No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Senin, 09 Maret 2015

Chapter 2

2
Seingatku, aku mulai tertarik pada wanita sejak berada di taman kanak-kanak. Dia gadis berwajah boneka, rambutnya seleher, dan dia adalah putri dari seorang pemilik toko mainan terkenal di tempatku. Itu hanya pikiran anak-anak konyol yang masih menangis karena terpisah dari ibunya sejauh lima meter. Dan setelah aku bertemu kembali dengan gadis tadi saat dia masuk ke SMA dimana dia bersekolah sebagai adik kelasku, rasa suka itu tak tersisa samasekali. Lalu saat menginjak sekolah dasar, aku mulai berimajinasi dengan aku sebagai tokoh super hero yang menyelamatkan gadis-gadis.
            Saat kelas lima SD aku sudah digosipkan menjalani hubungan dengan beberapa gadis— kalau aku tidak salah ingat tiga atau empat gadis: mereka memakai rok tak tau aturan, kaus kaki dekil, dan sepatu dengan noda disana-sini. Saat itu gossip seperti itu adalah bahan olok-olok paling mengerikan yang bisa membuat anak seumuranku tidak bisa tidur, membuatku canggung dan terpinggirkan, dan dalam beberapa kasus yang lebih serius, dapat menyebabkan pertengkaran hebat dan adu mulut tak sopan, dan tak jarang menyebabkan tangisan menyedihkan. Aku pernah membuat salah seorang temanku menangis karena aku melempar lumpur kearah gadis kurang ajar yang secara bertubi-tubi menuduhku buang angin saat dia sedang makan (aku memang melakukanya, tapi tak kuduga dia akan bisa mendeteksi bahwa itu berasal dariku), dan seketika semua teman-temanku menyalahkanku, dunia seperti menyalahkanku, dan jika dia tak berhenti menangis saat pelajaran dimulai dan guru masuk kelas, aku harus menghadapi petanyaan-pertanyaan yang membuatku ingin bunuh diri tentang apa yang terjadi sehingga gadis malang itu menangis, dan tamatlah riwayatku. Itu pertamakalinya dalam seumur hidupku membuat seseorang menangis, salah satu ingatan masa kecil yang belum terlupakan olehku.
            Aku bersenang-senang disana, saat itu pula aku terkena penyakit cacar pertamaku, salah satu hal paling menyakitkan yang terjadi dalam hidupku, satu dari sepuluh anak-anak disekolahku terjangkit cacar hanya dengan kadar keparahan yang berbeda. Aku masih ingat betapa penyakit itu membuatku gila, aku terlihat seperti makhluk lain—seperti monster atau semacamnya. Ibuku diberitahu orang-orang mengenai cara pengobatan ini dan itu, semua dipraktikanya padaku (aku kelinci percobaan, dia perisetnya). Dan saat penerimaan rapor, semua orangtua datang ke sekolah dengan berdandan layaknya sinden dan memakai perhiasan— gelang emas (mungkin beli dari toko ayahku) dari pergelangan tangan hingga siku. Aku sering mendapat nilai bagus disana, itu sebabnya ibuku sangat senang ketika mengambil raporku, dia akan membangga-banggakanku seperti piala atau semacamnya. Aku sering dipamerkanya pada teman-temanya karena aku pintar dan penurut, menceritakan tentang kebrilian-kebrilianku pada mereka secara berlebihan seperti dalam komik dan aku tak bermasalah akan hal itu, itu membuatku menjadi idola dikalangan teman-temanya, jika mereka memarahi anak-anaknya karena kenakalan bodoh, mereka akan menyebut namaku sebagai acuan berperilaku baik dan benar seperti tuturan ibuku saat memamerkanku. oh jika mereka mempunyai seorang anak gadis aku tak akan menemui kesulitan untuk menjadi menantunya.
            Peristiwa sexual pertama yang menimpaku bukan datang dari gesekan-gesekan langsung dengan bentuk-bentuk fisik ramping para perawan-perawan. Hal itu terjadi, namun bukan secara langsung di tempat-tempat rahasia para pemuda-pemuda bejat biasa melakukan dosa keji pada masa pembentukan-pembentukan kepribadian gadis-gadis lugu yang beranjak menjadi wanita anggun dan bermoral kelak (harapan kita). Bagi kami anak-anak praremaja, pendidikan sex masih dianggap tabu, bahkan pembicaraan-pembicaraan tentang pendewasaan bagian-bagian tubuh tertentu manusia, sebisa mungkin dihindari agar tak menimbulkan pikiran neko-neko menodai pikiran-pikiran polos kami (apa kau bilang? Polos?Kau gila!). Pertama kami akan mendengar semacam kode-kode misterius yang dibawa angin sepoy yang akan memancing gairah keingintauan kami seperti: basah, keluar, bukan kencing, mimpi, klimaks dan istilah-istilah lain yang nuraniku mencegahku untuk berlanjut mengatakanya. Lalu dalam petualangan mengasyikan memecahkan kode-kode tersebut kami akan bertemu peristiwa dan hal-hal baru yang mendatangkan reaksi ajaib pada tubuh belia kami dengan meniru adegan pada lukisan Picasso La Reve.
            Pengetahuan-pengetahuan itu datang dari tempat misterius, dibawa angin dan burung-burung, tak ada malaikat paling mulia dapat mencegahnya masuk ke kuping-kuping menganga kami, bahkan bukan orang tua manapun yang mentabukanya. Jika para orang tua akan menyelidiki bocah-bocah ini tentang apa yang mereka ketahui tentang hal-hal tersebut, mereka akan menemui penyangkalan-penyangkalan paling bodoh yang dapat tercipta.

            Segala hal seperti itu tak akan didapat dari bangku sekolah manapun, mereka memusuhinya, tak ada seorangpun dari kami yang dapat dengan bebas mengulasnya secara blakblakan, kami dianggap kurang dewasa untuk mempelajarinya secara benar dan dibawah pengawasan yang serius seiring dengan batasan-batasan kesopanan yang ketat dari masyarakat (aku tumbuh di lingkungan seperti itu). Jika seorang periset melakukan penelusuran pada kami tentang darimana pengetahuan seperti itu didapatkan, mereka akan menemui cabang-cabang yang mengagumkan. Jika anak pada pra-belasan tahun seperti kami mengetahui tentang sejarah kemerdekaan atau dapat mengakarkan angka-angka yang rumit, dapat disimpulkan mereka mengetahuinya dari buku-buku sejarah sekolahan dan penjelasan para guru. Dan jika kami dapat bermain catur atau bermain kartu, tak perlu penjelasan panjang lebar kami akan bisa memainkanya dengan melihat orang lain bermain beberapa kali dan menjadi lebih ahli seiring jam terbang permainan kami. Mungkin penjelasan yang paling dekat dari penyampaianku yang penuh teka-teki adalah seperti ini: Aku pernah mengadopsi seekor anak kucing, dia kubesarkan tanpa ada induknya yang menaunginya, dan pada umur setahun kurang lebih, dia bisa berburu tikus dan membersihkan bulunya dengan lidahnya sendiri dan lain-lain. Dan dibandingkan menuntun kami dengan bijak dan canggung mengenai hal-hal itu, para orang tua cenderung membiarkan pengetahuan tentang hal seperti itu mengendap-endap seperti maling masuk ke sela-sela paling kering melalui celah paling putih bagian otak kami.

0 critic:

Posting Komentar