No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Senin, 09 Maret 2015

Chapter 5

5
            Pemakaman Lisa berjalan meriah, orang-orang berbondong-bondong berpartisipasi mengasihani Lis yang mati muda dan rumahku masih diselimuti gelak tangis mengerikan, dan Lisa melewatkan pemakamanya karena dia mati, dia di alam lain yang misterius—yang menurut Kitab Suci dia berada di alam kubur yang katanya menyeramkan itu (seperti khotbah Joyce, misalnya), dan ditanya ini itu (jawab dengan tenang dan percaya diri Lis). Menurut parimaterku, tak ada instrumen penyiksa selembut apapun yang dapat—dengan persidangan seadil-adilnya oleh hakim agung di tempat gelap itu—menjatuhi lisa ganjaran atas hidup singkatnya bersamaku dan orang-orang ini. Dalam rekayasa bayanganku yang kurang masuk akal, sembari menunggu dunia berakhir, mereka mungkin—Lisa diperbolehkan menempati ruang gelap dengan penerangan remang dan peristirahatan seadanya dengan jaminan kelayakan yang memadai dan Lisa hanya perlu membalasnya dengan melayani penjaga makam seperti bi Ratmi melayani keluargaku.
            Paska kematianya, ingatan fotografik paling jelas yang terpatri dikepalaku adalah gambar-gambar memilukan saat-saat terakhir Lisa meregang maut dan riuhnya prosesi pemakaman. Suatu saat ketika hal-hal itu muncul dan melayang-layang dalam ruang ingatanku yang masih dilanda duka mendalam, aku tumbang dan memanifestasikan ketidak-karuanku dengan melesat ke kamar Lisa dan membuka mantan lemari bajunya (beberapa minggu kemudian menjadi milik toko barang bekas) menyeret sebisaku yang bisa terjangkau oleh kepalan tanganku dan kulempar pakaian-pakaianya keluar jendela (hampir aku tersungkur keluar jendela bersama pakaian-pakaian itu dan menyusul Lisa), meronta-ronta dan menjatuhkan semua barang diatas meja belajar Lisa sebelum akhirnya bi Ratmi mencengkeramku sebelum aku menghancurkan dunia.
            Aku berubah menjadi anak mengkhawatirkan menurut reka-reka analisis psikologis dangkal ayahku yang kemudian memunculkan opini bahwa aku memerlukan bantuan professional. Namun karena keliahaianku mencegah penguntit dengan kedok psikolog yang nantinya akan mengorek-orek informasi rahasiaku seraya menerapkan teori dari gelar sarjananya padaku dengan gaya Fraud-nya—maksudku Freud—aku mulai menjadi normal kembali seiring berjalanya waktu dan kekhawatiranku akan perhatian orang tua paranoidku.
            Ibuku masih rutin menangis setiap malam berminggu-minggu setelah Lisa mati, dia mungkin mewakili tangis Lisa disudut kegelapan peristirahatanya         yang baru mulai beradaptasi dengan kengerianya. Ayahku yang lebih tahan banting, membasuh airmata kami dengan segenap dukacitanya yang dipaksakan diendapkan untuk membuat Ibuku memiliki tempat bersandar selain pada batu nisan Lisa yang bisu.
            Dalam kerinduanku, mimpi yang kuusahakan untuk mendatangkan Lis kesana dalam tidur-tidur kucingku—memeras keringat aku dibuatnya dengan segala upaya menurut pengetahuan rendahanku—membuat rentetan imaginasi visual dalam bayangan pikiranku tepat sebelum aku masuk tahap setengah tidur dan berharap bisa meneruskanya dalam tidur yang sepenuhnya seperti chapter-chapter dalam cerita fiksi. Usaha-usaha itu selalu berujung pada runtuhnya kesadaranku dan terputusnya rangkaian imajinasiku yang beralih menjadi mimpi-mimpi absurd. Misalnya aku yang mengendarai sepeda onthel diatas salahsatu dari dua jalan bercabang dan berpangkal di sebuah trowongan yang sebelum masuk trowongan terdapat sebuah menara pemancar mencurigakan dan dalam kegelapan trowongan aku terjatuh hingga kepalaku benjol tiga tempat, yang mungkin mampu dianalisis melalui buku General Introduction to Psychoanalysis(tolong jangan dilakukan).
            Percobaanku yang lain adalah dengan rutin—sebelum tidur atau saatku kesepian—aku menghirup parfum Lisa aroma floral campuran mawar dan vanilla yang kadang membuatku sakit kepala karena terlena menciumnya terlalu lama. Parfum itu kucuri dari sisa-sisa barang Lisa yang masih selamat (tidak termasuk majalahnya)sebelum dihibahkan kemana-mana. Barang lain yang masih selamat adalah meja belajar yang sudah tercorat-coret, cermin gantung menakutkan, lampu belajar (kuwarisi), dan seperangkat tempat tidur yang dionggokan di gudang, selain itu semuanya lenyap, termasuk bukti sejarah ketenaran Lisa dari penggemar-penggemarnya, semua raib bersama kepergianya.
            Hal-hal berikutnya yang membuatku menyesali kematian Lisa muda adalah hal-hal yang kelak dialaminya dan lenyap karena kematianya. Sejalan dengan masa pensiun menjadi anak-anak praremaja yang penuh gelombang tak terduga dia belum pernah diantar pulang pergi sekolah oleh Jono atau Yono, atau hubungan-hubungan terlarang seperti teman-temannya yang berandalan, aku juga belum pernah mendeteksi adanya jatuh cinta gila-gilaan dialaminya (dimana kau sembunyikan Lis?). Atau mungkinkah aku hanya tak berhasil mengetahuinya, mungkin dibalik surat-surat penggemarnya ada sepercik harapan nama seorang pangeran impian Lisa tertulis di identitas pengirim (yang Lis sudah menyiapkan jawabanya dengan matang dan meyakinkan) yang biasanya diletakan oleh remaja-remaja itu di bagian kiri bawah depan amplop.
Seketika bayanganku tentang kakak ipar impian hilang, padahal aku sudah membayangkan hal-hal menyenangkan denganya seperti menggunjing rahasia istri-istri kami, mendiskusikan otomotif, atau mengeluhkan superioritas makhluk perempuan. Belum lagi hilangnya kesempatan untuk mengarungi runyamnya bahtera rumahtangga yang mungkin akan disertai keponakan-keponakanku yang lucu, dan aku, paman mereka yang berkumis saat akhir pekan yang panjang akan mengajak mereka bertamasya ke kebun binatang atau pergi ke pasar malam hingga Lis akan memarahiku karena pulang terlalu larut. Namun semuanya sia-sia Lis telah tiada, hanya tinggal aku dan dia yang selalu kukenang.


0 critic:

Posting Komentar