No pen, no ink, no table, no room, no time, no quiet, no inclination.

-James Joyce-

Senin, 09 Maret 2015

Chapter 3

3
            Aku mempunyai hubungan yang dekat dengan kakak perempuanku Lisa, jika kuhubung-hubungkan dengan transformasi abnormalku mungkin dialah yang kurang lebih mewariskan kefeminimanku. Dia mempunyai banyak majalah-majalah gadis (yang aku hanya gemar melihat gambarnya) yang disusun rapi disamping lampu belajar kekanak-kanakanya, berisi tips-tips kurang penting, ramalan bintang, gossip dan kegiatan-kegiatan artis tertentu yang menggelikan. Sewaktu kecil aku sering memergokinya sedang bermain acting dan bereksmerimen dengan rambut dan pakaiannya, sesekali dia berperan sebagai majikan kejam atau sesekali menjadi seorang putri melankolis yang menyedihkan, tapi bagian yang paling kusuka adalah ketika dia melihatku memergokinya lantas kemudian dia pura-pura tak perduli atas kehadiranku dan melanjutkan dramanya.
            Sedikit banyak aku kenal dengan teman-temanya, nama mereka ini dan itu, beberapa aku mengingatnya dan sisanya hanya lewat. Aku menjadi faforit mereka, semua dari mereka bermimpi merebutku dari pelukan Lisa—mengadopsiku menjadi adik kecilnya seperti mereka mengadopsi peliharaan anjing dan kucingnya yang kelak diperlakukan seperti obyek mainan yang layak disayang dan patut dibuang. Mereka sering bermain dirumah, membuat kebisingan ini dan itu, menjailiku dengan pertanyaan- pertanyaan konyol mereka dan memasukanku dalam permainan aneh-aneh mereka. Perlakuan Lisa saat mereka berada di rumah sering menunjukan protes atas perlakuan-perlakuan teman-temanya yang terlalu memanjakanku, tak seperti Ibuku yang selalu memamerkanku, Lisa tak terlalu ambil pusing dengan segala prestasiku (apa yang bisa membuatmu membanggakanku Lisa?), bukan iri, dia hanya lebih mengenalku daripada siapapun, dia apa adanya dan selalu memperhatikanku. Awal decade kehidupanku paling banyak kuhabiskan bersama Lisa, dia tak banyak menghakimiku, tak terlalu menyuruhku ini dan itu—jika dia melakukanya, itu selalu bisa kupersetujui tanpa keluhan. Dia sangat dekat denganku, tetapi tidak begitu dengan penghuni rumah yang lain, dia cenderung cuek dengan ayah dan ibuku. Sebagai adik aku mengukur-ukur—dia selusin kali lebih pintar dariku, apa yang dikatakanya selalu benar bagiku, seperti buku matematika.
            Tidak sepertiku, dia tidak menuruni tampang tionghoa dari ayahku, dia lebih mirip ibuku (kami bukan anak adopsi seperti Pip dan Estella), dia remaja tercantik yang pernah kutemui, berambut hitam panjang, tinggi, berat badan ideal, kulit sawo matang, mata indah dan bagian-bagian menarik lainya, dia adalah idola pada pandangan pertama, dia imajinasi liar pemuda-pemuda penuh semangat untuk menghasilkan reaksi-reaksi ajaib, Lisaku role idolku.
            Aku secara otomatis dijadikan koneksi oleh para penggemar-penggemarnya untuk bisa berhubungan dengan Lisa (aku diberi recehan), untuk mengirimkan surat-surat picisan, hadiah murahan, atau salam malu-malu mereka. Ada Fajar dengan rambut Elvis, Hafy dengan tubuh petinju dan wajah sopir truk, Jaya dengan jerawatnya yang serapat rintik hujan, dan lain-lain. Mereka selalu bisa menemuiku di tempat-tempat dimana kuberada secara mengejutkan, berbisik-bisik padaku seperti membaca mantra dan menyerahkan paketnya padaku, aku selalu dapat dipercaya, dan hari berikutnya mereka akan menayaiku dengan gaya reporter maniak (reporter majalah-majalah Lisa) tentang respon Lisa, sehingga memberiku tugas untuk mengarang-ngarang fiksi agar mereka tak terlalu patah hati, dan tanpa mengetahui tanggapan-tanggapan Lisa dibalik kebohonganku, mereka mendengarkan beritaku dengan senang hati dan melakukan hal yang sama beberapa hari kedepanya hingga tiga atau empat kali. Dengan ekspresi curiga Lisa bertanya padaku “dapat berapa?” tiap kali aku mengirim paketnya, semua hadiah diparkir dikamarnya—disana-sini, dimasukan kotak dan sebagian digantung. Sebagian surat benar-benar dibacanya, tapi sebagian tak digubris begitu melihat nama pengirimnya, tapi semuanya tak ada satupun yang dibuang—dimasukanya dalam kotak seperti nasi goreng dalam bekal makananku (mungkin dia ingin membuat rekor), dan tidak ada satupun yang menerima balasan setimpal, seperti sekerdar “terimakasih”, “aku juga” atau “benarkah?”. Seperti apapun mereka nampaknya tak ada laki-laki yang cukup baik baginya, dia menunggu kodok yang berubah menjadi pangeran, pangeran dengan kuda putihnya, pangeran yang mencium dalam tidurnya, pangeran yang menjelma menjadi monster, pangeran dengan sebelah sepatu kacanya, dan seterusnya.
            Waktu itu, seiring dengan pembatasan orang tuaku atas uang jajanku supaya aku tak berubah menjadi ratu belanja atau semacamnya, aku sering mencuri uang Lisa. Setelah pertimbangan mendalam antara baik dan buruk, dermawan dan pencuri, aku melakukan perjalanan paling menegangkan dari kamarku kekamar Lisa, mengendap-endap (meski aku tak didesain seperti Hobbit), dengan penuh waspada, menuju kotak celengan  Lisa yang terbuat dari kaleng bekas tempat biscuit. Suara sekecil apapun yang menyelaku saat melakukan pekerjaanku, terdengar seperti tsunami,   kemudian setelah setibanya disana, dengan susah payah dan penuh kerja keras aku membuka tutup kaleng yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk mencegah orang-orang sepertiku dan mengambil beberapa lembar dan kepingan rupiah, memberantakinya untuk meninggalkan kesan tak tersentuh, lalu kututup kembali (dengan susah payah juga) dan kuatur kaleng itu persis seperti  posisi yang oleh usaha terbaik ingatan fotografiku telah menangkap setiap detail sudut posisi semula kaleng itu.
            Lihat bagaimana aku mendramatisir kejadian pencurian. Itu juga turunan Lisa.
Tindak kriminalku itu kulakukan beberapa kali hingga akhirnya terakhir kali aku membuka kotak harta karun itu kutemukan secarik kertas peninggalan Lisa (yang telah diam-diam mencurigaiku) bertuliskan “Aku tau kau suka membaca majalahku”, dan seketika darahku menggumpal dijantungku, aku segera meninggalkan kotak itu dan melarikan diri kekamar, menjatuhkan wajahku ketempat tidur, dan nyaris membuat keputusan antara bunuh diri atau membunuh Lisa. Semenjak itu aku bersumpah demi apapun aku tak akan mengusik kekayaan Lisa. Apa lagi yang kau ketahui Lis? Ya ampun.

Aku sempat diliputi kecanggungan yang tak tertahankan karena ulah Lisa— maksudku ulahku. Dengan keusilan dari sisa-sisa rasa dendam Lisa, sesekali dia meledeku dengan melontarkan kata-kata menusuk yang terselubung dalam leluconya yang centil seperti “Ambil saja dikamarku, aku akan pura-pura tidak tau” atau “Sudah ada edisi terbaru lho”. Meski begitu, Lisa adalah penjaga rahasia paling mengagumkan, seperti dia menjaga kotak uangnya, dia tak pernah mengadukan kenakalan-kenakalanku pada orang tua kami. Setelah kejadian itu, Lisa justru terbuka padaku untuk membagikan sebagian hartanya saat aku terhimpit masalah ekonomi.

0 critic:

Posting Komentar