi dengan zodiac, dia selalu menemukan cara yang cerdik untuk membuat dirinya sesuai dengan opini-opini Mr. Crap—maksudku Crab (cancer). Sesekali dia akan melihat zodiaku, lalu menyuruhku banyak makan buah dan meditasi karena menurut catalog bodohnya ronaku kurang bersinar karena suatu tekanan. Hobi konyolnya tak sia-sia, ketika dia memasuki kuliah, dia bekerja di catalog kampus menulis ramalan bintang dan kolom hiburan (review film, album, dan ­teenlit).
            Sekolahku diiringi gemericik dedaunan, kantin-kantin mengaur bau bumbu-bumbu yang ditumis dan kuah soto. Jutaan debu berterbangan diudara saat pagi hari karena jadwal piket mingguan mengharuskan kami menyapu ruang kelas pagi hari. Aku dan Ros berada dalam regu piket yang sama, kari kamis (aku lupa memberitahu, aku dan Ros satu kelas). Rosku yang rajin tiba dikelas 2400 detik sebelum bel masuk, melepaskan jaket merah polkadotnya yang pasaran (ada 3 sisiwi lain disekolah yang memakainya), melesak kesudut kelas dimana sapu-sapu yang sudah tak layak pakai teronggok lalu menyapu sela-sela deretan bangku sembari mengangkat bajunya untuk menutupi hidung kecil berbulu lembutnya dari debu. Seperti debu, aku melayang-layang disana menikmati pekerjaan Ros, menempel pada Ros seharian, dan terbawa setiap hembus nafas Ros. Harus kuakui, Ros lebih unggul dari tukang sapu manapun, sepertinya dia terlahir untuk menyapu ruang kelas.
            Satu-satunya privasi yang bisa kami dapatkan adalah sepetak ruang kelas berbau keringat khas anak sekolahan berbaur dengan debu dan serbuk kapur tulis. Bel pulang sekolah akan menyisihkan sepasang sejoli, duduk di deretan bangku lalu merajut tirai keintiman didalam kelas. Percakapan kami terdengar lebih intens, romantic dan manja. Jika beruntung, pintu ruangan akan tertutup dengan cara tak terduga dan memberikan kami kebebasan untuk menjalin asmara muda yang menggebu-gebu. Guru-guru tak mendukung apa yang dinamakan pacaran. Dalam kamus mereka, pacaran adalah hal menghawatirkan yang mereka gambarkan terlalu liar (meski sebagian besar mereka benar).
Namun, kejadian tragis tak terduga meruntuhkan bilik privasiku dengan Ros. Teman kami, Anita, seorang gadis polos mengandung anak orang. Beritanya menyebar disekolah seperti gulma. Isu-isu pacaran yang terlalu panas akan membuat pengawasan diperketat: pintu-pintu kelas digembok setelah semua siswa pulang, pengawasan ekstrakulikuler diperketat, dan ceramah-ceramah menakutkan tentang pergaulan muda dari guru-guru. Nama gadis murahan  melekat selamanya pada temanku, cemoohan tak hentinya bergulir selama berbulan-bulan, temanku yang sering bergaul dengannya turut merasakan imbasnya, dijejali petanyaan-pertanyaan kejam dan gossip murahan yang hanya menyisakan sedikit sekali simpati.
Kecuali Ros, lantaran jiwa ibunya, dia tatap berhubungan denganya. Satu-satunya orang hidup yang diajak Nita bicara adalah Ros, itupun harus tanpa ada yang tau, Nita tak ingin menghancurkan Ros karena telah berbicara denganya—yang sebenarnya Ros tak perduli kecuali untuk menghindari kesan sok pahlawan. Begitulah Ros, hatinya seperti warna putih.

0 critic:

Posting Komentar