No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Senin, 09 Maret 2015

Chapter 7


7
            Di tengah kerumunan sekenario-sekenario buruk pikiranku yang mematikan, aku mencoba menyelimutinya dengan imajinasi-imajinasi indah untuk mencegahku menjadi seorang bipolar atau semacamnya. Aku membayangkan rumah dengan halaman yang besar dan dipenuhi flora-flora yang cantik, secantik gadis impian yang kumunculkan menjadi pendamping hidupku. Rambutnya tebal, panjang atau pendek tidak masalah, sedikit berkilau dan hidungnya kecil dan mancung, putih dan sangat menyayangi anak-anak kami dan diriku. Kuharap dia juga punya selera yang bagus dalam hal seni dan tidak bodoh. Pada suatu hari kami akan merencanakan piknik namun batal karena aku tiba-tiba terkena flu dan demam hebat, istriku tercinta akan merawatku seharian dikamar dengan penuh kasih sayang, dia mengambil cuti dan menyuruh anak-anak kami yang masih kecil untuk tidak berisik dan mengusik kami—maksudku mengusiku.
            Bebeapa tahun setelah sepeninggal Lis, gambar-gambar bergerak dirinya yang dulunya bisa kutampilkan melalui pemutar ingatanku dengan mudah dan jelas semakin sulit kulakukan. Optik memoriku mulai aus dan kepingan-kepingan kenangan perlahan tertimbun oleh dunia remaja yang dangkal seperti cinta monyet, patah hati, hal-hal mengenai sekolah, dan masa depan yang mendatangiku seperti tinju seorang amatir.
            Aku memulai sekolah menengahku dengan penuh percaya diri. Dalam pandangan mereka—anak-anak sekolahan tak berpengalaman yang kurang percaya diri—aku dapat menangkap potretku sebagai remaja tionghoa kaya, pelit, dan menyombongkan diriku dengan kemahsyuranku. Penghormatan yang diberikan padaku, semata karena filosofi kuno mereka tentang seorang kaya raya angkuh—seseorang menyerupaiku yang mereka kenal jauh sebelumku. Aku dihibur oleh teman-teman kayaku dengan permainan dangkal mereka. Gemerlap-gemerlap mereka membuatku silau, hingga saat moralku mulai ranum, disudut pedesaan dimana sepupu-sepupuku mengajaku berkebun—ketidak beruntungan mereka menutup sinar-sinar kotaku yang fana. Kerenggangan social membuat mereka kalangan menengah kebawah tak pernah melewatkan kesempatanya untuk menghindariku dari segala jenis kontak pertemanan dengan kami. Keadaan ini mulai tak terkendali karena perlakuan guru-guru yang memanjakan beberapa kalangan murid saja.
Aku dianugrahi IQ diatas 120, kekayaan ayahku, wajah yang manis dan tampan, juga postur yang ideal. Dalam peringkat parallel aku hanya kalah dari seorang gadis gila berambut keriting mengerikan yang hampir mempunyai nilai sempurna di semua bidang mata pelajaran, otaknya adalah idola sepanjang masa. Ayahku bukan orang kaya yang bisa membeli beberapa rumah mewah dengan mudah, namun cukup untuk mobil, perabotan-perabotan mahal, serta uang jajan melimpah. Berkat pertolongan gen ibuku, meski dengan ayah tionghoa, aku tak mewarisi badan gempal dengan pipi raksasa dan mata yang tenggelam dalam wajahku. Sebenarnya mataku sedikit tenggelam—sedikit— tapi sudut dan relief wajahku lebih tegas, alisku tajam, bibirku pendek dan tak terlalu tebal. Bentuk kepalaku tercipta untuk fleksibel terhadap segala macam model rambut. Dengan penyokong seperti itu, masalah yang hanya akan mungkin muncul adalah—sebut saja bencana alam. Aku bisa saja merangkap kencan dengan beberapa gadis murahan yang mereka kira akan kumanjakan mereka dengan cinta, tapi kukatakan dengan lirih, aku bukan keparat macam itu.
Biar kutekankan lagi tanpa suara: Aku adalah lelaki tampan, lemah lembut, dan berpostur menarik dengan perilaku penuh ketrampilan menyembunyikan sesuatu yang pantas tak kasat mata, namun tetap menggoda. Sikap-sikap dinamis karena proses pendewasaan menimbulkan semacam profil misterius yang membuat orang-orang salah tangkap pada kesan pertama, yang terlihat dari kekhawatiran-kekhawatiran mereka yang enggan melakukan sesuatu berhubungan denganku.
Sikapku terhadap wanita cenderung praktis, lugas dan getir tanpa mengabaikan kesenangan tersendiri. Aku tau, aku bisa mendapatkan wanita pendamping manapun tanpa harus berdandan, membuat puisi, dan berperilaku teatris. Mungkin untuk beberapa alasan sudah menjadi kewajibanku untuk tak memberikan perhatian berlebih pada wanita, kecuali mereka mau datang bertaruh ke pelukanku yang beku. Namun kenyataanya, tak pernah aku menghindar saat cinta-cinta yang polos itu datang mendekat dengan bergelimangan harapan. Alih-alih aku akan memberikan perlakuan yang setimpal, bongkahan es itu tak meleleh dengan godaan-godaan muram yang berbalik memberikan kesan semu berdasar sambutan-sambutan dangkalku.
Pada dasarnya, menurut pengalaman-pengalaman, polanya selalu sama saja: datang dengan sensasi luar biasa, menikmati jatuh cinta semu, dan saat mereka tak menemukan apa-apa dibalik keramahanku, mereka pergi berbekal sakit hati yang mendalam dan penyesalan saat matahari terbit, lalu kehidupan berlanjut.
Seorang wanita periang telah menjadi korban kegetiranku. Dia Rita: agak gelap, ceria, memiliki selera klub sepakbola yang sama denganku dan tak pernah kulihat ada kerutan yang berarti diwajahnya. Aku tak begitu mengenalnya, tapi dia seperti kebanyakan wanita, tak sulit mengenalnya. Pada awalnya itu hanya sekedar percakapan sederhana mengenai jadwal latihan basket dan pertandingan bola yang dilanjutkan dengan kedekatan yang tak diharapkan.
Dia mengingatkanku setiap minggunya tentang pertandingan sepak bola di televisi. Dan beberapa waktu kemudian menjadi keseringan yang diluar hari Sabtu dan Munggu dimana pertandingan bola di televisi disiarkan, dia mulai berani mengobrol denganku dengan basa-basi yang tak kukira dia cakap melakukanya. Tak ada  kesengajaanku untuk meneruskan perbincanganya dengan segala sesuatu yang membuatnya berlanjut. Tanggapanku hanya datar dan tak menarik (tidak berbalik bertanya mengenai umpanya yang sejelas pelangi). Sehambar apapun aku membalas percakapan-percakapan yang diusahakanya, aku tetap meladeninya.
Aku tak tau, namun yang pasti karena aku tetap menanggapinya, dia memulai dengan percakapan yang mendalam, bersemangat, dan bingung—mungkin dia bingung. Dia semakin mengakrabkan dirinya dengan ketepatan berbahasa, membuat perbincangan berjalan secara rutin. Bahkan dia mulai menjadi sangat perhatian padaku: Aku terjatuh saat bermain sepakbola pada suatu siang saat pelajaran olah raga, malamnya dia menanyakan keadaanku dengan nada yang tak mencurigakan (ah, dia masih malu-malu dan tak ingin terlalu percaya diri). Tak ada hal lain yang kulakukan selain berterima kasih saat itu juga dan pendekatanya berlanjut. Aku mulai bisa melihat pola saat seseorang mencoba menggaet hati orang lain. Ah, kenapa aku sulit menulis kata “cinta” seperti para kekasih!
Pertama  mereka akan sekonyong-konyong mencoba melakukan komunikasi dengan upaya mengerikan dalam bentuk apapun. Lalu membuatnya menjadi rutinitas atau kebiasaan atau sebangsanya, yang kemudian dibuatnya semakin menarik, dan berlanjut dengan rekaan-rekaan abu-abu. Ah, mereka mahir membaca pertanda (beberapa payah melakukanya, mengabaikan, dan tak mau tau tentang kebenaranya dan terus saja dengan hal yang dipercayainya). Selagi aku mencari istilah yang tepat untuknya, aku berpikir betapa teganya aku bermain dengan mimpi-mimpinya yang semakin suram: mulai turut menikmati keramahtamahannya, dan tak perduli seruncing apa ujung yang akan ditemuinya. Tolong diingat-ingat, sifatku yang seperti itu bukan suatu pembawaan yang berwujud peringai bangsat, hanya usaha mati-matian dan penantian yang menjemukan.
Mari lebih jauh lagi. Senin pagi yang berarti aku sudah tak bertemu dengan orang-orang yang kutemui setiap harinya selama sehari, aku berpapasan dengan Rita (sering terjadi kasus seperti ini: komunikasi secara langsung dan tak langsung terdapat perbedaan yang mencolok) dan ada yang berbeda darinya. Sebelumnya dia adalah atlit yang mengagumkan, memakai celana kolor pendek dan kaos kedodoran, namun karena kondisi fisik yang menurun (aku tak tau mengapa) dia mengurangi rutinitasnya. Dan pagi itu, dia memasang tampang seceria anak burung yang hendak mencabik cacing dari mulut induknya, matanya hitam karena celak yang digoreskan jemari terampil, bibirnya mengkilap seperti sabun mandi oles yang baru saja digunakan, dan wajahnya serupa gerhana. Bukanya aku justru terpana dengan wujud barunya, hal itu malah menimbulkan kecemasan tersendiri untuku (ujungnya semakin runcing).
Percakapan-percakapan berikutnya yang semakin menggigil, selain pertanyaan aktifitas, pilihan acara televisi, dan pelajaran sekolahan, pembicaraanya mulai terbenam dalam keputusasaan, curahan-curahan hati penuh kegelisahan, dan sindiran-sindiran mengenaiku yang seperti batu (dia yang bilang seperti itu), seiring dengan merebaknya rumorku dengan Rosa (cinta pertamaku)—kami diisukan berpacaran oleh hampir siswa satu sekolah dengan alas an yang misterius. Dan lama-kelamaan aku menjadi seorang dokter yang menyembuhkan sakit hati, atau lebih tepatnya dokter yang memperbaiki mal praktiknya: aku menasihatinya, memberi kalimat-kalimat manis seperti oprah, seraya menjauhkanya dariku. Dia mulai mengirimiku dengan puisi-puisi membabi buta hingga aku mendengar ketidak sabaranya menanti segenap kepastian yang sudah seharusnya diharapkanya. Aku juga tau, dia ketakutan dengan rumorku dengan Rosa, seperti ini dia menunjukanya padaku: dia mengutip kalimat dari Charlie brown, “tidak ada yang sanggup menghilangkan lezatnya selai kacang, kecuali cinta yang bertepuk sebelah tangan”. Aku tak ingat, tapi kurasa dia memaparkanya padaku lebih dari sekali. Seperti yang lain, harapan-harapan muram yang diutarakanya lewat kiasan-kiasanya padaku semakin murung tak karuan.
Baiklah, aku akan lebih terang-terangan, begini aku membayangkan pikirannya yang remang. Katakanlah aku mendapat sebuah surat yang ditulis dengan darah dan air mata. Aku membacanya dengan jelas diatas ranjang tidurku yang berhias tirai krem sambil melompat-lompat seperti burung jalak.
“Dengarkan aku! Kumohon, tak taukah kau aku mencintaimu, Aku rela menelan bisa untukmu. Sudah seperti itu semenjak aku melihat matamu yang tajam dan penuh misteri itu. Ketika kau membalas ketidak berdayaanku mengendalikan bunga-bunga cintaku padamu oh, pangeran impianku. Kapankah, kapankah aku bisa mengatakanya seperti Romeo. Tak bisakan kau hanya melihat dan tau (dasar bodoh, aku pura-pura tidak tau), ayo mengertilah, tunjukan sesuatu padaku.”
Tak usah kau gali-gali lagi semua pengorbananku padamu untuk bahan pertimbanganmu. Bawa  saja semuanya pergi menghilang, supaya aku bisa merana dan melanjutkan hidupku. Jika hanya harapan-harapan palsu itu, sudahlah hentikan sekarang juga. Ah, tapi aku menikmatinya. Bukan, bukan itu yang aku inginkan!”
Rabu sore sehabis asar, aku melihatmu pulang sekolah dibalik pagar berkarat sisi timur sekolah dengan senyum seperti orang gila. Malam minggu, aku malu-malu menyimpan fotomu di dompetku, jadi langsung saja aku sembunyikan dari sana supaya tak lebih memalukan lagi setelah kupandangi hampir setengah malam. Senin pagi, hatiku yang kering dan layu tersiram kehangatan selembut madu dan menyingkirkan kerinduan yang membuatku sekarat. Selasa siang, aku berubah menjadi sang naga merah, tubuhku terbakar, terbasuh hawa neraka saat kau berbicara dan tertawa dengan wanita itu, aku menutup mulutku supaya tak keluar api dari sana.”
Aku tau, bagimu aku bukan siapa-siapa, hanya seperti  orang lain. Tapi tak bisa kau pungkiri, kau juga menikmati keramahtamahanku. Serta perlakuan-perlakuan istimewaku yang kadang terlalu bergairah, senyumku yang mutlak tulus padamu, juga perubahan-perubahan baruku yang semrawut. Benar-benar tak berada, sebenarnya siapa aku ini, beraninya. Kau mungkin jijik padaku, tapi tolong maklumilah, aku tak terkendali, mengertilah. Aku rela menekan rasa maluku sampai titik terbawah, jadi jangan kau hujat aku dengan seringai pahitmu.”
Jika memang kau bersungguh-sungguh tentang sambutan-sambutanmu yang membahagianku, kuharap itu hanya berarti satu hal: kau sungguh-sungguh menginginkanku sebesar aku menginginkanmu. Mari kita tindak lanjuti, libatkan kehidupanmu masuk dalam kehidupanku, dan mari berbagi semua hal. Jujurlah padaku, taruh hatimu dalam mulutmu saat kau bicara dan tersenyum padaku, taruh hatimu di matamu saat kau menatapku. Berhentilah main-main dengan perasaan sayang! Lupakan saja, sana pergi! “kuharap suatu saat nanti kau akan menyadari, siapa orang yang akan selalu mencintaimu dengan cara apapun, lebih dari siapapun yang kau tau”. “Maafkan aku, aku tak bisa memberikan sesuatu yang kau harapkan, masih banyak lelaki diluar sana yang mau menerimamu dengan senang hati, lanjutkan hidupmu, bersemangatlah”. Tidak, bukan seperti itu, itu opera sabun.”
Mungkin terlalu lancang aku memasuki pikiran-pikirannya yang rapuh kemudian mengutarakanya tanpa rasa bersalah yang berarti. Aku bisa merobohkannya dengan satu pukulan jika kumau. Dia tak pernah mengatakanya padaku, jadi untuk apa aku harus memperjelasnya dengan hati luluh lantah karena perasaan bersalah yang menelikungku dengan pangakuan bahwa faktanya aku adalah iblis tak berperasaan. Tak bisakah kuperkeruh saja keputusasaannya dengan penolakan penuh tata kramaku.

0 critic:

Posting Komentar